"Besok malam, ada acara ulang tahun Celia. Dan saya dipaksa hadir," jawab El akhirnya.
"Emang bener tanggal itu dia ulang tahun?" Desi malah tampak penasaran dan beranjak duduk di depan meja El.
"Entahlah. Saya nggak tahu. Kamu baca saja undangannya." El melempar pelan kertas undangan itu.
Desi buru-buru membuka undangan itu. Penasaran dengan isinya. Di tulisannya, sih, benar itu ulang tahun Celia. Kemungkinan besar, memang Celia ulang tahun.
"Menurutmu saya harus mangkir atau gimana?"
"Datang aja, Pak."
"Dengan risiko saya ditenteng seraya mengelilingi tamu? No way. Itu bukan solusi yang tepat." El menggeleng, dia sangat tahu tabiat Celia itu seperti apa.
"Nah, makanya Anda ke sana jangan sendiri. Ajak seseorang yang mau bekerja sama dengan Anda. Yang mau berpura-pura jadi kekasih Anda. Mbak Celia nggak mungkin kan mengenalkan Anda sebagai pacar kalau Anda saja menggandeng wanita lain?"
Penjelasan Desi masuk akal juga. Tapi masalahnya siapa wanita yang mau dengan sukarela El ajak ke pesta itu? Apalagi pura-pura jadi kekasihnya.
"Oke, kalau gitu saya ke sana sama kamu saja, Des," putusnya.
"Kok saya, sih, Pak? Mbak Celia itu kenal saya, mana mungkin dia percaya kalau kita ini pacaran?" Desi berdecak.
"Loh, memang kenapa? Banyak kan kasus sekretaris dan bos terlibat hubungan."
Desi kembali berdecak. "Itu cuma ada di drama, Pak. Di dunia nyata mana ada kayak gitu."
El meringis. Ketahuan sekali dia suka nonton drama. Ah, menyebalkan. Kegemarannya menonton drama seolah menguatkan dugaan Za tentang dirinya yang gay. Memangnya lelaki yang suka drama bisa mengidentifikasikan bahwa dia gay? Sangat tidak masuk akal.
El menyandarkan punggung. Tidak mungkin juga kalau dia membawa sodara sepupunya yang perempuan. Nyaris semuanya Celia kenal. Tidak ada yang Celia tidak tahu tentang El.
Kadang El berpikir apa yang menarik darinya hingga Celia terus saja mengejarnya tanpa lelah. Padahal sudah berkali-kali El menolak dengan tegas. Thomas—papanya—juga sama saja. Masih kekeh mendekatkan mereka.
Desi mengambil mapnya kembali. "Cari deh, siapa gitu teman Anda. Nggak mungkin kan orang setampan Anda nggak punya teman wanita?" Desi mengerling sebelum keluar dari ruangan El. Bagus! Wanita itu memberinya PR, bukan solusi.
***
El keluar dari lift, berniat pulang ke apartemennya. Jam kantor sudah lewat beberapa menit yang lalu. Langkahnya berderap dengan pandangan lurus. Sesekali dia membalas sapaan para pegawainya di lobi. Namun, ketika pandangannya menangkap rintik hujan di luar sana, dia mengerjap, tidak sadar kalau hujan datang.
Langkahnya yang hendak keluar dari lobi pun urung. Dia akan kebasahan kalau nekat menerobos hujan ke halaman parkir tempat mobilnya berada. El menarik napas panjang sebelum dia berbalik arah dan duduk di salah satu kursi tunggu lobi.
Beberapa pegawainya ada yang seperti dia lebih memilih menunggu hujan reda. Ada juga yang nekat menerobos hujan. Tapi kebanyakan dari mereka sudah memiliki persiapan sebelum hujan datang. Jadi, tidak masalah kalau harus menerobos hujan.
Di teras lobi juga banyak orang yang menunggu hujan reda. Dari posisinya El bisa melihat keadaan di luar. Pintu kaca transparan, sehingga El bisa dengan jelas melihat keadaan di luar. Salah satu dari mereka, ada yang mampu menyunggingkan senyum di bibir El. Matanya menangkap keberadaan Za. Wanita itu tampak mencebikkan bibir mungilnya seraya menengadahkan wajah ke langit-langit kelabu.
El tergelitik hingga tanpa sadar berdiri. Kemudian menyeret kaki untuk keluar dari lobi berniat menghampiri Za. Wanita itu tidak sadar kalau sekarang El sudah berdiri di dekatnya. Beberapa orang terlihat menyingkir begitu tahu sang direktur ada di sini.
Tapi tidak dengan Za. Dia tampak cuek dengan pandangan terus saja melihat rintik hujan dari atas. Sesekali dia menghela napas seolah ada beban berat yang menimpanya.
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"
Wanita itu terkesiap ketika telinganya menangkap suara berat seseorang. Sontak kepalanya menoleh, dan matanya menemukan El tak jauh dari posisinya.
"El?" Za tersenyum lebar. Perasaan bosan beberapa menit lalu mendadak sirna begitu melihat El.
El tersenyum manis. "Kamu ngapain melamun di tengah hujan? Nggak takut kesambar petir?"
"Astaga. Doa kamu jelek banget."
"Eh, bukan doa. Tadi kan cuma nanya. Kenapa nggak tunggu di dalam aja sih? Atau kalau enggak, naik taksi aja."
Za diam beberapa saat. Sebenarnya dia berharap Ryan akan menjemputnya. Untuk naik taksi seperti yang El bilang, tentu saja itu tidak akan dia lakukan mengingat kondisi keuangannya yang sekarat. Mending dia menunggu hujan reda dan berjalan ke halte terdekat. Ingatkan dia, untuk membawa payung besok.
"Iya, ya. Kenapa nggak nunggu di dalam aja, ya?" Za tertawa canggung. "Kamu sendiri kenapa nggak pulang? Masa nunggu hujan reda? Kan kamu bawa mobil."
"Lagi males menerobos hujan ke parkiran," jawab El terkekeh. Dan itu membuat Za berdecak. Jarak dari sini ke parkiran tidak terlalu jauh padahal.
"Kamu mau pulang sekarang?" tanya El.
"Iya, tapi nunggu hujan reda dulu."
El menengadah melihat ke atas. Awan masih tampak kelabu. "Hujan kayak gini mah bakal awet. Kita pulang aja, yuk, Za."
"Jadi, sekarang udah nggak malas nerobos hujan?"
"Enggak, kan ada temannya, kamu." El terkekeh lagi. "Aku antar kamu ke kosan."
"Okelah. Tapi apa beneran kamu nggak punya payung?"
"Sebenernya ada, sih. Tapi di mobil." El tampak berpikir. "Tunggu sebentar." Dia lantas kembali memasuki lobi.
Tidak terlalu peduli apa yang dilakukan El, Za bergerak melihat layar ponselnya kembali. Dia tampak menghela napas saat tidak menemukan pesan apa pun dari Ryan. Masa lelaki itu masih ngambek aja?
Biasanya kalau Ryan marah, Za akan membujuknya atau dia yang akan menghubungi Ryan duluan mengajak berbaikan. Namun, entah kenapa kali ini dia lebih memilih diam saja.
"Nah, Za. Aku dapat payung nih. Cuma satu, tapi lebar kok. Lumayan bisa muat berdua sampe ke mobil."
Za menoleh dan tahu-tahu El sudah mendapatkan payung entah dari mana. Lelaki itu kemudian membuka payungnya.
"Yuk!" ajak El begitu payungnya siap.
Za merapat mendekati El, tangannya langsung menggaet lengan El membuat lelaki itu agak sedikit terkejut dan bengong. Za tidak sadar apa yang dia lakukan sudah membuat jantung El bekerja tidak pada semestinya.
"El? Kok diam aja? Ayo."
El tersentak dan sedikit salah tingkah. "O-oh, ayo!" El membiarkan Za menempel begitu dekat padanya. Ya, Za memang harus melakukan itu agar tubuhnya tidak terkena air hujan. Mereka berjalan menerobos hujan dalam satu payung yang sama. Tidak sadar jika beberapa pasang mata memperhatikan keduanya.
"Dapat payung dari mana, sih?" tanya Za setengah berteriak berlomba dengan suara rintik hujan yang makin deras.
"Oh, dari Front desk."
Mereka terus menuju tempat parkir yang berjarak sekitar lima puluh meter dari gedung. Ingatkan El untuk memarkirkan mobilnya di basement. Jadi, dia tak akan khawatir kehujanan. Ah, tidak. Bukankah ini keberuntungan? Seandainya dia tidak parkir di halaman depan, dia tentu saja tidak akan bertemu Za seperti sekarang ini. Diam-diam senyum kecilnya terbit.
______________________