Menyentuhmu

1142 Kata
Meski jengkel, Ellie akhirnya mengakui jika mengganti nama panggilan itu cukup berpengaruh pada hatinya. Dia menjadi lebih santai saat bekerja, dan tubuhnya tidak lagi terasa terlalu lelah setiap kali sesi latihan bersama Raven berakhir. Paling tidak satu masalahnya teratasi, karena meski satu minggu telah berlalu, Ellie masih sering terganggu dengan kedekatan tubuh mereka. Jantung Ellie masih tidak terbiasa dengan kedekatan itu. "Raven, kau harus istirahat!" Setelah menimbang dalam bimbang, Ellie akhirnya berani menegur Raven. Ini sudah lewat tengah malam, tapi dia masih terus mendengarkan laporan Jasper. Walau tidak ada keluhan, tapi tubuh Raven tetap harus mendapatkan istirahat yang cukup. Ellie tidak bisa membiarkannya kelelahan. "Apa?" Raven mendongak, sambil mencabut air pod yang menempel di telinganya. Matanya sekilas bergerak, mencari arah sumber suara Ellie. "Kau harus beristirahat. Ini sudah lewat tengah malam," ulang Ellie. "Benarkah?" Raven mencabut air pod di telinga yang satu lalu menyimpannya di laci. "Mungkin ini keunggulan menjadi buta. Aku bisa mengabaikan waktu, karena tidak melihat jam....Hahh" Raven lalu menjalankan kursi menuju tepat tidur. Dia bekerja di kamar, karena memang saat ini bukan jam bekerja. Dia sudah menyuruh Jasper beristirahat semenjak sebelum makan malam, tapi dia sendiri masih bekerja sampai tengah malam. Ellie kini juga mulai sadar, jika seluruh kekayaan Wycliff tidak didapat dengan mudah. Raven menghasilkan setiap sen dengan kerja keras. Dan Ellie mulai sedikit heran, karena meski sangat sibuk, tidak pernah tersebut nama Lonan di mulut Raven. Dia tidak pernah terlihat atau menginginkan bantuan Lonan. Jasper juga tidak mengusulkan hal itu. Ellie mengerti jika dia di sini menghindari wartawan dan khalayak ramai, tapi tidak mungkin dia menghindari adiknya bukan? Ellie sendiri sudah menyiapkan berbagai skenario jika sampai Lonan datang ke sini. Dia mempertimbangkan untuk mengambil liburan, jika terdengar kabar kedatangan Lonan. Berteman dengan Jasper, akan selalu memberinya info terkini soal jadwal Raven. Dia pasti akan tahu jika memang Lonan akan datang berkunjung. Tapi sampai sekarang tidak pernah ada penyebutan nama Lonan. Raven menanggung semua beban kerja meski dalam keadaan buta dan lumpuh. Fakta itu membuat Ellie mulai mempertanyakan hubungan mereka berdua. Lima tahun lalu mereka terlihat dekat. Tapi lima tahun adalah waktu yang lama. Apa saja bisa terjadi. "Apa kau menungguku? Kau tidak perlu melakukannya. Kau bisa mematikan lampu dan tidur duluan. Aku tidak akan terpengaruh." Mata Raven tidak bisa membedakan terang dan gelap, karena itu kamarnya lebih sering dalam keadaan gelap sebelum Ellie ikut menempatinya. "Aku tidak menunggumu! Aku hanya terbangun sesaat," bantah Ellie. "Aku sudah bilang, jangan membantah jika tahu kau akan kalah. Lebih baik mundur sebelum mempermalukan dirimu sendiri." "Aku......Kau tahu?" Ellie menelan bantahannya, dan berbalik bertanya karena heran, Raven sepertinya tahu dia telah berbohong. Dia belum tidur sedari tadi. "Ha...aku bisa mendengar langkah kakimu dengan jelas. Kau mondar-mandir di depan almari tiga kali, untuk berganti baju. Lalu kau duduk setelah mengambil satu buku dari rak. Ah.. dan kau mulai mondar mandir di depan meja kerjaku sekitar setengah jam sebelum akhirnya kau menegur" Raven kembali dengan nada superior, menjabarkan dengan tepat kegiatan Ellie di kamar ini. "Kau tahu aku berganti baju?" Wajah Ellie menghangat karena malu. "Aku hanya buta, Hazel. Tidak tuli." "Tapi...tapi katamu aku bisa mendapatkan privasi di sini!" Ellie menutup wajahnya yang semakin panas. "Hazel...aku hanya mendengarmu berganti baju! Apa ini akan menjadi masalah? Jangan konyol!" Ellie memandang Raven uang kini tersenyum jahil, sambil menyandarkan kepalanya ke tangan. Itu adalah kebiasaannya ketika sedang tertarik pada sesuatu. Ellie selalu melihat pose itu setiap kali Jasper menjelaskan soal dokumen yang akan diurusnya. "Tapi... tapi berarti kau tahu aku...aku sedang tidak memakai baju!" "Ha..Ha..Ha!" Raven tergelak sampai perutnya sakit. Ellie memandangnya dengan kesal. Dia tidak merasa ada yang lucu. "Hazel... Apa kau belum pernah tidur dengan pria manapun?" tanya Raven, setelah tawanya berhenti. "Bukan urusanmu!" Ellie membentak hampir seketika. "Ha... menolak menjawab berarti iya." "Memang apa hubungannya dengan semua ini?!" Ellie semakin kesal, karena Raven tersenyum, setelah berhasil membaca arti lain dari jawabannya. "Dengan fakta itu, aku menjadi mengerti kenapa kau meributkan hal ini. Rupanya kau belum pernah membuka baju di hadapan pria lain sebelum ini. Aku merasa terhormat bisa menjadi pria pertama yang melihatmu.... Hazel." Raven kembali bernada sarkastik, menegaskan jika dia tidak melihat apapun. Dan tentu saja dengan kalimat itu, perdebatan ini kembali dimenangkan oleh Raven. Ellie hanya bisa mengerucutkan bibir. "Apa sekarang kita akan tidur?" tanya Raven, sambil menurunkan pegangan tangan di kursi rodanya. Dia bersiap bergeser ke atas kasur. "Ya!" Ellie menjawab dengan kasar. Dia lalu berjalan menuju tempat tidurnya sendiri yang ada di pojok barat. Ranjang itu datang tiga hari lalu. Dia tidak perlu lagi berada di kasur yang sama dengan Raven. "Tunggu!" Dengan prediksi langkah dan desiran saat Ellie lewat, Raven berhasil menangkap lengan Ellie. "Ada apa?" Ellie sempat berjengit terkejut, tangan Raven dingin sekali. Dengan sekali hentakan, Raven menarik tubuh Ellie mendekat, "Aku ingin menyentuh wajahmu.." katanya, sambil mengulurkan tangan ke atas, menyentuh pipi Ellie. "Kee..naa..pa?" Ellie tergagap, tidak bisa menahan laju jantungnya yang tiba-tiba bertalu-talu. "Shhhh....!" Raven menyuruhnya diam. Tangan Raven yang dingin, perlahan meraba wajah Ellie. Dengan sabar dia menyusuri dagu, lalu naik ke bibir. Raven mengusap bibir itu pelan, sedikit demi sedikit, memproyeksikan bentuk dalam benaknya. Jejak sentuhan Raven dengan cepat menghangatkan tubuh Ellie, tanpa bisa dicegah. Dia sudah mengerti jika Raven meraba, hanya untuk tahu bagaimana bentuk wajahnya. Tapi tubuhnya terus membara tanpa peduli alasan. Ellie mengatupkan bibirnya rapat-rapat, mencegah desahan yang sudah terkumpul di ujung lidah. Matanya terpejam, saat Raven mulai menjelajah ke mata. Jari Raven mengusap matanya satu demi satu. Bulu mata Ellie yang lentik bergetar, saat jari Raven menari diantaranya. Tidak berhenti disitu, Raven terus menarikan jemarinya ke arah kening, lalu merambat turun menuju telinga Ellie. Kini tidak hanya satu, tapi kedua tangan Raven terulur ke atas, menjelajahi kedua telinganya secara bersamaan. "Cantik... Dan kau masih perawan? Ini tidak masuk akal!" Gumaman Raven, membawa akal sehat Ellie kembali. Dia menangkap kedua tangan Raven, menurunkannya dengan paksa. "Terima kasih sudah mengakui wajahku cantik. Tapi bukan urusanmu mengapa aku memilih untuk tidak pernah tidur dengan pria. Sekarang tidurlah, sebelum aku melaporkanmu atas dasar pelecehaan secara verbal!" kata Ellie dingin. Sejenak tadi dia lupa siapa Raven. Dia lelaki berbahaya yang telah mematahkan hatinya dengan sengaja, karena ingin melindungi hartanya. "Hanya pelecehan verbal? Well, aku senang kau menikmati sentuhanku, dan tidak mengkategorikannya sebagai pelecehan....Jangan membantah!" potong Raven, merasakan Ellie akan membentak. "Aku bisa merasakan detak nadi di lehermu tadi. Kau menikmatinya Hazel." Raven melanjutkan sambil tersenyum. Ellie tidak bisa berkata-kata. Dia langsung berlari menuju tempat tidurnya, lalu menggubur seluruh tubuh, termasuk kepala, di dalam selimut. Wajahnya kembali memanas, malu karena Raven bisa membacanya dengan tepat. "Ellie... dia laki-laki kejam dan dingin!" Ellie berteriak keras di dalam hati. Berharap teriakan itu, akan sanggup, melawan debar jantung dan aliran darahnya, yang mulai terhanyut jauh meninggalkan akal sehat. Tubuhnya dengan nyata berpihak pada Raven, betapa pun kerasnya dia mencoba untuk menolak. Kini satu-satunya harapan Ellie untuk tidak tenggelam dalam pesona Raven, hanyalah akal sehat yang perlahan juga mulai menipis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN