Bab 15

1239 Kata
Sudah tiga hari Aarav, Ben, Diah dan Geya berada di rumah dengan inisial G ini, disitulah mereka hanya bisa pasrah dan berdiam diri di dalam rumah, cukup membosankan sekali. Tidak ada yang mengerikan yang terjadi hanya saja sering terdengar suara aneh di luar, mereka pun tidak berusaha untuk tidak perduli dengan suara itu. Aarav, Diah, Geya dan Ben mematuhi aturan rumah ini. Dan sekarang waktunya untuk mereka mencari jalan untuk ke luar dari rumah ini, tidak ada waktu dengan hanya terus berdiam diri tidak jelas. Tentu saja Aarav, Ben, Geya dan Diah ingin berkumpul dengan keluarganya lagi. Mereka sangat merindukan orangtua mereka. Aarav, Ben, Geya dan Diah berniat untuk ke lantai atas hari ini, apalagi jika bukan untuk mencari semua isi dalam rumah ini, mereka akan mencari cara agar bisa ke luar dari rumah, menelaah luas rumah ini mungkin saja ada sesuatu yang bisa membawa mereka segera keluar dari rumah ini. Mereka sudah berkumpul, berdiri dengan posisi saling melingkar. Tatapan mereka saling menghubungkan keyakinan dana harapan besar. Aarav mengeluarkan sesuatu dari tasnya, kemudian memberikan itu pada Ben. "Pegang ini." Aarav memberikan sebuah gunting kepada Ben. Ben menyambutnya dengan raut wajah datar. "Ini buat lo." Aarav memberikan sebuah kayu dan memberikan itu kepada Geya. Dan, Geya menyambut itu dengan perasaan yang sulit diartikan, sedikit tak sebenarnya. Namun Geya harus mempertekad diri bahwa ia bisa dan berani. Sedangkan Diah di beri sebuah tongkat bisbol dan Aarav sendiri memegang pisau. Setelahnya, Ben, Geya dan Diah melayangkan tatapan tanda tanya ke arah Aarav. Aarav yang mengerti dengan tatapan itu, langsung menjelaskan tegas. "Untuk jaga-jaga, kita nggak tau kan ada apa nanti di atas. Kita nggak boleh balik harus bisa ngelusurin tu rumah." tukas Aarav dengan serius. Ben, Diah dan Geya yang mengerti dengan ucapan Aarav hanya mengangguk. Aarav berada diposisi depan, diikuti oleh Ben, Geya dan Diah, mereka mulai keluar dari kamar untuk menuju kelantai atas. Mendadak, Diah mengernyit dahinya. Diah merasa tempat ini berubah dari terakhir dia melihat, sangat berbeda apalagi dengan sofanya yang bergeser tempat tapi tetap rapi. Dan, jangan lupakan dengan dapur yang banyak terdapat sisaan makanan atau plastik yang baru dibuka. Seperti ada seseorang yang menyentuh barang-barang itu. Aarav, Ben, Geya dan Diah tampak berpikir keras memikirkan hal itu. "Apa ada manusia lain?" Seakan tak menemukan jawaban dalam otaknya, Ben melontarkan pertanyaan itu kepada Aarav, Geya dan Diah yang juga tampak bingung melihat hal yang sama. Diah menatap Ben, benar bahwa yang diia pikiran bahwa seperti ada kehidupan manusia.  "Dapurnya juga banyak sampah." Geya mengomentari kebingungannya. Di dapur memang banyak sekali kardus atau plastik makanan yang baru saja dibuka. Seperti ada orang lain di dalam rumah ini, mungkinkah hal itu bisa terjadi? Aarav juga tampak berpikir keras. "Apa jangan-jangan ada orang yang selama ini nakurin kita?" tanya Aarav. Diah hanya mengangguk sekilas. "Bisa jadi." Diah sedikit menyetujui pernyataan itu. Meskipun sebenarnya itu sulit dicerna, tidak mungkin juga ada manusia lain disini. Jika memang benar ada manusia lain, dimana manusia itu? "Tapi gimana dengan barang yang jatuh sendiri dan kadang kita juga ngerasakan ada yang megang kaki?" Diah menjelaskan keluh kesahnya yang selama ini mereka alami. Ben mengangguk sekali. "Iya juga, atau pengendali dari tempat ini adalah manusia dan setan ini semua tunduk sama manusia ini, kalian kan tau ada tu kayak semacam dukun." jelas Ben dengan cerdik. Seketika Geya mengusap kedua bahunya, bulu kuduknya seluruh berdiri, membuat Geya merinding ditempat setengah mati. Geya menjadi tak berani untuk melanjutkannya hal ini? dia jadi takut apabila di lantai atas ini bakal lebih bahaya dan mematikan. Dengan bibir bergetar, Geya menatap satu persatu sahabatnya yang justru lebih terlihat santai daripada dirinya yang semakin ketakutan, banyak pikiran negatif yang berkeliaran deli benaknya "Ya ampun musuh kita lebih bahaya dari setan." Geya semakin merinding. Diah pun mengangguk dengan raut muka pias. Ingin berhenti disini? itu sama sekali tidak mungkin. Mereka suda setengah jalan. Lantai dua juga tergolong sangat luas, hal itu membuat mereka harus bisa mengumpulkan kekuatan untuk bisa keluar dari sini. Bagaimana tidak, banyak sekali lorong gelap yang membuat mereka bingung, dan apabila saja mereka sudah menginjakkan kaki disalah satu lorong, mereka jadi takut tak bisa keluar dari sana. "Sekarang kita akan ke kamar itu." tanya Diah. Ben langsung menunjukkan salah satu pintu kamar yang besar bagian pojok, paling depan dahulu. Penuh dengan rasa penuh kewaspadaan, Diah, Ben, Aaraz, menatap sekitar. Mereka sudah berangkat setengah jalan, s*****a lindungi diiri tersemat erat pada jemari masing-masing. Aarav menahan tubuh Diah, Geya dan Ben menggunakan tangan, tepat di mata mereka. "Stop!!" Aarav memberhentikan langkah mereka setelah mereka sudah sampai didepan pintu target. Tentu saja, Aarav tak ingin gegabah dengan situasi seperti ini. "Kenapa?" Geya bertanya heran pada Aarav. Kenapa Aarav menghentikan mereka seperti ini? Aarav tak langsung menjawab ucapan Geya. Laki-laki itu lebih memilih mendekatkan telinganya ke pintu, Aarav mendengar sayup-sayup samar yang terdengar dari dalam, seperti suara tangisan. "Kayak ada suara nangis nggak sih? Tapi bayi." jelas Aarav pada sahabatnya, sekaligus menoleh kearah Ben, Geya dan Diah menunggu jawaban apakah merasakan hal yang sama. Ingin mengetahui apa yang terjadi, secara serentak Geya, Diah dan Ben ikut mendekatkan telinga.mereka, benar apa yang dikatakan oleh Aarav, tapi suaranya kecil nyaris tidak terdengar. Ben, Geya dan Diah mengernyitkan dahinya, bingung. Bayi siapa yang menangis? Mereka sama-sama merinding, ketakutan. "Apa manusia itu juga punya bayi?" Aarav bergumam pelan. Ben, Geya dan Diah tak bisa menjawab karena dia juga tak tahu. Melihat kediaman sahabatnya, Aarav dengan berani membuka handle pintu dan pintu itu akhirnya terbuka dengan lebar begitu saja. Benar sekali di dalam semua perlengkapan bayi lengkap seperti kasur, mainan dan keperluan bayi lainnya. Bedanya kamar ini memiliki cahaya lampu yang cenderung gelap, tak terlalu terang. "Itu bayinya?" tanya Diah bingung, sambil menunjuk sebuah tempat ayunan bayi dan tampak ada bayi di sana, hanya sedikit terlihat saja. Geya melihat yang sama begitupun juga dengan Ben dan Aarav. "Apa perlu kita lihat?" Ben bertanya. Aarav mengangguk pelan. "Perlu." tukas Aarav tegas. Kemudian Aarav yang seperti biasa memimpin, Ben, Geya dan Diah berada di punggung Aarav, menjadikan Aarav sebagai perlindungan. Ben, Geya dan Diah tidak percaya dengan keberanian Aarav yang luar biasa, mereka baru tahu soal ini. Mereka berjalan menuju tempat khusus tidur bayi, dan terlihatlah di mata mereka seorang bayi, terlihat dari tangan karena bayi itu ditutupi oleh kain putih kecil. Tanpa ragu, Aarav membuka penutup bayi itu, di detik yang sama Geya dan Diah membulatkan matanya, kaget sekaligus ketakutan. "Aaa." teriak Diah dan Geya kompak. Kompak juga mereka menutup mata dengan menggunakan tangan. Sedangkan, Aarav dan Ben mengernyitkan dahinya takut. Mereka berlari keluar dan kembali menutup pintu dengan keras. Napas Ben, Aarav, Geya dan Diah memburu cepat saking kuatnya mereka berlari untuk menghindari hal yang menyeramkan. "Apa itu?" tanya Aarav datar  Ben mengusap tubuhnya sendiri, merinding sekali, bagaimana tidak mereka baru saja menyaksikan sebuah organ tubuh bayi yang sudah di cing cang habis-habisan, hanya terlihat jari munggil yang masih utuh saja dan matanya memutih tak bergerak namun melotot. "Sumpah ngeri banget." Ben meringis kecil, dia mengigit-gigit bibir bawahnya gusar. "Balik." Tanpa pikir panjang Geya ingin pergi sendirian, dia tak peduli lagi dan memilih turun tangga, tapi sebelum itu terjadi Diah langsung menghadang Geya untuk mencegah pergi. Tak ingin Geya turun sendiri, mereka sudah sepakat sejak datang ke lantai atas. Diah menatap Geya dengan tatapan penuh perhatian. "Nggak bisa, kita udah sampai sini. Apa lo mau kita mati di dalam kamar tanpa ada usaha sedikit pun?" sentak Diah dengan lembut, dia tak ingin rencana awal gagal seperti ini. Mereka harus kompak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN