Drama Pagi

2521 Kata
Mulutnya disumpal dengan remasan kertas. Lalu kepalanya ditutupi dengan karung berwarna coklat. Kedua tangannya diikat ke belakang kursi. Dan saat ini ujung pisau menyentuh leher jenjangnya, membuatnya berhenti meronta. Gelak tawa terdengar begitu kencang di geladak kapal itu, bersenang-senang dengan barang baru yang pasti akan laku terjual dengan penawaran tertinggi. Tuan muda Yachio nggak pernah salah dalam menilai sesuatu. Sepuluh menit lagi kapal akan berangkat ke tempat tujuan. Si pengemudi kapal sudah bersiap-siap di ruangannya, dan para penjaga yang berjumlah sekitar sepuluh orang pun sudah berada dalam kamar masing-masing, istirahat. Hanya tersisa beberapa mengawasi sekitar. Ancaman sudah berhasil dibereskan. Tapi sayangnya kali ini musuh Yachio bukan lagi dari keluarga Erlangga. Melainkan seorang pengacara ternama di Bandung, yang bahkan punya otak licik setara Yachio. Ali mengumpat dalam hati, penasaran juga siapa sebenarnya Yachio muda yang mereka bicarakan itu. Meskipun nama Yachio Dragon nggak asing di telinganya, tapi Ali belum pernah melihat mereka secara langsung. Ali menyalakan earpiece nya sehingga terhubung dengan Angga yang sudah duluan masuk ke dalam ruang pengendali kapal secara diam-diam. Sedangkan dia tengah duduk di tumpukan karung dalam gelap, melihat tontonan tak pantas itu, santai. Ali berhasil menemukan Tiara. Gadis yang terikat di kursi itu sudah jelas Tiara, tadi Ali sempat melihatnya saat memberi instruksi timnya. Beberapa orang yang masuk ke dalam kapal kemudi itu tengah menggendong karung besar. Awalnya Ali hanya melihat sekilas karena dipikir mungkin itu persediaan makanan atau apalah dia nggak peduli. Tapi begitu ekor matanya menangkap karung itu bergerak, dia menyadari kalau ada yang aneh. Dengan cepat dia memutuskan untuk membuat strategi, mengelabuhi Yachio dengan membiarkan sebagian timnya ke bandara sedang dia dan Angga menyelidiki kapal itu. "Gue udah masuk Bang." Ucap Angga begitu terhubung. Ali menegakkan badannya seketika. Meregangkan otot-ototnya, berjalan santai menuju geladak tempat tontonan itu berlangsung setelah dari earpiece, terdengar suara Angga berkelahi dengan beberapa orang. Suara hantaman, bahkan suara mesin kapal yang baru saja menyala mendadak mati. "Beres bang, segera menyusul." Lanjut Angga. Ali sudah hampir sampai, meraih sembarang linggis panjang yang tergeletak di lantai. Mengayunkannya begitu saja ke tubuh beberapa penjaga yang mengerumuni Tiara. Sontak kehebohan pun terjadi. Suasana menegang. Sebelum mereka menyadari apa yang tengah terjadi, Ali langsung berlari ke arah Tiara, menendang perut penjaga yang ada di samping Tiara dan segera melepas ikatan talinya. PLAKKK Hantaman keras mengenai tekuk leher Ali, membuatnya terjatuh tepat di bawah Tiara. Segera Ali bangkit balik badan dan melayangkan tendangan tepat di ulu hati si penjaga itu. Menekel keras kaki lawan, lalu menyikut dengan gesit ke penjaga lain yang berusaha menyerangnya dari sisi kanan. Lima lawan satu bukan hal yang mudah. Untuk beberapa menit Ali kewalahan sampai Angga tiba dan membantu melumpuhkan mereka. Buru-buru Angga melepas karung yang menutupi kepala Tiara dan memapahnya turun dari kapal. Tapi langkahnya terhenti saat berdatangan penjaga lainnya yang muncul dari bilik kapal. Angga yang kesulitan memapah Tiara, segera dibantu Ali menghajar mereka satu persatu. Ali memberi Angga jalan untuk segera turun. "Lo duluan, bentar lagi pasti Wahyu sampai!" perintah Ali di tengah pergulatan yang sudah berhasil membuat luka di pelipisnya. Angga mengangguk mengerti. Tentu kali ini bukan lagi lima lawan satu, ada sepuluh penjaga yang mengepung Ali. Berhasil mencekal kedua lengan Ali erat. Satu diantara mereka terus memukuli Ali di seluruh bagian tubuhnya hingga babak belur, tanpa ampun. "Lo pikir bisa lolos gitu aja?" tanya penjaga itu meraih kasar dagu Ali. Dan bukannya menjawab, Ali malah meludah di muka penjaga itu lalu tersenyum licik. "Tanya diri lo sendiri b**o!" tandas Ali langsung mendapat bogeman di wajahnya itu. "Punya nyali juga lo. Lo pikir dia bisa pergi gitu aja? Kalian nggak sadar ada puluhan anak buah tuan Yachio yang tersebar di pelabuhan ini?" Kali ini Ali tertawa keras. Tubuhnya berguncang seiring cekalan kencang di kedua lengannya dan suara tembakan yang terdengar. "Kalian pikir darimana asal suara tembakan itu, hah?" tanya Ali merasa menang. Dengan sekali hentakan, dia memutar kedua lengannya, membanting dua penjaga yang tadi mencekalnya. Mudah sekali, memutar kakinya memberikan tendangan ke penjaga yang tadi memukulinya. Beberapa polisi sudah merangsek naik ke atas kapal, mengakhiri pencarian Ali selama setahun ini. Mereka berhasil menyelamatkan Tiara. Wahyu yang juga baru datang berasama mobil polisi memapah Ali turun. "Kita ke rumah sakit dulu. Luka lo perlu diobati, Al." "Jam berapa sekarang?" Ali mendongak, baru sadar kalau langit sudah kembali terang. "Masih jam enam. Kenapa?" *** Ketegangan nggak cuma terjadi di pelabuhan. Lintang yang sudah bangun sejak subuh, berbesar hati menyiapkan nasi goreng untuk tiga penampakan yang serius menginap di rumahnya, tidur di ruang tamu. Lintang menarik paksa selimut yang diapit Saka, membuka gorden jendela, sehingga sinar matahari berhasil mengusik tidur nyenyak para penampakan tampan itu. Tapi sayangnya ternyata setan memang punya kekuatan super untuk membuat mereka kembali terlelap. "Buruan bangun Sakaaa, mandi, sarapannnnn!!!!" seru Lintang menarik paksa tangan Saka supaya bangun. Saka dengan mudahnya menepis tangan Lintang darinya. Gantinya dengan gerakan cepat, Saka menarik Lintang hingga menabrak dadanya yang bidang. Menahan Lintang supaya nggak bergerak. Seketika mata Lintang membulat, terkejut hendak memukul Saka, buru-buru Saka cengkram tangan Lintang yang lain, membuat Lintang sepenuhnya jatuh berada di pelukan Saka. "Saka!" "Sssttt, jangan teriak, Kak. Yang lain bisa bangun. Lo nggak malu dilihat mereka lagi peluk gue gini?" bisik Saka di atas kepala Lintang, masih dengan memejamkan matanya. "Lo yang tarik gue Saka, lepasin. Jangan kurang ajar gini!" balas Lintang juga berbisik, masih terus berusaha melepas pelukan Saka, tapi gagal. "Oh iya, gue yang peluk. Bentaran aja kak, lima menit aja. Gue mau tanya kak." "Apaan?" "Cowok yang kemarin gue lihat siapa dia?" "Cowok mana?" "Emang ada berapa cowok yang lo temuin kemarin sih?" tanya Saka balik. "Temen lo, Bang Al, elo, Elang?" "Ah Elang namanya? Mantan lo?" "Kepo!" "Gue serius kak. Gue nggak suka! Lo itu harus jadi pacar gue!" Lintang diam sebentar, tertawa kecil di dekapan Saka, lalu menepuk pelan d**a Saka. Ah, mungkin bagi Lintang itu hal biasa. Nggak menimbulkan degup jantung upnormal di pagi ini. Tapi beda untuk Saka, matanya langsung terbuka, untuk sesaat pipinya bersemu merah, malu. "Jadi pacar lo?" "He'em." Saka berdehem segera menyadarkan dirinya. Dia nggak mau kelihatan bodoh dong di depan calon targetnya. "Coba gue lihat, wajah lo seganteng apa?" Saka meregangkan dekapannya, membuat Lintang berhasil duduk kembali, lalu dengan jarak yang cukup dekat Lintang mengamati wajah Saka. Ganteng memang, Lintang nggak bisa mempungkirinya. Bahkan meski dengan muka bantal seperti sekarang. "Gimana, ganteng kan gue?" Saka melebarkan senyumnya berusaha membuat Lintang terpesona, tapi langsung menjerit kencang, saat tanpa ijin Lintang menjewer telinganya, membuatnya mau nggak mau berdiri mengikuti Lintang. "Aduhhh, aduhhh sakit Kak. Lepasin!!!!" teriak Saka kesakitan sudah diseret Lintang ke kamar mandi, melempar handuk baru ke muka Saka dan menutup pintu kamar mandi itu dari luar. "Nggak pakek lama, gantian!" perintah Lintang mengabaikan teriakan Saka yang masih terus merintih kesakitan. *** Begitu sampai di bandara, Elang langsung meluncur menuju alamat yang baru ia dapat dari Bumi. Mengabaikan Bumi yang mejemputnya pagi ini. Dia rampas kunci mobil dari Bumi dan menyuruhnya kembali dengan taksi. Untung saja pagi ini belum macet. Sejak kemarin malam dia nggak berhentinya khawatir. Kalau nggak ada keperluan bisnis ke Denpasar dia pasti langsung menemuinya. Awalnya Elang nampak tenang. Pertemuan dengan klien di salah satu restoran hotel bintang lima di Denpasar berjalan lancar. Sambil menunggu jadwal pulangnya ke Bandung dia ingin menghabiskan waktunya di villa pribadi miliknya. Gelas yang baru saja Elang pegang jatuh seketika begitu mendapat kabar dari Bumi kalau Ali sedang berusaha menyelamatkan Tiara. Bukan masalah sebenarnya, toh Elang tidak peduli siapa Tiara itu. Tapi Lintang, pasti dia dalam bahaya. Yachio mungkin sudah tahu kalau Lintang lah yang seharusnya mereka tangkap. Bumi melaporkan kalau dia melihat beberapa anak buah Yachio mendatangi SMA Gajah Mada. Tanpa menunggu waktu lama, Elang langsung menghubungi Lintang. Berkali-kali dia menekan tombol hijau di layar ponselnya, tapi berkali-kali juga Lintang tak mengacuhkannya. Elang mengumpat, segera berkemas menuju Bandara tanpa pikir panjang. Entah kenapa pada saat itu dia nampak seperti CEO bodoh yang nggak punya otak. Sesampainya di Bandara ternyata nggak ada pesawat menuju Bandung malam ini. Dia harus menunggu sampai subuh untuk mendapat pesawat penerbangan pertama. Segera dia mengontak Bumi yang jelas harus bersabar karena jam tidurnya sudah diganggu Elang begitu saja. "Cari tahu dimana Lintang tinggal, dan pastiin anak buah Yachio nggak mengusiknya." Titah Elang penuh penekanan di setiap kalimat. Dia menyisir rambutnya dengan jari berdiri was-was di area bandara. "Kayaknya Ali udah tahu, dia nyuruh Saka buat jagain Lintang malam ini. Gue rasa mereka nggak akan berani bikin ribut kalo ada preman-preman itu, El." Sahut Bumi masih setengah sadar, sesekali menguap di balik selimut. Elang menghela napas dalam-dalam, "Oke, besok pagi jemput gue di bandara." Alhasil disinilah saat ini Elang berada. Mercedez benz birunya berhenti di rumah kontrakan yang nggak terlalu besar. Masih di dalam mobil dia melihat adegan pertengkaran yang sepertinya jauh dari kata bahaya. Lintang menjewer telinga murid SMA saat siempunya telinga terus menempelinya memaksa Lintang untuk naik ke motor. Sedangkan dua murid lainnya sudah standby di motor masing-masing cekikian melihat drama pagi ini. Elang tahu, nggak seharusnya dia merasa terusik dengan kemunculan murid SMA itu. Nggak sepatutnya dia merasa khawatir tersaingi. Tapi naluri lelakinya nggak bisa bohong. Dengan muka lelahnya tapi tetap terlihat dingin, Elang turun dari mobil berjalan menuju pagar rumah Lintang, membuat para pembuat drama itu menoleh ke arahnya kompak. Untuk sesaat mereka hanya menatap Elang diam. Elang yang sadar nggak ada yang akan berlari membukakan pagar untuknya, dia memilih meloncati pagar itu. Membuat yang punya kontrakan melotot, menatapnya tajam seakan ingin menguliti Elang. "Ka, lo berangkat duluan. Keburu telat lo nya." Ucap Lintang ke Saka tapi matanya lurus menatap Elang. "Tapi Kak, kenapa nggak sekalian aja sih, kan juga ke sekolah?" rengek Saka setelah Lintang melepas jeweran di telinganya. Baru Lintang menoleh ke Saka tersenyum mencoba memberi pengertian ke penampakan tampan itu, "Gue masih harus ke kantor. Gue bisa sendiri, gue nggak akan kenapa-napa, janji." "Oke, sampai di kantor harus wa gue. Ah nggak, satu jam lagi gue telpon lo, harus angkat!" pinta Saka memaksa. Baru setelah Lintang mengangguk mengiyakan, Saka memberi komando untuk Iqbal dan Riko berangkat ke sekolah, meninggalkan Elang dan Lintang sendiri. Elang tertawa kecil, melihat tiga motor itu pergi lalu berpaling ke Lintang. Semalaman dia panik mengkhawatirkan gadisnya, dan pagi ini apa yang dia lihat? Kalau saja mereka masih ada hubungan, pasti sudah dihajar tiga bocah ingusan itu saat ini juga. "Hai." *** Belum pernah pagi Lintang seramai ini. Dia seperti mendadak punya tiga bayi yang harus diurus. Untungya setelah menyiapkan sarapan Lintang langsung mandi, jadi nggak harus antri mandi dengan Saka cs. "Nggak sarapan, kak?" celetuk Iqbal di tengah aktifitasnya menandaskan nasi goreng yang ada di piringnya. Seenggaknya dia masih punya etika setelah sudah menumpang tidur dan bahkan diberi sarapan gratis. Nggak seperti dua sahabatnya, yang tanpa basa basi terus mengambil nasi goreng begitu di piring mereka habis. "Kenyang gue liat kalian. Buruan habisin semua, telat lhoh ntar." Interupsi Lintang sesekali menengok jam di dinding. "Udah selesai kalian?" kali ini Saka bersuara setelah menegak habis air putih penuh di gelas yang tadi Lintang berikan. Riko dan Iqbal kompak mengangguk. "Ya udah kalian keluar duluan, siap-siap." "Lo mau ngapain?" tanya Iqbal mendadak curiga. Pikiran kotornya entah kenapa tiba-tiba muncul saat si playboy kelas kakap itu menyuruhnya untuk segera keluar. Saka yang tahu arti tatapan Iqbal langsung melemparinya dengan kerupuk. "Nggak pagi juga pikiran kotor lo itu muncul kali. Nggak ada waktu juga, bisa telat kita." PLAKKK Pukulan keras mendarat di kepala Saka. Lintang sudah berkacak pinggang, tajam menatap Saka. Sedang yang ditatap cuma nyengir menahan sakit, lalu kembali memberi kode teman-temannya untuk segera keluar. "Mulut lo itu ngomong yang baik apa nggak bisa sih? Ih, kesel gue!" PLAKK lagi tepat di bahu Saka, Lintang memukulnya. Hampir sekali lagi Lintang ingin melayangkan pukulannya, tangan Saka segera menahan, memaksa Lintang untuk duduk di kursi yang ada di depannya. "Becanda, kak. Gue mau ngomong, makanya gue suruh mereka keluar." Saka nyengir, tangannya juga masih memegang pergelangan tangan Lintang, takut kalau pukulan otomatis itu mendarat lagi di tubuhnya. "Apaan lagi?" "Berangkat bareng gue ya, hari ini aja." "Gue bisa berangkat sendiri Saka. Apaan sih lo!" "Tapi gue nggak bisa, kak. Hari ini aja, ntar lo pulang sendiri deh. Besok lo berangkat sendiri. Cuma hari ini aja, please." Pinta Saka serius memohon, merapatkan kedua telapak tangannya di depan muka. "Emang kenapa sih, hem? Lo aneh deh. Tiba-tiba datang, minta nginep, terus sekarang maksa anter. Kalo mau modus nggak gini juga dong." Saka menghela napas, sedikit frustasi. Susah sekali ternyata menjaga Lintang. Dia nggak mungkin mengatakan yang sebenarnya kan? Kemarin Saka memang sengaja mendatangi rumah Lintang. Membuat banyak alasan supaya bisa menginap di rumahnya. Bukan karena modus, tapi karena memang Lintang dalam bahaya. Ali sedang berusaha menyelamatkan Tiara, jadi kemungkinan besar Yachio akan menargetkan Lintang kalau tahu siapa Lintang sebenarnya. "Lo inget cewek yang ngelabrak lo kemarin nggak, Kak?" tanya balik Saka. Lintang mengangguk. "Dia masih nempelin gue mulu. Dia nantang gue, kalo beneran kita pacaran, dia janji nggak akan ganggu gue." Sekali lagi Saka memasang muka memelasnya, berharap Lintang percaya. Kalau sampai Lintang terpengaruh sepertinya Saka harus mendapat penghargaan kali ini. "Terus?" "Bantuin gue ya, kak. Gue mau boncengin lo sampek sekolah, sampek tuh cewek liat dan percaya. Udah gitu doang. Gue nggak akan modus juga. Nggak punya waktu, kapan-kapan deh pas malem gue modusnya!" Takdir macam apa yang mengikat Lintang dengan tubuh Saka. Seakan tangan Lintang begitu mudah menyiksa Saka yang notabene preman nomror wahid di Gajah Mada. Kembali jeweran panas mendarat di telinga Saka tanpa ampun. Lintang menyeret paksa Saka keluar rumah. "Lo berangkat sekarang atau gue laporin satpam!" ancam Lintang sungguh-sungguh. "Ya ampun kak, gue serius ini." "Gue juga serius bocah!" BUGGG Seketika Lintang dan ketiga penampakan yang tengah berada di halaman itu menoleh ke arah sumber suara. Jelas Lintang sangat terkejut, sampai jeweran di telinga Saka mengendur. Elang meloncati pagar rumahnya dan sekarang berjalan menuju arahnya. "Ka, lo berangkat duluan. Keburu telat lo nya." "Tapi Kak, kenapa nggak sekalian aja sih, kan juga ke sekolah?" "Gue masih harus ke kantor. Gue bisa sendiri, gue nggak akan kenapa-napa, janji." "Oke, sampai di kantor harus wa gue. Ah nggak, satu jam lagi gue telpon lo, harus angkat!" Lintang mengangguk supaya Saka segera pergi. Dia nggak mau Elang buat keributan. Lintang tahu betul tabiat Elang. Dia paling benci melihatnya dekat dengan laki-laki lain. Ah, Saka termasuk laki-laki kan meski masih sekolah? "Hai." Sapa Elang tersenyum tipis. "Ngapain kesini?" "Jemput kamu. Ke kantor dulu kan?" tanya Elang lembut, matanya nampak sayu. Lintang tahu itu, pasti Elang belum tidur. Elang memang gila bekerja. Atau mungkin lebih tepat lagi menggilai dirinya. Karena dia lah penyebab Elang nggak bisa tidur. "Udah sarapan?" tanya Lintang lagi. Nggak ada satu pertanyaan Elang yang dijawab Lintang. Lintang lebih mengkhawatirkan keadaannya. Iya, bahkan meski membencinya pun, kebiasaan Lintang mengurus Elang tetap nggak berubah. Itu seperti tanpa sadar Lintang lakukan. Elang menggeleng. "Makan dulu." "Aku cuma bisa sarapan sama nasi goreng." "Iya, gue bikin nasi goreng pagi ini." "Pagi ini? Apa setiap pagi?" senyum tipis terbit di bibir Elang lagi. Bahagianya memang sederhana sekali sepertinya. Lintang nggak menjawab, lebih memilih segera masuk ke dalam meninggalkan Elang. Berada dekat dengan Elang memang bahaya, bisa-bisa dia akan jatuh hati lagi kalau Elang terus menggodanya kan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN