Kesepakatan

1348 Kata
"Kita pulang." Jasper menginjak pedal gas, dan mobil mewah itu melaju kencang dengan mulus, meninggalkan area parkir rumah sakit. Ellie tidak merasakan getaran maupun suara mesin di dalam. Seolah mengejek bagaimana mobilnya selalu menggerung protes, setiap kali Ellie mencoba untuk berpacu melebihi 60km/jam. Mobil itu adalah limousine yang sama, yang dipakai Jasper menjemputnya di bandara. Hanya kali ini yang duduk di depannya adalah Raven. Mobil itu kepingan kemewahan lain yang dialami Ellie malam ini. Dia baru saja menyaksikan hal yang belum pernah dilihatnya di rumah sakit manapun sebelumnya. Hari ini, Raven memiliki jadwal untuk berkunjung ke dokter, untuk melakukan pemantauan kemajuan kesehatannya, terutama untuk mata. Jika untuk memonitor kesehatan, biasanya akan ada dokter yang datang ke rumah memeriksa keadaannya, tapi karena hari ini dia butuh melakukan CT-Scan dan MRI, jelas dia harus datang ke rumah sakit. Ellie membayangkan mereka akan berkunjung ke rumah sakit siang hari, lalu melakukann dengan prosedur normal, tapi dia salah besar. Untuk menghindari kerumunan dan saksi yang kemungkinan akan melihat kecacatannya, Jasper sengaja mengatur agar jadwal pemeriksaan Raven, berlangsung malam hari nyaris tengah malam, saat rumah sakit sudah lebih sepi. Ellie tentu saja heran, karena rumah sakit biasanya tidak akan pernah menjadwalkan pemeriksaan CR-Scan dan MRI pada malam hari, kecuali pasien gawat darurat dari ICU atau UGD. Tapi uang bisa mengatur segalanya, dengan santai, mereka melenggang masuk melalui pintu khusus VVIP, langsung menuju ruang pemeriksaan. Di sana dokter sudah menunggu, menyapa ramah dan seluruh prosedur berlangsung tidak lebih dari dua jam. Dua jam itu sudah termasuk konsultasi pada dokter tentang hasil rekam medik. Saat melihatnya tadi, Ellie sempat merasa sedikit tidak adil. Karena teringat bagaimana antrian panjang pasien di rumah sakit di London. Mereka harus bersabar berjam-jam jika ingin menerima perlakukan seperti Raven tadi. Itu adalah situasi umum yang dilihatnya hampir setiap hari. Tapi mengingat jika rumah sakit ini berafliasi langsung dengan Wycliff, tiba-tiba semua itu terasa wajar. Jika Stefan hanya menerima bantuan dari Raven, maka rumah sakit ini mendapat curahan dana langsung dari mereka. Ellie juga melihat jika rumah sakit itu, fasilitasnya jauh lebih lengkap dari pada rumah sakit Dr. Stefan. Mau tidak mau Ellie merasa iri dengan itu semua. "Bagaimana pendapatmu soal hasil pemeriksaan tadi?" tanya Raven, memaksa Ellie menoleh ke depan, meninggalkan pemandangan di luar jendela mobil. "Bagus, " kata Ellie "Hmm... sampai kapan kau akan marah? Aku tidak menyangka kau memiliki sifat pendendam." Raven mengernyitkan dahi, sambil memandang kosong ke arah kursi kosong di sebelah Ellie. Dia tidak lagi memakai kacamata hitam setiap kali bersama Ellie. Jadi Ellie bisa melihat jika dia merasa terganggu dengan jawaban singkat itu. "Aku tidak marah! Jangan mengada-ada," sergah Ellie. "Apa kau merasa puas jika mendebat setiap perkataanku? Atau kau hobi membohongi dirimu sendiri? Keras kepala sekali!" cela Raven. Ellie memainkan kuku jarinya sambil menunduk. Dia tentu saja marah. Semenjak malam dimana Raven menyentuh wajahnya, dia memang marah. Tapi bukan marah pada Raven. Dia mungkin bertindak jahil, karena menertawakan status perawan itu, Ellie tentu saja kesal tapi tidak terhina. Kata-kata Raven saat itu, sejajar dengan gurauan dan lelucon. Jadi Ellie tidak marah padanya. Ellie hanya marah pada dirinya sendiri. Niatnya untuk bersikap profesional kini hanyalah angan semata. Dia dengan mudah terpengaruh oleh sosok Raven. Dia seharusnya menyadari ini lebih cepat. Pria itu mampu menyeretnya ke dalam hempasan gelombang nafsu, yang sebelumnya tidak pernah dialami Ellie, hanya dalam waktu beberapa detik begitu bibir mereka bersentuhan lima tahun lalu. Dan kemarin juga sama, hanya dengan tangannya, Raven mampu memporak-porandakan tekat Ellie. Dia begitu mudah terhanyut, menikmati rabaan itu, membuatnya melupakan betapa Raven adalah pria yang selama ini dibencinya. Ellie bahkan tidak bisa lagi menyebut jika dia membenci Raven. Rasa benci itu perlahan terkikis, seiring dia semakin mengenal sosok Raven lebih dekat. Tentu saja pria itu tampan bak Apollo, tapi Raven lebih dari sekedar wajah tampan. Dia pekerja keras, dengan tekat sekuat baja. Dia pantang menyerah saat sudah menetapkan tujuan. Raven juga tidak membiarkan keadaan kakinya menjadi penghalang. Ellie melihat bagaimana otak Raven nyaris bekerja tanpa henti, menggodok ide bisnis dan mewujudkannya lewat Jasper. Dengan otak seaktif itu, banyak orang-orang di sekitarnya kesulitan mengikuti kecepatannya dalam berpikir. Itulah yang menyebabkan Raven terlihat galak dan kasar. Dia menuntut semua pegawainya juga memiliki standar tinggi dalam bekerja, seperti dia. Semua itu, semakin mempersulit Ellie untuk menyebut Raven menyebalkan. Dengan mudah hatinya bertoleransi kepada semua keantikan Raven. Menyadari betapa berbahayanya bibit perasaan yang tumbuh di hatinya, Ellie memutuskan untuk menjauh. Itulah alasan terbesar kenapa dia bersikap dingin pada Raven setelah malam itu. Ellie hanya berbicara seperlunya saat terapi, di luar itu dia hanya diam. Dia tidak lagi menunggu Raven saat malam. Pada pukul sepuluh, Ellie akan naik ke ranjang dan tidur, meski Raven masih duduk di meja kerjanya. Dan setelah hampir dua minggu, sepertinya Raven mulai merasa terganggu dengan tingkah Ellie. "Aku tidak marah padamu. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu yang terjadi di rumah." Ellie berbohong dengan lancar. Tapi jika mata Raven tidak buta dia akan melihat bagaimana Ellie meremas kedua tangannya dengan gugup. Sejatinya Ellie bukan pribadi yang mudah berbohong. "Memang ada apa? Apa kau perlu kesana? Kau bisa mengambil libur jika ingin." Raven telihat tertarik. Ellie menyumpah dalam hati. Dia merasa bersalah, karena Raven justru terlihat peduli. Dia tidak butuh kepedulian saat ini. Karena hanya akan membuatnya semakin sulit mengatur hatinya. "Tidak perlu. Semua sudah beres." Ellie kembali berbohong. "Kau benar-benar tidak marah padaku?" Raven kembali menegaskan. "Aku tidak marah padamu, Raven. Komentarmu malam itu, mungkin masuk dalam kategori kurang ajar, tapi tidak akan cukup untuk membuatku marah. Aku sudah pernah mendengar ujaran yang lebih menyakitkan dari pasien lain." Raven mengernyit lagi. "Ada pasien yang lebih kasar dari aku? Ini kejutan! Aku selama ini menganggap ,aku adalah pria yang paling kasar yang pernah kau temui." "Aku sudah bertemu hampir ribuan pasien, tentu saja diantara mereka ada yang menyebalkan, seperti kau. Tapi ini adalah resiko pekerjaan yang masih aku anggap ringan." "Ha..Ha..Ha.. Kau bilang tidak marah, tapi kau baru saja menyebutku menyebalkan dan kurang ajar tadi. Tapi tak apa. Aku memang pantas mendapatkan celaan untuk ujaran yang terlalu berani itu. Aku mengerti." Raven tergelak panjang. Sepertinya dia senang, karena Ellie akhirnya kembali berbicara panjang lebar. "Apa ini berarti kita akan berdamai?" tanya Raven sambil mengulurkan tangan kanannya, mengajak bersalaman. "Aku tidak marah padamu! Jadi tidak perlu ada perdamaian," kata Ellie. Tapi dia tetap mengulurkan tangan menerima tangan Raven. Raven tersenyum, sambil menarik tangannya. "Nah! karena hubungan kita sudah kembali normal. Aku punya satu permintaan untukmu." Raven menghela napas lega. "Apa?" "Aku ingin kau menegur jika aku melakukan sesuatu yang tidak semestinya." "Kau ingin aku apa?" Keinginan Raven mengalahkan semua hal unik yang harus dialamai Ellie, setelah dia bertemu Raven. "Aku ingin kau menegur setiap aku bersalah, atau mungkin seperti kemarin, saat kau mengingatkan aku tentang waktu tidur." Ellie menatap Raven, berharap menemukan senyum jahil, yang berarti permintaannya hanyalah lelucon, atau mungkin senyum sinis yang mengindikasikan dia sedang bersikap sarkas. Tapi tidak ada. Wajah Raven tenang, dan matanya yang gelap kosong, membulat sempurna, pertanda keseriusan. "Baiklah. Tapi apa tidak ada yang pernah menegurmu selama ini? Ini lucu sekali." Ellie akhirnya tertawa pelan. Menurutnya permintaan Raven sangat lucu, karena yang biasa terjadi, justru pasiennya meminta agar dia mengurangi kegalakan saat melakukan terapi. Ellie ingat tahun pertama dia bekerja, Stefan banyak menerima keluhan soal sifatnya yang terlalu tegas. Kini sikapnya sudah membaik, dan bisa beramah-tamah dengan lembut. Ellie merasa permintaan Raven sangat ironis, saat mengingat semua keluhan pasiennya yang terdahulu. "Tidak ada. Terakhir kali orang dewasa yang berani menegurku adalah ibuku. Dan dia sudah meninggal kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Sophie berani menegurku, tapi dia jarang melihat kesalahan, karena terlalu menyayangiku" Tawa Ellie langsung musnah. Dia tidak berpikir jika jawaban Raven akan menjadi serius. Dia tahu soal kematian orang tua Raven. Lonan pernah bercerita kalau kedua orang tua mereka meninggal saat Raven masih berumur lima belas, dan Lonan enam tahun. Itu berarti Raven penguasa kekayaan Wycliff sejak masih belia. Sangat masuk akal jika tidak pernah ada yang menegurnya selama ini. "Aku mengerti. Dan maaf, jika pertanyaanku mengingatkan soal kenangan menyedihkan." Raven mengangguk dengan bibir menyunggingkan senyum setengah hati. Dia lalu memejamkan mata dan bersandar. Entah tidur atau hanya ingin mengakhiri percakapan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN