2. Ciuman Mendadak

779 Kata
*** Sore hari, di lobi hotel, Aileen tiba bersama Aaron dengan langkah berat menuju restoran tempat mereka akan mengadakan pertemuan bersama klien baru perusahaannya. Wajahnya masih menunjukkan kekesalan terhadap bos galaknya itu, yang memaksanya ikut pertemuan ini setelah perseteruan mereka tentang pekerjaan tadi siang. "Menyebalkan sekali! Bukankah dia sendiri yang bilang dia yang berhak menentukan semua desain kliennya karena dia adalah pemilik Art Life? Terus, kenapa juga aku harus ikut bersamanya sekarang? Percuma saja jika aku sudah berunding dengan klien tentang desain lanskapnya, tapi ternyata dia mengubahnya dengan sesuka hati!" gerutu Aileen dalam batinnya sambil mendengus kesal dan menatap penuh kebencian pada punggung Aaron yang tengah berdiri di depannya saat mereka sudah memasuki lift menuju restoran yang berada di lantai 3 hotel tersebut. Aaron yang berdiri di dalam lift dengan raut wajah yang dingin, menyadari tatapan maut Aileen dari dinding pintu lift yang berada di depannya. Namun, dia sengaja mengabaikannya. Karena tidak ingin sampai berdebat lagi dengan desainer lanskap barunya yang keras kepala itu di depan klien. Dan, ketika mereka keluar dari lift dan memasuki ruangan restoran yang megah, tatapan Aileen langsung membeku. Di meja yang sudah disiapkan, berdiri seorang pria tinggi dengan senyum terlalu ramah—Alan Anderson. "A-Alan?" gumam Aileen, suaranya hampir tak terdengar. Jantungnya berdebar keras, kenangan buruk dari masa sekolah menengah atas kembali menghantuinya. "Aileen Moretz! Lama sekali tak bertemu!" Alan menyapa dengan antusias, mengabaikan ekspresi tegang Aileen. Dia berjalan mendekat, tangannya terulur, tetapi Aileen hanya berdiri kaku. Aaron, yang berdiri di sampingnya, menyipitkan mata, memperhatikan interaksi tersebut. "Apa kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" tanyanya. "Ya, Tuan Smith. Kami satu sekolah saat sekolah menengah atas. Aku tidak menyangka jika desainer lanskap yang bekerja di Art Life adalah benar-benar Aileen yang kukenal," ujar Alan. Aaron meresponnya dengan anggukan kecil. Lalu langsung to the point. "Baiklah ... jika kalian ingin membahas tentang masa lalu kalian, itu bisa dilakukan nanti setelah kita selesai merundingkan tentang proyeknya. Karena, kita berkumpul di sini untuk urusan pekerjaan, bukan reuni," ucapnya dingin, memotong suasana. Alan terkekeh, menarik kembali tangannya. "Tentu saja, Tuan Smith. Tapi bertemu Aileen di sini benar-benar kejutan yang menyenangkan untukku." Aileen hanya menunduk, mencoba mengendalikan kegelisahannya. Aaron meliriknya sekilas, menangkap perubahan sikapnya, tetapi memilih untuk tidak menanyakannya. Dia mengarahkan Alan untuk duduk, lalu memulai pembicaraan bisnis tanpa basa-basi. Satu jam berlalu, pembicaraan tentang proyeknya selesai, dan Alan menuangkan wine ke dalam gelas-gelas mereka. Saat giliran Aileen, gelasnya pecah karena tersenggol tangan Alan. "Oh, maafkan aku, Aileen," kata Alan dengan nada penuh penyesalan. Kemudian dia segera meminta pelayan membawa gelas baru dan menuangkan wine untuk Aileen. Setelah mereka bersulang, Aileen meminum wine itu cukup banyak, untuk meredakan rasa kesalnya pada Aaron, dan rasa gelisahnya karena pertemuannya dengan Alan Walters, pria yang dulu sangat terobsesi padanya hingga hampir melecehkannya. Namun, lima menit kemudian, tubuhnya mulai terasa aneh. Ruangan yang sebelumnya sangat sejuk mendadak terasa sangat panas, dan pandangannya mulai sedikit kabur. "Permisi … aku harus ke toilet sebentar," katanya pelan, berusaha berdiri meski tubuhnya lemas. Aaron menatapnya tajam. "Kau baik-baik saja, Nona Moretz?" Aileen mengangguk lemah sebelum berjalan ke toilet. Aaron mengamati langkahnya yang sedikit terhuyung. Dua puluh menit berlalu, Aileen masih belum juga kembali. Alan telah pamit pulang lebih dulu barusan, tetapi Aaron merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Aileen. Dia memutuskan menyusul desainernya itu. Saat tiba di lorong menuju toilet, dari kejauhan dia melihat Aileen duduk terkulai di lantai, bersandar pada dinding di depan pintu toilet wanita. Tetapi, sebelum dia sempat mendekat, seorang pria—asisten Alan—datang menghampiri Aileen, membantu mengangkatnya berdiri. Aaron berhenti sejenak, berpikir pria itu mungkin hendak menolong. Namun, saat mereka berjalan menuju lift dan bukan ke lobi, insting Aaron langsung menyala. Dia mengikuti mereka melalui lift lain setelah mengetahui lantai tujuan pria tersebut. Saat pintu lift terbuka, Aaron melihat pria itu membawa Aileen yang kini digendong, menuju alah satu kamar presidensial suite room. Meskipun tubuhnya lemah, Aileen tampak berusaha memberontak. "Berengsek!" Aaron mengumpat pelan, berlari mengejar. Begitu pintu kamar terbuka, Aaron langsung menerobos masuk, dan melihat pria itu tengah membaringkan tubuh Aileen yang lemah di atas ranjang. Dia mencengkeram kerah pria itu dan menghajarnya hingga jatuh ke lantai. "Berani kau menyentuhnya, aku pastikan hidupmu akan hancur!" ancamnya dengan mata penuh amarah. Pria itu gemetar dan segera kabur setelah melihat Aaron tampak tidak main-main dengan ancamannya. Aaron menghampiri Aileen yang tergeletak di ranjang, wajahnya merah dan tubuhnya gemetar. "Nona Moretz!" Aaron menepuk pelan pipinya. "Aileen, dengar aku!" Aileen membuka matanya perlahan, pandangannya kabur. Dalam kebingungannya, dia mengangkat tangan lemah, menangkup wajah Aaron. Sebelum Aaron sempat berkata apa-apa, Aileen menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh hasrat. Aaron membeku, matanya melebar. "Ka-kau?" gumamnya pelan dalam batin, tidak yakin apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN