“AAAAAAAA~!!!!!” teriakan Namira membuat Arsen terkikik menakutkan melihat mainan yang sudah dimasukan olehnya ke dalam milik Namira.
“Bagaimana? Bukankah sangat nikmat?” tanya Arsen terkikik, mengeluarkan mainan yang berbentuk kelamin lelaki tersebut. Melihat lendir di mainannya. Arsen menjilat lendir di mainan tersebut dengan mata terpejam. Menikmati cairan Namira yang… memang selalu nikmat bukan?
“Hem… Namira. Coba lihat? Cairanmu sayang. Kikikik… cairanmu sangat nikmat sekali. hihihi.” Arsen tersenyum lebar melihat wajah Namira yang ketakutan.
“Jangan! Pergi!” ucap Namira, menghalau Arsen dengan tangannya, ketika lelaki itu mencoba untuk menaiki tubuh Namira.
Duk!
“AAA!”
Teriak Namira, perutnya diduduki oleh tubuh besar Arsen. “Pergi? Kemana sayang? Aku mau di sini, bersama dengan kamu. Heheheh. Cantik.” Ucap Arsen, telunjuknya mengusap setetes air mata Namira lalu menjilat telunjuk.
“Hem… segar. Ayo! Menangis dan ketakutan lagi. Ayo! Agar kau tahu dengan siapa kau berhadapan sayang.” Arsen tertawa kecil, melihat Namira yang menggeleng ketika Arsen menghidupkan mainan yang berbentuk kelamin lelaki itu di depan wajah Namira dan memutarnya di leher Namira.
“Hahaha… bergetar sayang. Kau lihat? Ini bergetar?” tanya Arsen.
Namira menghapus air matanya kasar. “Jangan! Bawa benda itu pergi!” Namira menepis benda itu, berusaha untuk menyingkirkan dari tubuhnya.
Arsen mendengarnya semakin tergelak dan dia menggeleng. Menatap benda yang ada di tangannya, lalu dia menatap ke bawahnya. Membandingkan benda itu dengan miliknya sendiri. “Kau tidak mau ini? Kau lebih mau milikku, ya?” tanyanya tertawa kecil.
“Aku akan membuka dan mengeluarkannya!” Arsen berdiri dengan kakinya mengakang dan berada di atas Namira sekarang.
Namira melihat lelaki itu membuka celana di depannya menggeleng. “Arsen…” ucapan penuh ketakutan dan gelengan kepala, menyiaratkan lelaki itu untuk tidak melakukannya.
Arsen mengangkat sebelah alis. “Hem?”
“Jangan! Pergi! Aku mau tidur.” Ya. Hanya alasan ingin mau tidur. Setelah semua alasan yang tidak terpikirkan oleh dirinya.
“Mau tidur dimeja?” Arsen bertanya, menatap pada tubuh Namira berbaring di meja.
Namira menggeleng. “Biarkan aku tidur di kasur. Ya. Aku butuh tidur. Dari semalam. Semalam aku tidak tidur.” Namira tidak berbohong bukan? Memang dia tidak tidur satu malampun. Ia terjaga oleh Arsen yang menyiksa dan merendahkan dirinya.
“Hahahaha… tunggu. Aku mau bermain. Kikiikik. Kita pindah…” Arsen turun dari atas meja, lau menggendong tubuh Namira menuju ranjang.
BUUKK!!
Tubuh Namira dilempar di atas kasur. Arsen tertawa kecil melihat tubuh telanjang Namira yang terayun oleh kasur. “Hihihihihi… sakit?” tanya Arsen.
Namira menggeleng.
Arsen mendesah kecewa. “Tidak sakit? Kau harusnya kesakitan. KAU KESAKITAN! JALANG! KAU HARUS KESAKITAN!” teriak Arsen, dan melemparkan bantal dan setelahnya mengambil bantal yang lain dan meletakkan di wajah Namira.
Bantal itu menutupi wajah Namira. Namira merontah merasakan napasnya akan habis.
“Napas. Bernapas! Mati! Bernapas! Mati! BERNAPAS!” Arsenn melempar bantal yang ada di tangannya ke sembarang arah. Lalu matanya menatap pada Namira yang meraup napas sebanyak mungkin.
Arsen tertawa kecil. “Mati? Kau tidak jadi mati… kikikikk…” ucap Arsen tertawa.
“Ayo! Raup semua udara. Kau harus meraup milikku setelah ini.” Arsen menatap pada kebangaannya. Lalu dia turun dari atas ranjang.
“Hem… bagaimana dengan ini?” tanya Arsen, menunjukkan dua besi kecil yang digelengi oleh Namira.
Dua besi kecil berbentuk bulat kecil itu. Adalah penjepit putting. Namira tidak mau Arsen memakaikan benda itu ke putingnya. “Jangan!” ucapnya menolak.
Arsen tertawa kecil mendengar penolakan dari Namira. “Jangan?! Harusnya kau mengatakan. Ayo! Lakukan! Hihihi.” Arsen tertawa kecil.
Arsen berjalan mendekati Namira, lalu duduk di samping Namira yang masih berbaring. “Hem… putingmu indah sayang. Pakaikan cincin! Kikikik! Pakai cincin.” Ucapnya, meremas p******a Namira kasar.
Lalu mulai memasang benda bulat kecil itu di putting Namira. “Menjepit.” Ucap Arsen tersenyum menakutkan.
Orang-orang di luar sana hanya mengenal Arsen yang katanya sangat baik sekali, tapi mereka tidak tahu bagaimana kelakuan Arsen yang begitu menakutkan sekali. Lelaki itu pandai memasang topeng.
“Putingmu kencang. Dan terlihat lebih indah.”
Itu bukan pujian yang di dengar oleh Namira. Sebuah hinaan dan pelecehan pada tubuhnya. Perceraian yang dianggap olehnya sudah terbebas dulu dari Arsen. Kenapa? Dia harus terjebak kembali dengan lelaki psikopat yang selalu menyiksa dirinya ini.
“Hem… kau terlihat suka. Kau mau lagi? Pasang juga di klitorismu bagaimana?” tanyanya tertawa kecil.
Menatap pada lubang Namira sekarang. Namira merapatkan kakinya dan menggeleng. “Jangan… Arsen… aku mohon… jangan… hiks!” ucap Namira menangis.
Arsen mendengarnya tertawa kecil. “Memohonlah sayang. Memohon! Aku senang mendengarnya. Kikikik… aku senang. Aku bahagia. Aku akan memberikan keindahan pada tubunmu. Bagaimana tato baru?” tanyanya tertawa kecil.
Arsen akan mengeluarkan mesin tato. Namira menggeleng. “JANGANNN! HIKS! ITU MENYAKITKAN!” teriak Namira, padahal Arsen baru memegang alat tato. Belum melukis tubuh wanita itu, namun Namira sudah menangis kencang dan menggeleng.
“Kau menangis? Hei! Ini bahkan belum menyentuhmu. HAHAHAHAHAH! NANGIS. NANGIS. NANGIS.” Arsen bertepuk tangan menyuruh Namira untuk menangis.
Drttttt… drtttt….
Arsen menatap pada Handphone nya berbunyi. Lelaki itu berjalan dan mengambil benda pipih yang menampilkan nama ibunya. “Berhenti menangis Namira!” ucapnya, meletakkan telunjuknya di bibir.
“Halo, Mom…” Sapa Arsen begitu lembut.
“Yeah, aku sedikit lupa jalan pulang Mom. Tapi aku tidak melupakannya.” Arsen menatap pada Namira, dimana wanita itu menutup mulut dengan air mata yang masih meleleh di pipi Namira.
“Hem. Aku juga merindukannya Mom, kapan? Tentu saja aku akan menjemputnya. Kau tenang saja, oke. Jangan berkata kesal seperti itu. Wajahmu yang cantik itu nanti bisa tambah keriput. Baik. Sampai bertemu Mom.”
Arsen mematikan sambungan telepon. Lalu tubuhnya dibawa untuk duduk di kursi di sana. Arsen mengambil botol wine membukanya dan menuangkan ke dalam gelas. Hasrat untuk menyentuh Namira tadi entah hilang kemana. Mata lelaki itu menatap tajam lurus ke depan.
Namira menelan saliva. Lalu menutup tubuhnya dengan selimut. Tidak mau bertanya.
“Aku akan pulang ke rumah ibuku. Kau! Jangan pernah berani untuk kabur. Anak-anak kesayanganmu itu akan menjadi korban. Lalu tubuh lacurmu, tidak segan-segan aku menjualnya di klub malam. Atau meletakan di meja kasino. Menyuruh mereka memerkosa dirimu!” ancaman dari Arsen diangguki oleh Namira dengan kaku.
Arsen tersenyum sinis lalu menyesap wine dengan menggoyangkan tangan gelas panjang wine di tangannya. “Hem… wine ini sama dengan dirimu. Candu.” Ucap Arsen.