5.

1014 Kata
Malam ini langit tampak dipenuhi bintang yang berkerlap kerlip dengan indah, pemandangan yang sangat bagus bagi siapapun yang melihatnya meski sinar bulan tak terlalu terang. Evi yang lelah karena seharian bekerja memutuskan untuk keluar dari kamarnya demi menikmati pemandangan tersebut. Terlebih sejak tadi teman sekamarnya, Sulis sudah tertidur pulas sehingga dirinya tak memiliki lagi teman untuk berbincang ria. Suasana sekitar nampak sepi karena para atlet sudah masuk ke kamar masing-masing untuk mengistirahatkan tubuh mereka, Evi hanya bertemu para satpam yang berjaga dengan ketat. Mereka bahkan sampai patroli berkeliling "Aa Faiz?" Evi terkejut melihat Faiz ada di benteng dengan tangga di tangannya. Pemuda itu sepertinya keluar dari pelatnas melalui benteng itu seperti yang sering dikabarkan jika beberapa atlet sering melakukan pelanggaran dengan keluar masuk pelatnas melalui benteng saat malam hari, bahkan ada yang pulang pagi. Sampai detik ini pelakunya belum diketemukan dan Mengingat turnamen besar akan segera dilaksanakam maka jam malam para atlet sedang dibatasi. Mereka dilarang keluar lewat dari jam delapan malam. Tim pelatih khawatir kebugaran fisik mereka terganggu jika mereka sering berkeliaran tidak jelas di malam hari. "Evi, ngapain kamu disini?" Ia menatap tajam ke arah Evi untuk menyembunyikan keterkejutannya. Seperti halnya Evi, ia juga terkejut bukan main. Ini bukan yang pertama kali dirinya sering keluar masuk komplek pelatnas bukan melalui pintu gerbang yang seharusnya karena ia melanggar jam malam yang telah ditetapkan. "Eh, saya teh lagi nyari Mbak sulis." Evi beralasan. Ia sebenarnya penasaran dengan aktifitas yang dilakukan oleh sosok Faiz Faisal di malam hari dengan sebuah tangga. Ia curiga, jika idolanya itu merupan salah satu dari deretan atlet-atlet yang sering melanggar disiplin. "Aa Faiz sendiri mau kemana?"tanya Evi kepo. Ia berusaha untuk membuat Faiz buka mulut. Bukan Evi namanya jika tak menaruh rasa curiga berlebih. "Bukan urusan kamu!" Faiz menjawab ketus. Aksi dirinya yang keluar dari tempat itu diketahui oleh si gadis cleaning service, akan sangat berbahaya jika aksinya itu sampai di telinga para satpam atau pelatih. Ia terancam mendapatkan sanksi. Evi sebenarnya sakit hati mendapatkan perlakuan buruk dari sang idola, namun ia tetap tegar dan menerimanya. Cintanya sangat besar sehingga ia melupakan kewarasannya dan melupakan segala sakit hatinya. Cinta memang buta dan gila, lagipula cinta butuh pengorbanan, salah satunya berkorban untuk diabaikan dan diperlakukan kurang menyenangkan. "Awas saja kalau kamu laporin ini sama Mas Diki, kamu pasti menyesal!" Faiz yang kepergok memberikan ancaman. Saat ini jam malam mereka hanya sampai pukul delapan. Ia habis makan malam di rumah Dian Larasati, model yang dikabrkan menjadi kekasihnya dan ia baru bisa kembali jam sembilan, artinya kelebihan satu jam. Ia tak berani untuk masuk melalui pintu gerbang utama yang ada di depan. "Ih, si Aa mah, siapa juga yang mau laporin A Faiz?" Evi cemberut karena ia malah dituduh yang bukan-bukan. Sebagai seorang fan sejati, ia pasti akan melindunginya. Seburuk apapun prilakunya ia masih bisa mengtolerir dan memakluminya Lagipula ia terlambat satu jam saja, tidak berlebihan misalnya dengan pulang tengah malam atau dini hari. "Hei! Faiz, kamu lagi ngapain?" Ketika ribut dengan Evi, tiba-tiba terdengar suara pelatihnya. "Eh, Mas Diki." Faiz terkejut bukan main keti sosok pelatihnya berdiri di dekatnya. Ketakutannya menjadi kenyataan, dalam hati ia menyalahkan Evi atas apa yang terjadi. Andaikan Evi tak muncul di hadapannya mungkin ia tak akan terlibat percakapan tak penting yang menghambat gerak dan langkahnya mengembalikan tangga dan kembali ke kamar asramanya dengan cepat. Takdirnya malam ini berkata lain, ia harus bersiap dengan segala resiko akibat tindakannya yang menyalahi aturan. "Kalian lagi pacaran?" Diki menatap dua insan itu bergiliran. Mereka berdua seperti sedang mojok.di tempat gelap. "Enggak!" Faiz langsung mengelak. Ia tak ingin kena masalah. "Enggak kok, Mas Dikk" Evi menggelengkan kepalanya. Ia tak ingin menjadi bahan gunjingan. "Terus ngapain kalian berdua-duaan seperti ini? Kamu juga ngapain bawa tangga segala?" Diki menatap Faiz semakin curiga. "Jangan-jangan kamu mau keluar dari pelatnas secara diam-diam?" Diki memberikan dugaannya. Isu tentang atlet yang sering keluar malam itu mulai senter kabarnya dan mereka begitu pandai mengelabui para security. Meski telah terpasang kamera CCTV dengan lihainya mereka berhasil menutupinya. "Maaf, Mas tadi itu saya minta tolong Aa Faiz buat benerin lampu yang rusak, makanya A Faiz bawa tangga dan harus keluar." Evi memberikan pembelaannya. "Malam-malam begini?" Diki mengerutkan dahinya, Itu tak masuk diakal. "Iya, Mas Diki, soalnya saya ga bisa tidur dalam keadaan gelap." Evi makin melantur. Sebenarnya itu masuk diakal. Faiz tak menyangka jika Evi akan berani mengarang cerita untuk membela dirinya. Padahal tadi itu ia sempat sewot kepada gadis yang kalau dioikir-pikir sudah banyak memberikan bantuan untuknya "Baiklah saya akan maafkan kamu, tapi ingat, jika sekali lagi kamu melakukan tindak pelanggaran maka saya tak segan-segan untuk memberikan sanksi kera, bahkan bukan hal mustahil saya akan mencoret nama kamu dari daftar tim inti yang akan bertolak ke Belanda." Diki berkata dengan singkat dan jelas, tak ada lagi tawar menawar karena jarak semakin dekat. "Iya, Mas maafkan saya. Saya akui jika saya ini banyak kesalahan." Faiz meminta maaf kepada sang pelatih. "Ya sudah kalau segala urusannya telah selesai, kalian kembali ke kamar masing-masing. Besok saya tak terima cerita apapun tentang kamu." Diki terlihat kesal. "Baik Mas." Evi mengangguk. Ia tak boleh mencari masalah. Mereka lalu melarikan diri ke kamar masing-masing. *** Saat masuk ke dalam kamar, ternyata Sulia sudah bangun. Kebiasaan temannya itu tidur selepas Isy dan akan bangun menjelang tengah malam. Gadis itu memiliki pekerjaan sampingan sebagai penulis n****+ online. Berhubung seharian bekerja membuatnya lelah maka ia memutuskan untuk mengerjakan pekerjaan sampingannya di tengah malam. "Kamu kenapa seperti galau begitu?" Sulis menatap Evi yang sejak tadi tampak gusar. Sejak pertemuan dengan Faiz yang tak sengaja itu, ia masih sulit percaya jika sosok itu akan berkata kasar kepadanya, saat ia membelanya tadi bahkan tak sedikitpun mengucapkan rasa terima kasihnya. "Iya, tadi Aa Faiz dimarahi oleh Mas pelatih. Kasian dia pasti kena omel, saya teh khawatir jika ia gagal dikirim ke Belanda." Evi memberikan alasan dengan menutupi kejadian yang sebenarnya. "Udah, udah biasa lah kalau pelatih marah. Semua dilakukan demi kebaikan atlet dan tentu saja demi prestasi mereka. Ngomong-ngomong, kok kalian bisa sampai berduaan begitu, emang ngapain?" Sulis berusaha menyelidik. "Benar juga sih, tapi tetap saja rasanya tidak ikhlas." Evi berlebihan. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN