Undangan Celia

1111 Kata
El tersenyum seraya bersiul begitu memasuki ruangannya. Dia tidak sadar kalau Desi—sekretarisnya—memperhatikan dia dengan tatapan aneh. Melihat El masuk ke ruangan, Desi buru-buru menyusul langkah si bos. "Pak El! Anda sudah ditunggu Pak Thomas di ruangannya," ujar Desi menyembulkan kepala dari balik pintu. El yang sudah masuk ke ruangannya berdecak. "Kalau mau ngomong itu masuk dulu, Des. Kebiasaan banget, sih." Desi nyengir. "Sori, Pak. Saya lagi banyak kerjaan." Dia lantas menutup pintu kembali. El di tempatnya menggeleng. Desi memang sudah seperti adiknya. Jadi, terkadang dia suka seperti itu. Tapi cewek itu tetap bisa menjaga kesopanannya pada atasan. Dia bisa membawa diri sebagai sekretaris yang baik. Tidak jadi menuju kursinya, El kembali memutar langkah keluar ruangan. Tujuannya adalah ke ruangan Presdir, tempat Thomas yang Desi maksud. Milea, sekretaris Thomas langsung menyambut kedatangannya. Wanita cantik dengan tinggi semampai itu mengenakan outfit serba peach. Dan sangat cocok melekat di tubuhnya yang sintal. "Pak Thomas sudah menunggu Pak El di dalam," ujar Milea memberikan senyum terbaik pada El, dan mengantar El menuju ruangan bosnya. El yang sejatinya pria cuek, hanya mengangguk saja. Dia langsung beranjak masuk ke ruang Presdir mengikuti Milea dari belakang. "Pak, Pak El sudah datang," beritahu Milea, lantas mempersilakan El masuk. Thomas tampak tengah duduk di kursi kebesarannya. Namun, begitu melihat kedatangan El, dia langsung bangkit berdiri dan memutari meja. "Ayo, duduk," katanya menyuruh El duduk di sofa. Dia sendiri lebih dulu duduk di sana. "Ada apa, Pa?" tanya El tho the point. Thomas menyodorkan sebuah kertas glossy ke atas meja. "Datanglah ke sini." Mata El menyipit melihat kertas yang mirip dengan undangan. "Apa itu, Pa?" "Celia ulang tahun besok malam. Papa ingin kamu datang." Thomas atasan sekaligus ayah El memerintah. El tahu lelaki itu pasti tidak ingin ada kata penolakan. El bukannya tidak tahu maksud Thomas memberinya undangan ini. Dia menghela napas panjang sebelum mengambil kertas undangan itu. Celia itu sudah dewasa ulang tahun saja masih dirayain. El menatap undangan yang didesain glamour itu. Ciri khas Celia banget. "Aku usahakan." "Harus bisa," tekan Thomas. "Hmm, iya. Ada lagi?" "Soal ekspor yang bermasalah. Apa kamu sudah tahu?" tanya Thomas menyilangkan kaki. "Sudah, pihak kita sudah turun tangan." "Baguslah. Sudah berapa lama kita mengekspor ke Eropa? Masih saja bermasalah." Itu mirip sebuah gerutuan. "Para karyawan kerjaannya kok tiap hari nggak ada yang bener." El menarik napas panjang lagi. Orang seperti papanya mana tahu urusan di luar sana atau dalam produksi. Para petinggi kan tahunya cuma beres saja. Memangnya Thomas peduli apa yang terjadi di bawah? t***k bengek perusahaan semua El yang mengurus. Petinggi mah tinggal terima laporan saja tiap bulannya. Dan kalau tidak sesuai target, bisanya cuma mengomel. Apalagi sekarang, permintaan ekspor luar negeri semakin meningkat. Pesanan dari Eropa dan Australia saja meningkat hingga tiga puluh persen. Belum lagi yang di Asia dan Amerika. El tidak menduga mengurus perusahaan bisa sepuyeng ini. Belum lagi permintaan Thomas yang menginginkan dia segera menikah. Benar-benar menambah beban pikirannya saja. "Kalau nggak ada yang ingin disampaikan, aku permisi." Thomas hanya mengangguk dan membiarkan putranya keluar dari ruangannya. El mengembuskan napas kasar begitu keluar. Dia tidak sadar, kalau Milea dari tadi memperhatikannya. "Pak El, udah selesai?" tanya Milea. El mendongak, dan mengangguk. "Saya pamit dulu, Milea." Menatap sekilas gadis itu, El lalu melanjutkan langkah. El tidak tahu, kalau Milea terus menatapnya dengan pandangan memuja. Bahkan sampai tubuh El menghilang di balik koridor, Milea masih saja menatap ke arah lelaki itu tadi menghilang. "Pak El, ganteng banget, sih," gumamnya gemas. "Dia nggak lebih ganteng dari saya, Milea." Milea terkesiap, saat mendengar suara lain di belakangnya. Thomas ternyata sudah berdiri di ambang pintu. "Eh, Pak Thomas. Iya, tetap Pak Thomas kok yang terganteng bagi saya." Milea lantas tersenyum manis pada atasan sekaligus kekasihnya itu. "Ke ruangan saya sebentar," pinta Thomas, lalu dia masuk kembali ke ruangannya. Milea langsung menyusul Thomas masuk ke ruangan Presdir yang super mewah itu. Fasilitas di dalamnya lumayan lengkap. Alih-alih ruangan kerja, itu lebih mirip kamar hotel type suite president. Thomas berjalan membuka sebuah pintu yang ada di dalam ruangan tersebut. Milea di belakang mengikutinya. Dia tahu betul apa tujuan Thomas membawanya masuk ke ruangan yang dilengkapi satu set tempat tidur ini. "Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan 'kan, Sayang?" Thomas memutar badan lantas membelai lembut pipi Milea yang kemerahan. Milea tersenyum. Sudah sejak dua tahun belakangan, Milea menjadi kekasih bos besar Thomas. Lelaki jangkung berdarah Amerika itu bisa memberikan segala yang Milea mau. Itulah sebabnya Milea masih bertahan. Meskipun hanya menjadi kekasih simpanan. Karena tentu saja, Thomas sudah memiliki istri di rumahnya. Yang mungkin usianya tidak lebih muda dari Milea. Tidak berselang lama, desahan dan erangan keduanya memenuhi penjuru kamar di dalam ruangan itu. Selain menjadi sekretaris, Milea juga harus pandai memuaskan Thomas di ranjang agar dia tidak dibuang. Sewaktu-waktu Thomas bisa saja memanggilnya seperti ini. Meskipun Thomas sudah tidak muda lagi, tapi primanya sebagai pria bisa diadu dengan yang umurnya jauh di bawahnya. Bagaimana Milea kewalahan menghadapinya, itu sudah menjadi bukti. Bagaimana dengan El? Apa dia tahu hubungan keduanya? Tentu saja tidak. Sebenarnya skandal bos dan sekretaris itu sudah berhembus. Hanya saja El tidak mau percaya begitu saja kalau dia sendiri belum melihat buktinya. *** El mengempaskan diri di kursi putarnya. Dia memperhatikan sekali lagi undangan dari Celia. Rasanya begitu malas memenuhi undangan yang penuh muslihat itu. Entah apalagi rencana sang papa untuk mendekatnya dengan anak gadis pemilik Grup Pratama itu. Suara ketukan pintu terdengar, disusul kepala Desi menyembul dari baliknya. "Permisi, Pak. Ada yang harus Anda tanda-tangani." Wanita itu masuk. Heels lima sentinya mengetuk lantai lumayan nyaring. El langsung menegakkan punggung, dan menerima sebuah map dari sekretarisnya itu. "Pulang dari ruangan Pak Thomas. Muka Anda kok butek, sih, Pak?" tanya Desi kepo. El hanya melirik wanita itu sekilas lantas fokus pada map yang akan dia tanda-tangani. "Pak Thomas nyuruh Anda ketemu Mbak Celia lagi, ya?" Lihat, tanpa diberitahu pun, Desi si ratu kepo itu sudah tahu duluan. Senyumnya terulas lebar karena dia merasa tebakannya benar. Tangannya lantas mengibas rambut panjang bergelombangnya. Itu hal yang kadang bikin El kesal. "Udah berapa kali saya bilang Desi, ikat rambut kamu kalau lagi kerja. Saya nggak mau ada rontokan rambut kamu di ruangan ini," tegur El bosan. "Rambut saya nggak rontok, Pak. Kalau pun ada rontokan rambut di sini mungkin itu bukan punya saya. Kali saja punya Mbak Celia." El menatap gondok pada wanita berbibir merah muda itu. Kadang dia juga ingin melakban bibir Desi yang suka mengucapkan sesuatu tanpa difilter lebih dulu. Yang ditatap nyengir kuda. "Jadi, kali ini modus Mbak Celia apa, Pak?" tanya Desi lagi bertepatan dengan El yang selesai membubuhkan tandatangannya. ___________________ Kenapa aku merasa masalah JEZ bakal lebih kompleks dari BIM ya? Hadeh? turutin alur aja lah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN