Waktu terus bergulir. Pernikahan tinggal menghitung jam saja. Aku masih berdiri sendiri, memandang rembulan dari balkon kamar. Semilir angin berhembus menusuk rongga pori-pori, lalu aku memejamkan mata—merasakan kehampaan. Shalat istikharah-ku masih belum membuahkan hasil. Tidak, tapi Allah belum memberi petunjuk akan dilema yang aku rasakan saat ini melalui mimpi. Siapa yang akan menjadi pengantin wanita esok? Nabila kah? Atau Sabila? Hal itu masih saja menghantui pikiranku. Ok, jika ummi tau mereka bertukar posisi, tapi bagaimana kalau ummi tidak tahu dan ketika kata sah terucap malah salah orang, bukankah artinya aku sama saja membuat kebohongan publik? Lalu pernikahan macam apa ini? Ah, rasanya kepalaku terus saja berputar akan dua gadis nakal itu. Mereka benar-benar membuatku resa