Keesokan harinya, terlihat Dirga sedang menunggu Demian yang baru saja dia bangunkan untuk mengisi jadwal kuliah umum di Universitas Wiyasa Aditama, sebuah kampus bergengsi yang ada di Indonesia. Demian dengan malas akhirnya bergegas untuk bersiap dan tampil sempurna seperti biasa. Tak hanya sekali, Demian kerap di minta untuk membawakan kuliah umum di universitas-universitas di Jakarta. Tapi, kali ini dia sangat malas karena permasalahan pribadinya yang sangat mengganjal. Entah mengapa kakinya terasa berat untuk melangkah menuju Wiyasa Aditama University,
“Dirga, kamu bisa gantiin aku gak? Males banget nih aku ke kampus. Lagian ngapain juga opa kasih aku job kuliah umum di kampus itu. Beda arah sama kantor. Aku lagi gak mood ngapa-ngapain intinya…” keluh Demian sembari duduk di kursi belakang mobil dan Dirgantara tampak menutup pintu mobil lalu berjalan memutar untuk duduk di kursi kemudi.
“Ya, gak mungkin, Pak. Bisa-bisa saya di laporkan pemalsuan identitas…” Dirgantara mulai melajukan mobilnya dengan halus meninggalkan rumah megah yang di tinggali artis ternama Indonesia. Zoya.
“Yaudah, aku tidur dulu deh. Tar kamu bangunin aja kalau sudah sampai. Kita ngisi cuma untuk sembilan puluh menit aja, bukan?” Demian menatap kearah Dirga sang asisten pribadi.
“Benar, Pak. Kita dapat jadwal hanya sembilan puluh menit.”
Demian membelalakkan matanya.. “Apa kamu bilang? Hanya? Enak kamu ngomong, karena bukan kamu yang jalanin. Coba kamu yang jalanin, betapa bosannya menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari mereka.” Helaan nafas terhembus kuat.
“Anggap saja sedang bertamasya, Pak. Siapa tahu ketemu cewek cakep di sana…”
Demian melempar tissue di tangannya tepat mengenai kepala Dirga. “Cewek cantik gundulmu! Emangnya kita mau lihat cewek. Kalau mau lihat cewek cantik udah paling bener di studio…”
Dirgantara nyengir kuda. “Siapa tahu, Pak. Bapak malah ketemu jodoh bapak di kampus ini.”
“Jodoh kepala kamu! Udah jelas aku sudah di jodohin, gimana jalannya ketemu di kampus? Gak ada istilah jodoh-jodohan.”
“Pak, kita sudah sampai. Dan kita cuma punya waktu lima menit untuk bersiap….” Dirgantara mengingatkan majikannya.
“Apa? Sudah sampai? Kok cepet amat, Dirga? Huffttt!” Keluh Demian akhirnya dengan cepat dia merapikan dasinya, lalu mengenakan stelan jas yang serasi dengan dasi. Dia terlihat sangat tampan pagi ini mengenakan kemeja putih di balut jas hitam dengan dasi abu.
Dirgantara tampak membukakan pintu mobil untuknya, mereka di sambut oleh pihak kampus lalu mengantarnya pada kelas yang mendapat jadwal kuliah umum darinya.
Demian memasuki ruangan kelas dengan pesonanya, hingga membuat para mahasiswi terkesima. Dia memulai percakapan denagn pengenalan diri dan background. Terlihat mereka antusias karena mengetahui latar belakang keluarganya dan sepak terjang dirinya di dunia bisnis.
Para mahasiswa terlihat antusias mendengarkan kuliah umum darinya, berbagai materi telah dia sharing berdasarkan pengalaman langsung. Hingga tanpa terasa waktu tersisa tinggal lima belas menit terakhir.
Tok! Tok! Tok!
Sebuah ketukan halus di pintu, lalu terlihat seorang mahasiswi memasuki ruangan dengan santai, sempat membuatnya terbelalak lebar melihat keberanian sang mahasiswi. Akhirnya dia mereda karena ini hanyalah kelas umum.
‘Dia sengaja gak ikut kelas aku. Ya dia sendiri yang rugi. Biarin aja. Dia kira mentang-mentang dia cakep trus ilmu bakalan muncul sendiri? Dasar. Percuma cakep kalau males.’
Mahasiswi itu duduk di kursi belakang terlihat sahabat di sampingnya menyambutnya dan berbisik. “Farzana, kok bisa lo telat gini? Sayang banget ini bapak ganteng banget…” bisik sahabatnya.
“Aku ketiduran, tadi malam susah banget tidur…”
Ekor mata elang milik Demian menyorot wanita yang baru datang, entah karena memang sang mahasiswi itu terlihat paling bersinar di antara yang lain. Atau karena dengan santai masuk kelas di ujung kuliahnya, hingga Demian merasa tersinggung.
“Oke, ada lagi yang mau di tanyakan tentang kuliah umum ini? Kita masih memiliki waktu kurang lebih lima belas menit. Silahkan yang ingin bertanya…” Demian duduk dan mencuri pandang kearah sang mahasiswi.
“Pak, untuk menekuni dan membuat sebuah usaha berhasil contoh Demi TV, seperti yang bapak katakan di awal, bahwa kita butuh komitmen dan kerja keras, dengan begitu kita akan sukses dengan usaha kita. Apakah kesuksesan bapak tidak ada kaitannya dengan bapak yang notabene memang memiliki modal yang kuat untuk sebuah usaha karena keluarga bapak emang konglomerat?”
Sebuah pertanyaan yang mengalihkan perhatian Demian dari wanita cantik natural yang baru datang kepada wanita berwajah oriental yang duduk di depan. Demian melemparkan senyum lalu menjawab.
“Siapa nama kamu?” Tanya Demian dan di jawab tegas sang mahasiswa yang ternyata memang berdarah Jepang.
“Saya, Narumi Mitsuko Yamamoto….” Seulas senyum di suguhkan pada Demian.
“Asli Indo?”
“Saya campuran, Pak. Ibu saya keturunan Jawa- Jepang. Ayah saya Jepang asli.”
“Oke, Baik Narumi…” Demian kembali melempar senyum kearah Narumi hingga membuat Narumi terkesima dengan senyum manis milik pria yang sedang berdiri di depan kelas. Sejak lima belas menit terakhir, entah karena kedatangan mahasiswi yang telat masuk dan memang dia yang paling cantik natural di kelas, atau karena jam pelajaran sudah mau berakhir, Demian lebih banyak memamerkan senyum dibanding ketika pertama kali tadi membawakan materi.
“Begini, Demi TV tidak saya dapatkan dengan instan. Bahkan itu sudah lebih dua puluh tahun sejak saya mendirikannya waktu itu bersama kakek saya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu. Demi TV justru tetap bertahan dan tetap di minati di tengah kecanggihan elektronik saat ini. Tentu saja karena kerja keras dan kegigihan. Bukan karena modal yang kuat. Kalau selama dua puluh tahun tidak memiliki keuntungan. Sudah pasti perusahaan akan tutup. Nah, oleh sebab itu. Apapun usaha yang kita dirikan, harus di tekuni dan kita harus bekerja keras untuk mempertahan serta berinovasi untuk mengembangkan usaha tersebut. Atau bila perlu kita menambah jenis usaha lain, tentu saja dengan mempertimbangan ratio gagal.”
Terlihat beberapa mahasiswa dan mahasiswi antusias melontarkan pertanyaan padanya, dan dirinya dengan semangat menjawab, bahkan lima belas menit terakhir Demian terlihat lebih semangat, seolah diriya sedang unjuk gigi dan memperlihatkan kesempurnaan dan kecerdasan otaknya.
Hingga waktu berakhir, dan di akhiri dengan sesi foto bersama. Ada beberapa mahasiswa dna mahasiswi yang meminta foto dengan dirinya berdua saja. Demian dengan sabar melayani mereka. Hal yang membuatnya heran adalah wanita yang tadi datang terlambat, sama sekali tak bergeming, setelah melakukan foto sesi bersama, dia kembali duduk di kursinya di dampingi sahabat yang duduk di sampingnya. Dia tampak tidak bergabung dengan eforia para mahasiswa lain yang mengejarnya pagi itu.
Helaan nafas Demian terhembus keluar, sesekali dia mencuri pandang kearah sang mahasiswi yang justru fokus dengan buku di hadapannya, lalu berpindah pandangannya pada catatan yang dia buat.
Demian tersenyum tanpa sadar melihat apa yang di lakukan sang mahasiswi itu. Hingga dia akhirnya melangkah keluar meninggalkan kelas setelah berpamitan.
Langkah panjang miliknya di kejar oleh seorang mahasiswi yang tadi antusias dengan mata kuliah yang dia berikan.
“Pak Demian. Permisi, Pak. Boleh saya memiliki kontak person Bapak? Siapa tahu saya ingin berkonsultasi mengenai hukum bisnis…” ucap Narumi dengan senyyum manis khas miliknya.
“Ahh, oke…” Demian memberikan sebuah kartu nama ke tangan Narumi. “Tapi, mohon maaf jika saya kategori slow respon…”
Narumi meraih kartu nama itu. “Tidak masalah, Pak. Saya orang yang gigih kok kalau ingin mendapatkan sesuatu. Apalagi itu ilmu…”
“Wow, good. Oke, saya permisi…” Demian melanjutkan langkahnya
Hingga akhirnya dirinya meninggalkan kampus dengan wajah riang setelah menikmati hidangan kopi panas dari sang rektor dan pemilik yayasan.
“Sepertinya hasil kuliah umum menyenangkan, Pak…” celetuk Dirgantara sembari fokus mengemudi.
“Ahh! Kamu, bisa aja. “ seulas senyum milik Demian yang langsung menepuk jidatnya.
“Cakep-cakep, Pak? Gimana respon mereka, Pak?” Dirgantara menjadi antusias alias kepo ingin mengetahui apa yang terjadi dengan sang majkan mengapa terlihat sumringah sekembalinya dari kampus.
“Hmm…ada satu mahasiswi yang menarik perhatian sih. Cuma emang dia dateng telat tadi, di lima belas menit akhir. Mungkin karena dia telat ya, makanya dia juga gak bisa interaksi seperti yang lain.” Demian tersenyum sembari membayangkan wajah sang mahasiswi yang tengah serius memperlajari buku tebal perundang-udangan.
“Wahh! Udah kepincut aja nih. Trus yang lain ada gak, Pak?”
Deman berfikir sejenak. “Ada mahasiswi keturunan Jepang, sepertinya dia cerdas dan detail. Boleh tuh tar kita rekrut di Demi TV.”
“Ehm! Ada yang menarik perhatian, tapi dia telat datang dan gak aktif. Ada yang cerdas tapi kurang menarik perhatian. Waduhhh…dilema nih pilih yang mana…” sindir Dirgantara yang juga kurang menyukai Prilly sebagai kekasih pimpinannya.
“Ngawur kamu! Wanita itu juga pasti punya pacarlah. Secantik itu mana mungkin gak punya….”