Ali Terbangun

1557 Kata
Lintang nggak punya tujuan hidup. Cita-cita? Mimpi? Nggak punya samasekali. Dia hanya bertekad menjalani hidup senormal mungkin tanpa ada gangguan dari manapun, termasuk dari Elang. Dia nggak berniat kembali menjalin hubungan dengan Elang, meski kadang degup jantung itu masih tak menentu setiap Elang berada di sisinya, seperti sekarang ini. Begitu bus tiba Lintang buru-buru naik, mengabaikan lambaian tangan Elang dengan muka kusutnya. Lintang berusaha untuk nggak peduli. Dan dengan menyumpal telinganya, Lintang memilih duduk di kursi penumpang barisan nomor tiga dari depan sebelah kanan, supaya nggak terlihat oleh Elang. Bus melaju menuju SMA Gajah Mada. Perjalanan normalnya hanya akan memakan waktu 15 menit, tapi terkadang bisa molor jadi 30 menit kalau angkutan umum yang membawa lebih banyak murid itu ngetem di halte berikutnya terlalu lama. Hari ini Lintang pikir akan bekerja seperti biasa. Mengawasi jalannya pembangunan gedung di Gajah Mada. Istirahat ditemani Saka seperti biasa, dan sesekali mendongak ke atas ruangan Ali, tertutup rapat pintunya. Sedikit dia mengkhawatirkan Ali, penasaran dimana dia. Karena sudah tiga hari ini Ali nggak terlihat. Saka pun selalu menghindar setiap dia bertanya tentang Ali. Seperti biasa juga, Lintang turun begitu bus berhenti di halte sekolah, tanpa tahu kalau bahaya sedang menunggunya. Hanya beberapa detik setelah dia turun bersama para murid SMA Gajah Mada lainnya, tiba-tiba saja mereka berteriak histeris, lari sembarang arah menjauh dari sekolah. Lintang yang baru saja melepas earphonenya, belum sadar saat mereka nggak sengaja menabrak Lintang, membuatnya terjatuh. Bahkan dia hanya mematung saat salah satu diantara mereka membantunya berdiri dan menyuruhnya untuk segera pergi. Apa yang terjadi? Baru saat ada batu yang entah darimana tiba-tiba mendarat mulus ke keningnya, dia terhenyak. Darah segar mengalir, mengalihkan perhatiannya ke depan SMA Gajah Mada. Puluhan murid saling bentrok. Lintang bisa melihat Riko melawan dua orang sekaligus, dan Iqbal datang membantunya. Lalu dia juga melihat empat orang berlari ke arahnya, salah satu diantara mereka adalah Saka. Saka berhasil meraih kerah baju salah satu dari mereka, memutarnya kasar lalu melayangkan tinju tepat di mukanya, membuat lawannya terpental seketika. Saka memberi tambahan tendangan di bagian perut. Baru setelah memastikan lawannya tak berkutik, Saka melanjutkan berlari ke arahnya mengerjar dua orang itu yang sudah hampir mendekat ke arah Lintang. Tapi terlambat, salah satunya saat ini sudah berada tepat di depan Lintang, bersiap mengayunkan balok kayu ke arah Lintang yang hanya berdiri mematung, tanpa bisa bergerak kemana pun. Entah apa yang Lintang pikirkan, kepalanya mendadak pusing. Pandangannya mulai mengabur. Ingatannya seolah ditarik ke masalalu itu. Kejadian yang sama terjadi lagi. DUGGG Belum sempat kayu itu mengenai Lintang. Ali datang menendang dari samping menjatuhkan lawannya telak. Dia berjalan cepat menghampiri lawan satunya lagi, kali ini menendang tepat di bagian depannya, tumbang seketika. "Lo datang tepat waktu, Bang." Ucap Saka menghampiri Ali lantas menyuruhnya untuk segera membawa Lintang pergi. Keadaan semakin genting, dan polisi juga belum datang. Saka menyeret dua lawan itu lalu mengikatnya dan mendudukkan mereka di pinggir jalan. Setelahnya dia kembali ke area bentrokan membantu yang lain membereskan. Saka heran, ini seperti mereka semakin bertambah. Satu persatu motor datang lagi setiap diantara musuh berhasil ditumbangkan. Membuat Saka dan pasukannya kewalahan mengatasi serangan yang bertubi-tubi itu. Sampai dia nggak menyadari kalau bahaya sebenarnya sedang terjadi nggak jauh dari halte. *** Delapan tahun lalu, sore itu sebelum Lintang resmi menjadi murid baru di SMA Gajah Mada. Setelah selesai menandatangani kontrak kerja di perusahaan production house milik Ali, ia sengaja mengikuti Ali yang kembali ke sekolah. Ali melepas jaketnya, lalu merebahkan tubuhnya di tengah lapangan basket hanya dengan mengenakan kaos polos putih dan celana abu-abu. Saat itu Lintang hanya berani melihatnya dari sudut bangku penonton yang berada paling ujung. Satu jam lebih Lintang bersembunyi disana, menonton Ali yang bermain basket sendirian. Lintang menikmati keheningan saat itu, dan sampai saat ini dia selalu berandai-andai, kalau saja waktu bisa diulang, Lintang ingin waktu berhenti saat sore itu. Hari dimana dia tanpa takut mengagumi seorang Ali. Meski delapan tahun berlalu, perasaan bersalah Lintang pada Ali tetap ada. Kejadian meledaknya gudang saat itu nggak pernah bisa hilang dari bayang-bayang Lintang. Kalau saja saat itu dia terlambat sedetik saja menolong Ali, pasti saat ini dia nggak akan bisa melihat Ali berlari ke arahnya. Lintang hanya diam, saat Ali sudah berada dekat di hadapannya. Seharusnya Ali nggak perlu menolongnya. Seharusnya Ali nggak perlu terlihat cemas, menyentuh keningnya yang berdarah akibat lemparan batu. Seharusnya Ali nggak perlu melepas jas hitamnya dan mengenakannya pada Lintang. Lintang hanya bisa diam, air matanya jelas menetes, tapi nggak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. "Tunggu disini, gue ambil mobil dulu." Ucap Ali serak, lalu berjalan menuju mobilnya yang terparkir di seberang jalan. Dan saat itulah, perasaan bersalah Lintang diuji. Lintang akan melakukan apapun untuk Ali meski itu nggak cukup untuk menebus kesalahannya di masalalu. Sudah cukup dulu dia membahayakan nyawa Ali. Kali ini Lintang nggak akan membiarkan murid SMA Erlangga yang tengah menuju ke arah Ali, melukainya. Entah apa yang terjadi setelahnya, Lintang sudah berlari memeluk Ali dari belakang tepat saat pisau lipat itu menusuk bagian tubuhnya. Membuat Ali langsung balik badan menangkap Lintang yang seketika itu juga limbung, tak sadarkan diri. Hanya sayup-sayup Lintang mendengar suara Ali memanggil namanya sebelum pandangannya benar-benar gelap. *** Belum sempat Ali turun dari mobil, ponselnya sudah kembali berbunyi. Tadinya dia mau mengabaikannya saja, karena itu pasti dari adiknya yang cerewet menyuruhnya untuk istirahat di rumah. Dan itu adalah hal yang nggak akan mungkin dilakukan Ali. Ali menghela napas panjang, matanya menatap sekitar pengadilan umum Bandung yang sudah ramai dengan awak media. Memang hari ini Ali nggak ada jadwal, tapi dia ingin memantau jalannya persidangan yang melibatkan kapal muatan milik Yachio tiga hari lalu. Apa kali ini Yachio juga akan lolos seperti kasus penculikan Tiara? Ali meraih ponselnya, telepon dari kepala sekolah. Hanya satu menit mereka bicara, Ali langsung memutar mobil batal masuk ke dalam. Mercedez benz itu menebas jalanan kota Bandung yang cukup padat pagi ini. Dia mendapat kabar bahwa SMA Erlangga menyerang SMA Gajah Mada lagi. Jelas Ali langsung murka. Dan sudah pasti juga Ali langsung menghubungkan semua ini dengan Elang yang mendatangi sekolahnya. Butuh waktu 30 menit untuk Ali sampai di sekolah. Saat dia sampai, bentrokan semakin menjadi. Dia melihat Riko terkena pukul berkali-kali tapi langsung bangkit begitu murid Gajah Mada lainnya membantu. Saka juga tengah menghajar lawan yang berada tak jauh dari halte. Halte? Mata Ali langsung teralih pada Lintang yang tengah berdiri di depan halte. Segera Ali turun dari mobil berlari menuju Lintang, dan langsung melayangkan tendangannya saat hampir saja salah satu musuh melayangkan balok kayu ke arah Lintang. DUGGG Roboh seketika. Hanya butuh satu menit untuk Ali merobohkan dua murid SMA Erlangga itu, lalu menyerahkannya ke Saka yang datang menghampiri. Muka Saka sudah babak belur, nampaknya kepala bagian belakang Saka terluka parah. Ali tersenyum tipis, sedikit bangga dengan keponakannya Eza itu. Pantas kalau Saka jadi preman nomor wahidnya SMA Gajah Mada, penerusnya. "Lo datang tepat waktu, Bang." Ucap Saka sambil menarik paksa dua musuh yang tadi dilumpuhkan Ali, "Disini biar gue yang urus, titip pacar gue, oke?" Saka mengerling genit, membuat Ali mengerutkan kening nggak mengerti. Tapi detik berikutnya matanya melotot begitu melihat arah pandang Saka ke ujung halte, tepat dimana Lintang tengah berdiri. "Pacar kepala lo!" balas Ali yang entah kenapa mendadak kesal, segera balik badan menghampiri Lintang. Lintang masih berdiri di depan halte, menatap ke arah sekolah tapi tatapannya kosong. Seperti pikirannya nggak berada disitu. Apa yang sebenarnya terjadi? Ali sudah berdiri tepat di hadapan Lintang. Bahkan meski mengetahui keberadaan Ali, Lintang tetap bergeming. Dia hanya diam saat Ali menyentuh keningnya, memastikan keadaan lukanya. "Lin, ada apa?" tanya Ali nggak digubris. "Tunggu disini, gue ambil mobil dulu." Tambah Ali lagi sebelum dia kembali ke mobilnya. Dia nggak bisa membiarkan Lintang lama-lama berada disini. Sebentar Ali menoleh ke belakang memastikan keadaan Lintang lagi, kali ini Lintang menatapnya, mengangguk. Ali tersenyum lega balas mengangguk, dan segera menyeberang. Tapi sepertinya hari ini memang ditakdirkan untuk jadi hari tersial mereka. Baru beberapa langkah, tiba-tiba Ali merasakan seseorang menabraknya dari belakang, lantas memeluknya. Melingkarkan tangan mungil itu ke perutnya tepat saat cipratan darah mengenai sisi kanan pipi Ali. Kalau saat ini Ali boleh bertanya pada Tuhan, dia ingin sekali bertanya. Takdir macam apa yang menghubungkannya dengan Lintang. Setelah beberapa tahun berlalu, kenapa mereka bisa bertemu lagi? Kenyataan kalau mereka berdua adalah orang yang dipilih kakek Erlangga untuk menjadi pemilik Gedung Tua? Dan kenyataan kalau Lintang sudah dua kali menyelamatkan nyawanya? Kalau dulu Ali kehilangan Bunga, apa kali ini dia juga akan kehilangan Lintang? Ali segera balik badan, menangkap tubuh Lintang yang limbung seketika begitu pisau lipat itu menusuk bagian ulu hatinya dari belakang. Salah satu murid SMA Erlangga yang memakai masker, tersenyum lewat matanya seolah sangat puas saat melihat kepanikan di muka Ali. Lalu pergi begitu saja setelah mencabut pisau itu dari tubuh Lintang. "Lintang, LINTANGGGG! Hei, buka mata lo! Liat gue, Lin. Lintang!" Ali menepuk-nepuk pipi Lintang panik. Mata Lintang sudah terpejam tak sadarkan diri. Ali menarik Lintang kepelukannya, menekan bagian belakang tubuh Lintang yang tertusuk pisau, masih terus berusaha membangunkan Lintang. Lalu dengan tangan gemetar Ali mengangkat tubuh Lintang, perlahan. Ali nggak akan lagi membiarkan orang-orang di sekitarnya celaka. Dia akan membalas siapapun yang berusaha mengusiknya. Dan inilah awal neraka yang sebenarnya. Sejak peringatannya dulu diabaikan begitu saja oleh Erlangga, nggak akan ada yang bisa selamat dari seorang Ali mantan preman nomor wahidnya SMA Gajah Mada, bahkan meski itu Yachio Dragon sekalipun. "SAKA! JANGAN BIARIN MEREKA LOLOS! TANGKAP MEREKA SEMUA!" 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN