Sudah dua bulan Evi tinggal di Jakarta, ia sama sekali belum memberikan berita apapun tentang dirinya kepada kedua orang tuanya yang ada di kampung halamannya. Pun kepada saudaranya yang ada di Jakarta. Ia tak mau siapapun tahu akan keberadaannya di Ibukota. Pergi dari tanah kelahirannya berbekal rasa amarah dan kecewa karena tindakan kedua orang tuanya. Gonjang ganjing kekisruhan dalam bahtera rumah tangga mereka membuat Evi yang masih labil mengambil keputusan lari dari rumah.
Ia sengaja tak menggunakan nomor lamanya karena ia yakin ayah ibunya pasti akan mencarinya sampai ketemu.
Bayangan pertengkaran kedua orang tuanya membuat ia malas berhubungan dengan mereka. Evi memang lari dari rumah saking kesalnya terhadap mereka yang tak memikirkan perasaannya. Ayah dan ibunya diambang perceraian.
Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan kr perguruan tinggi pun musnah sudah. Ia lebih menikmati kegiatannya saat ini bekerja menjadi petugas kebersihan. Ia ingin memberikan pelajaran kepada mereka berdua untuk introspeksi diri dan mengenyahkan ego masing-masing. Meskipun sebenarnya ia sangat merindukan mereka namun Evi terlanjur sakit hati. Biarlah ia mengobati luka hatinya dengan jalan mengejar Faiz Faisal.
Hanya kakaknya yang tahu nomor ponselnya dan sesekali menghubunginya untuk mengetahui keadaannya. Beruntung sang kakak tidak membocorkan keberadaannya, karena ia sangat menyayangi adiknya dan tentu saja kakak lelaki Evi itu juga merasa kecewa kepada orang tuanya. Ia sudah lulus kuliah dan tak lagi tinggal serumah dengan mereka sehingga kurang begitu mendengar pertengkaran yang terjadi. Hanya Evi seorang yang tahu bagaimana perabotan di dalam rumah mereka beterbangan.
Hari ini ponselnya berdering, menampilkan nama kakaknya di layar. Evi senang sekaligus sedih.
"Assalamualikum, Iya A Asep!" Evi meneriakkan nama kakaknya. Betapa ia sangat merindukan sosok yang selalu menjaga dan melindunginya. Usianya terpaut lima tahun dan mereka begitu akarab.
"Waalaikumsalam." Terdengar jawaban di seberang sana.
"Dede, kamu apa kabar? Aa kangen sama kamu." Kakak Evi yang bernama Asep itu menanyakan kabar adik semata wayangnya. Tanpa kehadiran Evi, hidupnya menjadi hampa. Evi memang sangat manja kepada kakaknya, selalu minta ini itu meski pun Asep belum kerja.
Di rumahnya, Evi biasa mendapatkan panggilan Dede karena ia bungsu dari dua bersaudara.
"Alhamdulillah sehat, A. Semoga saja Aa juga sehat ya." Evi sedih saat emngingat tentang kedekatan dieinya dengan kakak yang usianya lima tahun lebih tua darinya.
"Sebenarnya kamu teh ada ada dimana atuh, Aa teh kangen sama kamu. Biar Aa jemput ya, kalau kamu tidak mau tinggal di rumah Ayah dan Mamah kamu tinggal si kosan Aa saja.?" Asep berusaha membujuk sang adik agar mau pulangm
"Tidak usah, A. Evi mah alhamdulillah baik-baik saja! Aa santai saja." Sampai detik ini kakak lelakinya Evi tak tahu jika adiknya bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Kalau tahu, bisa saja ia membawa pulang paksa.
"Aa tahu kamu marah sama Mamah dan Ayah, tapi tolong kamu harus selalu memberi kabar sama Aa." Asep mengingatkan.
"Evi teh kecewa sama mereka yang benar-benar egois dan tak peduli bagaimana perasaan Evi." Gadis itu berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah.
Asep menghela nafas. Ia tahu ini berat untuk adiknya. Selama dua tahun teakhir kedua orang tuanya selalu saja bertengkar.
"Kalau Dede tidak mau ngomong sama mereka, minimal kasih kabar atuh sama Aa." Asep memberikan saran.
"Iya, A." Evi sadar dirinya salah, namun ia sengaja ingin membuat mereka panik dan merasa bersalah jika putrinya pergi karena keegoisan mereka
"Udah dulu ya A, Evi sibuk." Evi harus kembali bekerja. Ia tak mau ditegur Paijo dan kehilangan pekerjaan yang sangat ia sayangi.
"Iya, De. Dede baik-baik di Jakarta!" Setelah mendengar pesan terakhir kakaknya, Gadis itu mematikan ponselnya.
***
"Siapa tadi?" Sulis tak sengaja menguping pembicaraan Evi dan kakaknya, meski ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan namun Sulis merasa seola itu serius.
"Sodara." Evi menjawab asal.
"Dari kampung ya?" Sulis terus bertanya.
"Iya." Evi mengangguk, membenarkan.
"Ada apa kayanya serius banget?" Sulis mendadak kepo.
"Ga ada apa-apa." Evi tak mungkin membocorkan rahasia keluarganya. Ia betah menjadi sosok Evi si tukang sapu dan ngepel. Ia tak ingin Sulis tahu jati dirinya yang sebenarnya.
"Beneran?" Sulis menatapnya curiga. Ia belum.puas dengan jawaban yang diberikan oleh Evi.
"Iya."Evi mengangguk.
Evi tak pernah menceritakan apa pun tentang keluarganya kepada Sulis. Ia hanya mengaku datang dari kampung dan berasal dari keluarga tak mampu yang sangat membutuhkan pekerjaan.
"Udah saya mau ke kamar mandi dulu, ngobrolnya nanti aja lagi." Evi meninggalkan Sulis.
***
Bersambung