Selesai mentraktir Shacio dkk, Ganda pergi ke tempat langganannya untuk memodif motor yang ia gunakan balapan tadi. Meninggalkan motornya, ia pun menyuruh Sofi yang tentu saja ikut dengannya untuk memesan taksi online.
“Udah.” ucap Sofi usai memesan kendaraan untuk mereka melalui ponsel seluler.
Tidak ada balasan apapun dari Ganda. Cowok itu berjalan mencari tempat duduk yang setia dibuntuti Sofi dibelakang.
Dari samping Sofi memperhatikan Ganda yang banyak diam itu. Sejak bertemu Ganda di area balap, Sofi memang sudah sadar cowok itu sedang dalam mood yang buruk. Makanya dari tadi Sofi sudah berusaha mengajak, bersikap bar-bar agar Ganda bisa lebih happy. Tapi nyatanya raut muka cowok itu masih tetap sama.
Harusnya, Sofi tidak perlu pusing-pusing mengurusi jika dia normal sebenarnya. Tapi menyebalkannya keterdiaman cowok itu tak bisa ditepis oleh Sofi begitu saja. Sofi merasa ikut gelisah dan khawatir. Bahkan ia ikut tak bersemangat saat menikmati makanannya karena wajah Ganda yang datar.
Sangat aneh.
Beberapa menit kemudian sebuah sedan hitam terlihat berhenti didepan tak jauh dari mereka duduk. Sofi memicingkan mata mencocokkan plat mobil itu dengan di aplikasinya.
“Ayo Ga, itu mobilnya.” ajak Sofi sembari berjalan mendekati mobil hitam itu.
“Mbak Sofi Reese?” tanya pak supir memastikan ketika keduanya naik.
“Iya, Pak.” Sofi menjawab. Kemudian mobil pun melaju meninggalkan tempat tersebut.
Sofi bersandar sambil memeluk lengan Ganda. Yang dibalas cowok itu elusan pada surai panjangnya.
“Aku denger, Inge pacaran sama adek kelas. Kamu gak papa?” gerakan tangan Ganda terhenti sebentar mendapati pertanyaan Sofi.
“Gak penting. Emang aku harus apa-apa?”
“Ya enggak... tapi, kan kalian pacaran. Oiya,” Sofi sedikit menengadah untuk melihat wajah Ganda tanpa melepas pelukannya. “Berarti selama ini kamu di duain dong? Berulang-ulang lagi?” pemikiran itu tiba-tiba hinggap begitu saja.
Tapi memang kalau dipikir-pikir, memang rumit juga hubungan Ganda dan Mak Lampir itu. Pacaran tapi nggak diekspos. Saling kenal tapi kalau didepan umum berlagak layaknya orang asing. Belum lagi Ganda yang sampai rela pura-pura tertarik padanya demi hubungan mereka agar tetap aman dari pengacauanya.
Apakah nyaman terlibat hubungan seperti itu?
Cup.
“Kamu ngomong apa sih. Lagian, semenjak aku sama kamu, aku udah putusin dia kok.” dusta Ganda setelah mengecup sekilas bibir Sofi. Sofi menatap lurus manik cokelat yang semakin pekat digelapnya ruang mobil yang minim cahaya.
“Aku tau kamu bohong Ganda. Tapi terserah sih, yang sakit juga, kan Inge.” ucap Sofi blak-blakan. Dari awal, dia sama sekali tidak berniat menutupi niat buruknya. Baginya, musuh tahu ataupun tidak maksudnya, itu tidak berbeda sama sekali.
Itulah yang membuat Ganda semakin penasaran. Ia sangat penasaran sebenarnya apa yang membuat Inge sampai harus membuat kebohongan dan mencoba mengelabui gadis disampingnya ini hingga segitunya. Bahkan Inge sampai rela melibatkan orang yang dicintainya untuk ikut andil peran yang makin lama, jujur Ganda merasa capek.
Ganda sempat terdiam saat mobil yang membawa mereka bukan menuju ke arah rumahnya. Melainkan ke apartemen Sofi.
“Terima kasih ya, Pak.” ucap Sofi yang dibalas bunyi klakson sebelum mobil itu berlalu menyisakan keheningan.
“Kamu nginep di apartemen aku aja, ya. Udah malem banget, soalnya. Rumah kamu jauh juga. Takut ada apa-apa.” ajak Sofi. Ganda menatap cewek itu lama, entah memikirkan apa.
Dan karena malas berdebat, Ganda yang ditawari begitu mengiyakan saja. Tidak rugi ini.
Ganda menghempaskan tubuhnya ke ranjang empuk Sofi setelah mereka berhasil masuk ke apartemen gadis itu.
“Kamu pake baju itu buat tidur gak papa? Aku gak punya kaos cowok soalnya.” tanyanya sambil dengan santai melepas tank top dan jeans panjang yang ia kenakan.
Tidak ada jawaban.
Ditempatnya Ganda langsung bangkit merubah posisinya menjadi duduk saat dengan bebasnya ia bisa melihat tubuh bak porselen Sofi yang hanya menyisakan bra dan underwear.
Ketika sedang berjinjit untuk meraih piyama di lemari atas, Sofi merasakan sepasang tangan memeluknya dari belakang. Sofi yang sudah menduga ini akan terjadi, hanya menarik sudut bibirnya, tersenyum.
“Aku biasa gak pake baju kalo tidur.” ucap Ganda pelan dekat telinganya.
“Ya udah.” saat ingin kembali meraih pakaiannya, Ganda menahan tubuhnya. Sofi pura-pura kesal, berdecak. “Bentar Sayang, aku mau ambil baju tidur dulu.”
“Begini aja, Yang.” Ganda mulai menyurukkan wajahnya ke leher jenjang Sofi yang terpampang bebas. Tangannya ikut bergerak menelusuri setiap jengkal tubuh menggoda itu.
“Eungh,” Sofi melenguh diikuti kekehan kecilnya. Ganda ikut tersenyum di tengkuknya lalu mendorong Sofi terlentang di ranjang.
Sorot mata Ganda berubah dalam, penuh hasrat. Mendeteksi tubuh Sofi dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuatnya susah payah menelan saliva.
Apakah ini karena waktu yang sudah melewati tengah malam?
Atau apakah ini karena Sofi yang sengaja menggodanya?
Persetan! Apapun itu, yang pasti gejolak ditubuhnya sudah meronta-ronta minta dipuaskan.
Detik berikutnya cowok itu mengungkung Sofi, meraup cepat bibir ranum nan sexy milik wanita itu. Ciuman yang dilakukan Ganda tidak ada pemanasan seperti biasanya. Dapat Sofi rasakan kesulitannya mengimbangi tautan lidah yang begitu bergelora dilakukan cowok itu.
Memberi jeda untuk Sofi mengambil napas, Ganda melepaskan tautan bibir mereka. Tangannya turun membelai bagian bawah Sofi menimbulkan sengatan listrik mendadak pada gadis itu.
Mata sayu yang merem-melek dilakukan gadis itu membuat Ganda habis-habisan mengumpat tanpa suara.
“Ganda~” kepala Sofi bergilir ke kanan dan ke kiri saat Ganda menerjang lehernya ganas.
Ganda bergerak cepat melepas kaitan bra dibalik punggung Sofi. Matanya semakin menggelap. Ditelannya ludah kasar sesaat menikmati apa yang tersuguhkan dihadapannya.
Sofi menahan tangan Ganda yang hendak menarik turun benang terakhir ditubuhnya. Cewek itu sejenak refleks melengkung terangsang namun walau bagaimanapun ia tidak boleh lupa tujuan awalnya.
Dihentikan ditengah-tengah begitu membuat Ganda menatapnya antara gairah dan tanya.
Sofi membalas tatapan gairah Ganda sambil mengelusi rahang cowok itu memprovokasi.
“Kita lanjut, tapi dengan satu syarat.” Ganda menunggu menuntut melalui sorot matanya. “Kamu harus belajar mencintai aku. Deal?” Sofi menatap Ganda sayu dan dengan sengaja menggigit bibir bawahnya, menggoda.
Sial! Cewek itu benar-benar pintar membakarnya dengan gairah. Geloranya sudah diujung tanduk. Samar, nama Inge masih di rapalkannya di kepala untuk mengingatkan bahwa gadis manis yang baik itu adalah pujaan hatinya. Perempuan yang dicintainya. Dan Inge Anatasha yang kekasihnya. Bukan gadis yang sudah hampir telanjang dibawah tubuhnya ini.
“Ganda~” s**t! Pada akhirnya Ganda kalah dengan bisikan dosa.
Senyuman Sofi terbit ketika Ganda melanjutkan niatnya. Yang artinya, cowok itu menyetujui syarat yang ia berikan.