Part 14

1988 Kata
Ben, Geya dan Diah sudah berada tepat di depan pintu kulkas yang tergolong begitu mewah ini. Ben, Geya dan Diah berada di punggung Aarav, Tanpa ragu Aarav membuka pintu kulkas itu dan betapa terkejutnya mereka melihat banyak daging dalam kulkas yang segar, kulkas ini juga begitu harum. Mereka semua tak menyangka kulkas ini akan diisi dengan kebutuhan pokok mereka. Kalau begini, mereka bisa bertahan hidup disini tanpa memikirkan apa yang akan makan besok. Dengan mata berbinar, Aarav berkata seraya melirik Ben, Geya dan Diah yang dibelakangnya. "Lihat apa gue bilang banyak kan daging." Wajah Aarav berseri-seri apalagi ketika melihat sahabatnya. "Wah." Geya mengambil alih posisi depan. Dia langsung menerobos untuk lebih mendekatkan diri dengan kulkas, Geya langsung mengeluarkan daging itu dengan senyum yang terukir lebar dibibirnya. Daging yang dipegang Geya amat segar pasti sedap sekali untuk dimakan. Dapur rumah ini di desain dengan lemari kayu Minimalis, terlihat lebih estetis dan selaras dipadukan dengan dinding dapur berwarna putih. Urat kayu jati semakin menambah kesan natural, peralatan dapur disini lengkap sekali membuat Ben, Geya, Aarav dan Diah berseru senang sekali. Kini mereka sudah berada di depan kompor. Geya berada diposisi depan, rencananya hari ini Geya akan berniat memasak makanan yang enak untuknya dan sahabatnya juga, Geya gemar memaksa makanya Geya sangat antusias ketika memegang alat-alat dapur.  "Coba hidupi gasnya." pinta Geya. Geya sebenarnya sedikit parnoan kalau memegang gas bukan dirumahnya sendiri. Takut kalau gas itu tidak nyala ataupun bermasalah. Diah mengangguk dan langsung menghidupkan gas. Dan gas itu pun menyala. Diah tersenyum cerah. "Wow." Geya tersenyum bahagia. Terkagum-kagum karena sebentar lagi mereka akan memakan makanan enak. "Daging ada gas ada tinggal masak aja." lanjut Geya bahagia. Aarav, Diah dan Ben turut ikut bahagia. Ben yang berada diposisi sedikit dekat dengan daging yang sudah di potong-potong kecil itu, memicingkan matanya. Bola matanya begitu serius memandangi daging itu lamat-lamat. Sampai akhirnya Ben terdiam, ia tertegun. Ben langsung menuju daging itu lebih dekat.  "Itu bukan daging biasa, tapi ..." lirih Ben pelan. Ben menatap sahabatnya yang kini tengah memandang Ben dengan tak mengerti. Ben melotot seketika, "Jangan makan tu daging!" Ben berkata dengan sangat tegas, menghentikan Aarav, Diah dan Geya yang semakin tak mengerti dengan penuturan Ben yang menurutnya tak masuk akal. "Lo apaan sih." sewot Geya malas, mungkin Ben akan berulah lagi. Sebenarnya Geya sangat malas meledani Ben. Geya menatap ke arah Ben, selalu saja seperti itu ada saja yang membuat Geya kesal. Seharusnya Ben ikut bahagia karena bisa makan enak bukannya mencela makanan lezat. "Lo kalau nggak mau nggak usah." lanjut Diah yang ikut kesal dengan Ben. Diah menyengol Ben untuk menjauh dari daging yang Diah potong-potong kecil tadi.  "Cih." Aarav ikut mendecak melihat tingkah Ben yang memuakkan. Ben yang merasa terkucilkan seperti ini langsung menjelaskannya dengan lantang. "Itu daging manusia, bukan daging sapi atau kambing." sentak Ben sedikit emosi. Membuat Diah, Aarav dan Geya sontak terdiam, cukup lama sampai akhirnya tawa itu meledak menemui ruang dapur itu. Geya yang sedang memasak kemudian beralih memukul lengan Ben seraya tertawa garing. "Lucu banget lo." Lalu Geya kembali memfokuskan diri dengan kegiatannya yaitu memasak, sesekali Geya menghirup aroma sedap yang muncul dari daging itu. Geya menggeleng-gelengkan kepala ketika ucapan Ben terngiang dibenaknya. Ben menghela napas jengah mengamati raut wajah Aarav, Geya dan Diah yang tak mempercayai ucapannya. "Lo tau kan kalau gue ranking satu dulu." tukas Ben sungguh-sungguh. Aarav meninju pelan bahu Ben. Ia memutar bola matanya malas. "Apa hubungannya bodoh," ujar Aarav sarkas. Ben membalas Aarav tak kalah sinis. "Ya gue paham masalah daging gitu." ujar Ben dengan malas. Diah menatap tak suka kearah Ben. "Lo kenapa sih Ben, nggak cukup lo buat kami menderita? Sekarang lo mau buat kami menderita lagi karena nggak bisa makan enak?" tukas Diah sewot, tak bersahabat. Diah tidak bisa menahan emosinya lagi, Ben benar-benar membuatnya kehabisan kesabaran. "Terserah, gue nggak mau makan tu daging." Ben mendengus, memilih untuk keluar dari dapur dan menuju ruang tamu untuk duduk diatas sofa. Ben memandang punggung Aarav, Diah dan Geya dari belakang, mereka tertawa-tawa ria disana. Di tempat duduk, Ben memikirkan semua itu. Siapa yang mengatur itu daging ke dalam kulkas dengan rapi dan tertata? Masa setan ada waktu potong-potong terus di dinginkan? Apa Bapak tua di luar itu? Kepala Ben merasa sakit saat memikirkan itu semua. Dia menarik rambutnya kasar dan mengeluarkan napas dengan gusar. Mendadak bulu kuduknya juga merinding dan Ben memukul kepalanya berkali- kali karena kepikiran dengan daging manusia tadi. Bagaimana caranya agar mereka bisa percaya dengan ucapannya? jelas-jelas daging itu beda sekali dengan daging pada umunya, tekstur daging itu keras dengan aroma sedikit amis. Di lain sisi Aarav sedang menuju atas kulkas tepatnya di tempat penyimpanan es itu. Aarav hendak mengambil Es batu karena mereka akan membuat Jus buah-buahan. Detik itu juga, Aarav langsung membeku di tempat saat sebuah mata ada di dalam kulkas dan yang mengerikan mata itu melihat ke arahnya, melotot sekali. Sekujur tubuh Aarav panas dingin, Aarav terdiam cukup lama seolah-olah tak bisa menggerakkan kakinya. "Kenapa?" tanya Diah yang mendekat ke tempat kulkas karena Aarav yang terlihat membeku jadi Diah curiga dan ingin melihat apa yang terjadi. Dan tepat saat Diah tidak menatap Aarav dan menatap mata itu, tepat disaat itu juga mata itu sekarang mengerah ke arah Diah. Diah dan Aarav membeku lama, kakinya mereka seakan menjadi jeli. Diah lemas sekali bahkan kakinya tak mampu lagi menampung berat tubuhnya sendiri. Diah langsung memegang meja disampingnya, sebelum sesudahnya Aarav menahan tubuh Diah agar tak jatuh, Aarav memegang Diah tepatnya di bahu. Di detik itu juga Aarav langsung berlari di ikuti dengan Diah juga. Mereka berdua berjalan menuju ruang tamu di mana tempat Ben duduk. Napas Aarav dan Diah tersengal-sengal ketika sudah berada di ruang tamu itu. Muka mereka pias seketika. Sedangkan Geya yang masih di depan kompor, terheran-heran ketika melihat Aarav dan Diah yang tiba-tiba berlari begitu saja, penasaran dengan apa yang mereka lihat, Geya ikut juga melihat ke arah kulkas. Detik yang sama, Geya dikejutkan dengan rongga mulut yang terbuka, berteriak kearah Geya dipenuhi oleh darah yang meleleh disekitar rongga gigi itu. Tidak bisa berkata-kata, Geya langsung pingsan di tempat, terjatuh diatas lantai yang dingin. Ben langsung bangkit dari duduknya. Dia menatap Aarav dan Diah secara bergantian. Ben mengernyitkan dahinya, heran. "Kenapa lo berdua muka pucat?" tanya Ben. Secara bersamaan, Diah dan Aarav mencoba menenangkan detak jantung mereka yang menggila. Napas mereka masih memburu hebat. Ben gregetan, dia semakin kesal karena Aarav dan Diah tak ada yang menjawab kebingungannya. "Kenapa sih?" desak Ben sedikit emosi.   Tetap saja yang didapatkan oleh Ben, Aarav dan Diah masih diam dan sibuk mengatur napas. Ben jadi was-was, ia melirik ke belakang tidak ada apa-apa hanya ada dinding, jarak dapur dan ruang tamu agak berjauhan. Anehnya disana Ben tak melihat Geya di dapur, namun pikiran tentang keberadaan Geya dibenaknya sirna ketika sorot mata Ben melihat atensi lain, seketika mata Ben melotot. "Itu kaki siapa?" Ben menunjuk kearah kaki itu. Ben melihat sebuah kaki yang tampak dari sela dinding. Aarav dan Diah mengikuti jari telunjuk Ben, mereka hanya bisa terdiam dengan muka pias hebat. "Itu kaki siapa?" ulang Ben mendesak Aarav dan Diah untuk menjawab pertanyaannya kali ini. Ben kesal karena Aarav dan Diah tampak diam saja. Dengan pelan disela rasa takut, Diah tersendat membalas ucapan Ben, "Di sana ada mata bergerak, mata manusia." Diah masih berusaha menenangkan diri. Jawaban Diah tentu saja tak nyambung dengan pertanyaan Ben. Diah justru menjelaskan hal lain yang mereka lihat tadi, sangat menyeramkan. Ben membelalakkan matanya lebar. "Di mana?" tanya Ben yang ikut terkejut. "Dalam kulkas." cicit Diah bergetar. Ben menghela napas panjang, jengah. "Kan udah gue bilang, dan berarti daging itu juga daging manusia." jelas Ben menerangkan. "Sumpah siapa yang ngelakuin hal aneh kayak gitu!" Diah mendesis kesal. Diah tadi nyaris ingin mual saat membayangkan kembali adegan prosesi pemotongan mayat, rasanya ingin muntah detik ini juga. Aarav merasa aneh saat memandangi sekitar, Aarav tak menemukan Geya. Aarav langsung bertanya, "Eh Geya mana?"  Diah pun mulai menyadari tidak adanya Geya di dekat mereka. "Iya mana? Mungkin yang kaki tadi Geya." pikir Diah positif. "Dia pingsan?" tanya Aarav. Diah hanya mengangguk bisa jadi. Diah tak berani untuk menghampiri Geya sekarang, lebih baik Diah langsung menyuruh Ben saja. "Ben tolong lo ambil Geya dan tutup kulkasnya, ngeri banget." titah Diah pada Ben. Ben sontak melotot. "Maksud lo apa?" ujar Ben tak terima. Dia langsung menolak dengan menggeleng keras. Enak saja Ben jadi tumbal disini, bagaimana kalau sudah sampai disana, Ben malah diserang sama hantu-hantu disana. Aarav mendecak kecil. "Ini semua salah lo dan lo nggak mau ngelakuin apa-apa buat ngebantu?" ujar Aarav sinis. Ben menghela napas panjang. "Oke!" Dengan pasrah, Ben pun melangkah untuk mencari Geya. Akhirnya Ben menemukan Geya yang terkapar di lantai dengan keadaan pingsan, Ben menghampiri tubuh Geya. Sampai didekat Geya, Ben menundukkan kepalanya agar tidak langsung melihat ke arah dalam kulkas. Cepat-cepat Ben menutup kulkas menggunakan satu kaki. Kemudian mengambil daging menggunakan sarung tangan yang ada di dapur lalu mengangkat daging dan membuang ke dalam tong sampah begitu pun dengan sarung tangan dengan raut wajah yang menjijikkan. Ben mencuci tangan menggunakan sabun, berkali-kali Ben menggosok-gosok tangannya sampai bersih, saking menjijikkannya sampai membuat tangan Ben memerah karena gerakan Ben yang sedikit kasar pada tangannya sendiri.  Ben menoleh kearah Geya, berjalan ke tempat Geya tepatnya samping Geya. Ben langsung mencoba membangunkan Geya dengan menepuk pipi Geya pelan. "Bangun, bangun oi." ujar Ben berkali-kali. Namun tak ada tanda-tanda Geya akan segera bangun dari pingsannya. Ben yang keburu kesal akhirnya Ben mengambil air dari kran menggunakan tangan dan menyiram ke wajah Geya dan tentu Geya langsung terbangun karena terkejut saat itu juga. "Ada mata." Geya spontan terkejut dalam pingsannya. Otak Geya masih kosong, pikirannya melayang kemana-mana. Ben tak menggubris ucapan itu, dia langsung menarik tangan Geya agar keluar dari arah sini. Geya yang sudah sangat sadar langsung reflek langsung berlari, melewati Ben begitu saja sangking takutnya Geya. "Diah!" Geya berlari dan langsung memeluk Diah dengan erat. Tubuh Geya bergetar di pelukan Geya, Geya menangis terisak-isak. Diah langsung mengelus pelan bahu Geya, mencoba menenangkan Geya yang masih ketakutan. Ben hanya menatap mereka dalam diam, dia kembali duduk diatas sofa tadi. Aarav menatap satu persatu sahabatnya. "Intinya kita harus bisa berhemat, nggak ada makanan yang bisa dapatkan." jelas Aarav sangat tegas, tak terbantahkan. Hanya keheningan yang terjadi hingga Aarav menuju Ben dan menarik kerah Ben, membuat tubuh Ben otomatis terangkat karena cengkeraman Aarav yang begitu kuat pada bajunya. Ben hanya diam, memutar bola matanya sinis, selalu saja dia yang menjadi sasaran Aarav. "Jangan pernah lo minta makanan lebih ingat lo!" peringatan Aarav terdengar tak main-main. Wajah Aarav merah padam, gelojak emosi membara di tubuh Aarav tiap kali Aarav mengingat kilasan Ben yang selalu mengeluh karena mendapatkan makanan sedikit. Aarav melepaskan tangannya dari kerah baju Ben. Tak ada gunanya juga Aarav meninju wajah t***l Ben yang membosankan. Aarav berbalik, menatap kearah Diah dengan tatapan tegas dan penuh peringatan. "Dan lo Diah jangan lo kasih makanan lebih ke anak beban ini." ujar Aarav sarkas. Dan Diah hanya bisa mengangguk saja. "Dan kita harus cari cara untuk kembali ke luar dari rumah ini." Diah mempertegas hal itu, jangan sampai mereka melupakan hal itu. "Ya, kalau gini terus yang ada kita bakalan mati semua." Geya menimpali, Geya masih bergelayut di lengan Diah, Geya masih sedikit takut. Dia mencari perlindungan sama Diah. Ben hanya mengangguk sekilas. "Tapi boleh nggak sih jangan hari ini? kan kalian juga baru aja ketemu hal yang nggak kalian suka" tawar Ben pada sahabatnya. Langsung mendapatkan sanggahan dari Aarav, dia menatap Ben masih dengan sorot mata sinis. "Nggak bisa, lo tau kan kita nggak bisa terus terusan berdiam diri." Aarav menyentak tak terima. "Tapi betul kata Ben, lebih baik kita jangan dulu deh, istirahat dulu." Diah memberi pendapat, dia menatap Aarav meminta pengertian. "Iya gue juga masih trauma ni." Geya melanjuti. Geya juga setuju dengan ucapan Ben. Lagipula kalau dia masih trauma begini bisa saja Geya langsung pingsan ditempat lagi ketika menemukan hal mengerikan, yang ada makin merepotkan Aarav, Ben dan Diah. Geya tak ingin menjadi beban.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN