Aaron tersentak, segera menarik tubuhnya menjauh dari Aileen yang masih menatapnya dengan mata setengah terpejam. Napasnya memburu, dan pikirannya berkecamuk.
"Nona Moretz, hentikan! Kau tidak sadar dengan apa yang kau lakukan," ujar Aaron tegas, mencoba mengontrol situasi meski jantungnya berdebar kencang. Dia meraih pergelangan tangan Aileen yang menangkup wajahnya, tetapi Aileen tiba-tiba menariknya kembali mendekat.
"Jangan pergi … aku butuh kau di sini," gumam Aileen dengan tatapan penuh harap dan penuh hasrat, suaranya samar dan bercampur dengan isakan kecil. Tubuhnya masih terasa panas, efek dari sesuatu yang tak diketahuinya.
"Aileen Moretz, lepaskan aku," ucap Aaron lagi, suaranya lebih lembut, namun tetap tegas. Dia berusaha melepaskan tangannya, tetapi Aileen dengan sisa tenaga yang ada menangkup wajahnya lagi dan mencium bibirnya dengan penuh hasrat, kali ini lebih dalam dan intens.
Aaron membeku sejenak, merasakan sentuhan bibirnya. "s**t! Sepertinya ini ulah Alan Walters. B4jingan itu terlihat sangat terobsesi padanya tadi," batinnya. Kemudian Aaron teringat akan kejadian saat gelas Aileen pecah dan seorang pelayan memberikan gelas baru untuk Aileen pada Alan. "Pasti ini sudah dia rencanakan sebelumnya. Dia sudah menaruh sesuatu di gelas itu. Pantas saja mereka mengatakan pada Liam bahwa aku harus mengajak desainer lanskap yang baru," lanjutnya membatin dengan segala pemikirannya, sebelum dia dengan tegas menarik dirinya mundur.
"Nona Moretz, hentikan! Kau tidak sedang dalam kondisi normal!"
Aileen memejamkan mata, air mata mulai mengalir di pipinya. "Panas, Tuan Smith ... ini panas sekali. Tubuhku ... kenapa tubuhku terasa sangat panas seperti ini ... aku tidak sanggup lagi harus terus melawan perasaan ini … tolong aku ... aku membutuhkanmu ...."
Aaron menatapnya dalam diam, matanya melembut meski pikirannya penuh pertentangan. Dia tahu ini bukan Aileen yang sesungguhnya. Wanita keras kepala yang selalu melawannya di kantor tidak akan pernah menyerah seperti ini. Dia semakin yakin jika Alan pasti sudah meminta pelayan itu untuk memasukkan obat perangsang ke dalam gelas baru itu.
Aaron mencoba mengendalikan pikirannya, namun saat bibir Aileen kembali menyentuhnya, ciuman itu semakin intens dan penuh gairah. Hasrat yang selama 5 tahun ini terkubur di dalam dirinya karena prinsipnya yang no s3x no love sejak dirinya dikhianati oleh mantan istrinya, mulai muncul ke permukaan. Ia berusaha menahan diri, tapi desakan dan kelembutan Aileen melemahkan pertahanannya.
"s**t ... Aileen," gumam Aaron di sela ciuman mereka, tangannya perlahan meraih pinggang Aileen untuk menahannya agar tidak terjatuh. Dan, membuat Aileen semakin mendekatkan tubuhnya, tangannya mulai menuntut Aaron untuk melepas jasnya.
"Aku tidak sanggup lagi ... eummh ..., " bisik Aileen dengan suara parau, tatapannya mengunci mata Aaron yang kini dipenuhi kebingungan dan gairah yang kembali tertahan.
Aaron menggigit bibir bawahnya, mencoba melawan dorongan dalam dirinya. Namun, saat tangan Aileen mulai melepaskan jasnya dengan tergesa-gesa, dia menyerah pada hasrat yang kini mendominasi pikirannya. Dengan gerakan cepat, Aaron melepas jasnya dan membiarkannya jatuh ke lantai tanpa sedikit pun melepaskan ciuman mereka.
Akan tetapi, dalam hati kecilnya, Aaron tahu ada yang salah. Bukan ini caranya. Bukan dengan cara seperti ini dia membantu Aileen.
"Aileen," gumamnya, menarik diri sejenak, meski tubuh Aileen tetap melekat padanya. Napasnya terengah-engah, dan matanya menatap dalam pada wanita itu. "Kau tidak sadar, ini bukan dirimu. Aku tidak bisa memanfaatkan situasi ini."
Aileen, yang matanya kini mulai memerah karena efek obat itu, menggelengkan kepala dengan gelisah. "Tidak, Tuan ... aku butuh kau ... tolong, jangan tinggalkan aku," pintanya dengan suara hampir putus asa. Suaranya pun terdengar terengah-engah.
Aaron menutup matanya, mencoba menenangkan diri. "Aileen, kau seperti ini hanya karena terpengaruh obat. Aku akan membantumu keluar dari situasi ini. Tapi bukan seperti ini caranya," katanya tegas.
Dia memeluk Aileen erat, bukan untuk melanjutkan hasrat mereka, melainkan untuk menenangkannya. Dalam pelukannya, Aaron berjanji dalam hati bahwa dia akan menemukan Alan Walters dan memastikan pria itu membayar atas apa yang telah dilakukannya pada stafnya itu.
"Tenang, aku ada di sini ... aku tidak akan meninggalkanmu," gumam Aaron, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang masih memburu. Dia berharap, pelukannya bisa membuat Aileen melewati efek dari obat terkutuk itu.
Aaron tidak dapat mengabaikan panas tubuh Aileen yang semakin menyusup dalam dirinya. Saat tangan Aileen mulai menyentuh bagian inti tubuhnya yang sudah merespons dengan intens, napas Aaron tersengal, pikirannya kacau balau.
"Aileen Moretz ... hentikan," desisnya, tetapi suara itu kehilangan ketegasannya. Aileen menatapnya dengan penuh permohonan, lalu bibirnya mulai menyesap leher Aaron, membuat Aaron tidak sanggup lagi menahan diri. Dia tahu apa yang akan terjadi jika terus mengikuti dorongan ini, tetapi tubuhnya sudah mendominasi pikirannya.
Aaron akhirnya menyerah, dengan satu gerakan cepat dia mengangkat tubuh Aileen dan membawanya ke ranjang. "Kau yang memaksaku, Nona Moretz," gumamnya dengan nada berat. "Semoga besok kau tidak menyesalinya." Tatapan matanya yang gelap membuat Aileen menggigit bibir bawahnya, sementara tangannya menarik tubuh Aaron lebih dekat.
Malam itu mereka tenggelam dalam lautan gairah yang membara, seolah seluruh dunia hanya milik mereka berdua. Aaron, yang selama bertahun-tahun mengunci hasratnya karena trauma masa lalu, kini membiarkan dirinya larut dalam keintiman itu. Sentuhan mereka penuh dengan kebutuhan dan intensitas yang membuat keduanya lupa akan segala hal di sekitar mereka. Terlebih tentang perdebatan mereka tadi siang di kantor.
***
Keesokan paginya, cahaya matahari menerobos masuk melalui celah tirai kamar hotel. Sinarnya yang masuk menyentuh wajah Aileen, membuatnya bergerak sedikit, tubuhnya terasa lelah tetapi hangat. Dia perlahan membuka matanya, hanya untuk menyadari bahwa ruangan ini asing baginya. Saat kesadaran mulai kembali, matanya melebar panik. Terlebih saat menyadari tubuhnya tanpa sehelai benang pun, dan dia langsung memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangan, jantungnya berdebar keras.
"Ya Tuhan ... apa yang terjadi tadi malam?" bisiknya, memejamkan mata mencoba mengingat. Potongan-potongan memori mulai kembali. Bagaimana tubuhnya terasa panas luar biasa tadi malam. Bagaimana dia memohon pada Aaron untuk membantunya, hingga momen-momen di mana ciuman mereka semakin dalam dan liar, bagaimana dia membuka kancing kemeja Aaron satu per satu, dan ... bagaimana mereka tenggelam dalam malam yang penuh gairah.
"Astaga," desis Aileen, menutup mulutnya dengan tangan. Wajahnya memerah saat menyadari bahwa pria yang bersamanya tadi malam adalah Aaron Smith, bosnya yang galak, yang baru kemarin membuatnya sangat kesal.
Menyadari itu, dia seketika menoleh ke sisinya dan melihat Aaron masih terlelap, d**a bidangnya yang terbuka terlihat tenang dalam tidur. Aileen mendapati dirinya memandangi pria itu lebih lama dari yang seharusnya. Namun, pikiran tentang status mereka kembali menghantamnya.
"Apa yang aku lakukan?" bisiknya lagi, suara itu terdengar bercampur antara penyesalan dan rasa malu. Aileen dengan hati-hati bangkit dari tempat tidur, mencari pakaian yang berserakan di lantai kamar. Namun, sebelum dia sempat menemukan semua pakaiannya, suara serak Aaron terdengar dari belakangnya.
"Ke mana kau pergi, Aileen?" tanyanya, matanya masih setengah terbuka. Dan tatapan dingin Aaron membuat Aileen merasa semakin gugup.
"A-aku ... aku hanya mencari pakaianku," jawab Aileen terbata-bata, tidak berani menatap Aaron.
Aaron bangkit, bersandar di kepala ranjang sambil menatap Aileen. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya terdengar tenang tetapi sedikit berat.
Aileen menundukkan kepala, wajahnya memerah. "T-tuan Smith ... aku ... kita ... apa yang terjadi tadi malam tidak seharusnya terjadi," katanya pelan, hampir seperti berbisik.
Aaron memiringkan kepalanya, menatapnya dengan tajam. "Aileen, kita berdua tahu apa yang terjadi tadi malam bukan salahmu. Alan Walters yang menyebabkan semua ini. Aku yang seharusnya meminta maaf. Aku tidak bisa menahan diriku. Karena kau yang terus memaksaku untuk melakukannya."
Aileen menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menjawab apa. Dia mengambil pakaiannya dan buru-buru masuk ke kamar mandi, meninggalkan Aaron yang termenung di atas ranjang, matanya memandang pintu kamar mandi dengan tatapan penuh pikiran.
Di dalam kamar mandi, Aileen berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan tatapan kosong. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak pias. Air di wastafel mengalir tanpa ia sadari. Tangannya meremas sisi wastafel, mencoba menenangkan diri.
"Apa yang harus aku katakan padanya?" gumamnya pelan. "Haruskah aku memintanya melupakan kejadian semalam? Tapi … bagaimana kalau dia tidak mau? Bagaimana kalau dia menganggap ini ... sesuatu yang lebih dan memintaku untuk melakukan hal-hal yang aneh? Dia kan tipe orang pemaksa. Bagaimana jika dia meminta aku melakukannya lagi dengannya?"
Dia menghela napas panjang. "Tidak, tidak! Aku harus tegas padanya."
Ketika hendak melangkah ke shower, rasa perih di bagian inti tubuhnya membuat langkahnya terhenti. Wajah Aileen memerah, bukan karena malu, melainkan karena kenyataan yang menghantamnya begitu keras.
Tubuhnya bergetar saat ia menyadari mahkota yang selama ini ia jaga telah hancur. Ini adalah pertama kalinya. Kegadisannya telah hilang, dan yang membuatnya semakin sakit adalah bahwa itu terjadi bukan dalam kondisi yang ia kehendaki sepenuhnya. Namun, pikirannya dengan cepat berputar ke satu nama, Alan Walters.
“b******n itu ...” gumam Aileen, menggertakkan giginya. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang menggelegar. Ini bukan salah Aaron. Alan-lah yang menjadi dalang dari semua ini.
Aileen mulai mengingat kepingan memori tadi malam. Bagaimana asisten Alan membawa tubuh lemahnya ke kamar ini. Bagaimana asisten Alan itu menatapnya dengan senyum menjijikkan. Dan bagaimana Aaron tiba-tiba muncul, menghajar asisten Alan itu hingga tersungkur.
"Kenapa Tuan Smith bisa ada di kamar ini? Bagaimana dia bisa menemukanku? Apa dia mengikutiku saat asisten sialan itu membawaku ke kamar ini?" pikir Aileen, matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Semua itu seperti teka-teki. Tapi satu hal yang jelas, jika Aaron tidak datang, kemungkinan besar malam itu akan berakhir jauh lebih buruk.
Dia merasakan kelegaan kecil di tengah kekacauan pikirannya. "Setidaknya ... pria yang mengambil kevirginanku bukan Alan," gumamnya lagi, menutup matanya sejenak.
Air dari shower mulai mengalir, menenangkan pikirannya yang kalut. Saat tetes-tetes air hangat menyentuh kulitnya, Aileen berusaha menerima kenyataan. Semua sudah terjadi, tidak ada yang bisa diubah.
“Setelah ini, aku harus bicara dengan Tuan Smith,” pikirnya. “Aku akan mengatakan padanya agar kita melupakan semuanya. Aku tidak mau ini menjadi beban bagi kami berdua.”
Akan tetapi, jauh di lubuk hatinya, Aileen tahu itu tidak akan mudah. Ada sesuatu yang mungkin menjadi lebih dalam antara dia dan Aaron. Malam itu, meski dimulai dengan keadaan yang salah, tapi meninggalkan jejak ingatan yang kuat di benaknya.
Dengan napas berat, dia mematikan shower dan mengambil handuk. "Aku harus kuat," katanya pada dirinya sendiri. Kemudian segera memakai pakaiannya yang ia kenakan kemarin.
Sementara itu, Aaron masih duduk di tepi ranjang, pikirannya berkecamuk. Dia menoleh saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. Aileen muncul, mengenakan setelan yang sudah kusut, rambutnya basah, dan wajahnya tampak lebih tenang meski jelas terlihat bahwa dia masih berusaha keras mengendalikan emosinya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Aaron, suaranya dingin, tapi tatapannya penuh perhatian.
Aileen mengangguk pelan, lalu duduk di sofa yang berada di seberang tempat tidur. "Tuan Smith, aku ... aku ingin kita melupakan kejadian tadi malam. Anggap saja tidak ada yang terjadi di antara kita."