Akhir pekan ini para atlet memperoleh libur. Mereka diberi kebebasan untuk keluar dari asrama dan tak ada latihan, namun tetap saja jam malam diterapkan. Sebelum jam delapan mereka sudah harus kembali lagi ke asrama masing-masing agar stamina mereka tetap terjaga. Para pelatih tak mau mereka seenaknya pergi sehingga jam delapan diadakan patroli oleh tim satpam. Sanksi berat sudah menanti mereka jika ada yang tidak disiplin.
Seharian penuh mereka berjalan-jalan. Tak terkecuali bagi Faiz Faisal, ia pun pergi keluar untuk menemui Dian Larasati, model cantik yang tengah dekat dengannya. Banyak yang mengira bahwa mereka sudah jadian padahal belum resmi. Faiz masih melakukan pendekatan.
Pemuda tampan yang menjadi andalan Indonesia di kancah internasional itu kini nampak sudah rapi dengan setelan casualnya. Jeans denim dipadukan dengan kemeja kotak warna senada dengan lengan panjang yang digulung, ditambah kacamata hitam dan jam tangan mahalnya membuat ia terlihat semakin tampan berkali lipat.
Evi yang berpapasan dengannya pun langsung melotot dengan perasaan deg deg an. Ia makin jatuh hati kepada pemuda tampan asal Bandung itu. Selama ini ia lebih sering melihatnya dalam balutan setelan olahraga, namun kali ini ia melihatnya dalam balutan pakaian yang tak biasa. Faiz mirip bintang film.
"A, A Faiz mau kemana? Kok sudah rapi dan ganteng begitu?" Evi tahu Faiz pasti mau pergi, namun pertanyaannya itu hanya sebuah basa basi yang dibangunnya agar ia tetap bisa berkomunikasi dengannya. Evi selalu saja mencari-cari topik pembicaraan.
"Ngapain kamu nanya-nanya, ini urusan aku bukan urusan kamu?" Faiz menganggap Evi mengganggu dirinya sehingga ia malas menanggapinya.
"Ih, Evi mah cuma nanya aja A, sombong amat sih!" Evi menggerutu kesal.
"Aku mau pergi jalan-jalan. Sekarang kamu kerja saja!" Faiz memberikan jawaban.
Evi tak lagi berkata-kata. Faiz pun lantas meninggalkan Evi tanpa pamit sedikit pun, mengabaikan kehadiran gadis itu. Evi hanya bisa menarik nafas dalam. Betapa sulit mencari perhatian dari sosok atlet idolanya itu.
Faiz berjalan tergesa karena taksi onlen yang dipesannya sudah tiba dan ia tak mau jika Dian menunggunya terlalu lama.
***
Evi merasa kesepian karena situasi di pelatnas tak seperti hari-hari biasanya. Sebagian besar penghuninya tengah libur dan mereka mengisi waktu luang mereka ke tempat rekreasi atau pusat perbelanjaan. Mereka sepertinya menghibur diri setelah bergulat dengan rutinitas yang melelahkan.
Hanya ada beberapa atlet saja yang tak kemana-mana karena mereka sedang sakit.
Usai jam makan siang, Evi bisa tinggal di kamarnya, karena pekerjaan sudah selesai dan nanti sore ia baru kembali menyapu halaman. Ia pun menyibukan diri dengan membaca n****+ online.
Sendirian di kamar memang tak menyenangkan.
***
Tok
Tok
Tok
Tiba-tiba terdengar suasa ketukan pintu kamar.
"Iya, tunggu sebentar." Ia tengah sendirian karena Sulis pulang kampung kemarin sore.
"Eh, Mas Beben. Ada apanya?" Begitu membukakan pintu, sosok atlet asal Brebes itu sudah berada di hadapannya dengan senyuman manisnya memamerkan deretan gigi putihnya yang kontras dengan warna kulitnya. Di hadapan Evi, Beben selalu tebar pesona. Tak peduli jika Evi tak menyukainya.
"Aku ingin memberikan ini." Ia menyerahkan sebuah papper bag yang isinya entah apa. Oenampilan Beny Irawan masih terlihat rapi, sepertinya ia juga baru pulang dari luar.
Aroma parfum menguar memenuhi indra penciuman Evi.
"Ga usah repot-repot, Mas." Evi sudah tahu jika Beben menyukainya. Sayangnya, Evi tidak. Ia tak mau menerima pemberiaannya karena dengan begitu ia seolah memberikan harapan kepadanya.
"Ayolah, Vi terima saja!" Beben mendesak gadis di ambang pintu itu untuk menerimanya. Ia sengaja pergi mall mencari hadiah untuk Evi.
"Ga usah, Mas." Evi bersikukuh memberikan penolakan. Ia menganggap apa yang dilakukan oleh Beben itu berlebihan. Lagipula hubungan mereka berdua tak ada yang istimewa.
"Saya sengaja memilihkannya buat kamu." Beben tadi keluar sebentar untuk jalan-jalan ke mall ikut bersama rekannya yang lain. Ia sendiri yang memilihkan hadiah untuk Evi.
"Ayolah, anggap saja itu sebagi ucapan terima kasih aku ke kamu karena kamu sudah menyemangati aku sehingga aku berpikir untuk tetap bertahan di sini. Kalau saja kamu kemarin ga bilang gitu, mungkin aku sudah mengundurkan diri sejak kemarin dan tidak akan berjuang untuk terus berlatih sebaik mungki." Pemuda berkaos polo warna hijau botol itu memberikan alasan.
Evi terdiam sesaat seraya menatap papper bag yang masih dipegang oleh Beben.
"Baiklah, kalau gitu saya terima." Evi akhirnya menyerah. Ia pun terpaksa menerimanya, tujuannya agar Beben segera pergi dan tak terus terlibat percakapan dengannya.
"Nah, gitu dong! Makasih banyak ya Vi. Kamu memang terbaik deh." Beben terlihat sumringah. Ia segera menyerahkan barang di tangannya.
"Ya sudah, terima kasih banyak ya Mas Beben. Saya mau tidur siang dulu, silahkan kalau Mas Beben mau kembali." Evi setengah mengusir. Selain ia malas berlama-lama dengan Beben, ia butuh istirahat tidur siang, hanya di akhir pekan pekerjaannya sedikit santai sehingga ia bisa bersantai. Selain itu Evi juga tak mau dituduh yang bukan-bukan karena menerima tamu pria di kamarnya, meski di depan kamar bisa saja timbul fitnah.
Beben pun segera pamit meninggalkan Evi yang kembali menutup pintu kamarnya setelah tamunya pergi.
"Alhamdulillah, Ya Allah. Evi mau menerima pemberian aku. Semoga cocok." Beben bicara sendiri.
***
Di dalam kamarnya Evi tak segera tidur, ia malah membuka isi dari papper bag pemberian Beben, Ia penasaran dengan isinya.
Ketika dibuka ernyata isinya sebuah hoddie warna abu. Sepertinya pemuda itu tahu barang kesukaannya. Evi senang memakai jaket dan hoddie. Dalam setiap penampilannya rasanya kurang pede jika tak mengenakan benda itu.
Evi bingung, haruskah ia senang dengan pemberian ini? Ia berharap jika yang memberikan hadiah itu adalah Faiz Faisal bukan Beny Irawan. Entah kapan usahanya berhasil. Betapa sulit melakukan aksi pendekatan kepada Faiz. Pemuda itu tak pernah meliriknya meski Evi selalu berusaha untuk menarik perhatiannya.
"Andaikan yang memberikan hadiah ini adalah A Faiz, mungkin ia akan sangat bahagia." Evi membayangkan momen indah itu. Harapannya teehadapa sosok Faiz Faisal masih sangat besar.
Mengapa nasibnya malah begini, mengejar Faiz malah dikejar Beben. Sementara Beben pasti sangat bahagia karena pemberiannya diterima oleh sang pujaan hati.
Evi lantas melemparkan hoddie itu ke kasur milik Sulis. Beruntung sang pemilik sedang tak ada di tempat sehingga ia bebas berbuat sesuka hati dan tak akan ada yang mengomel lantaran kasurnya dikotori oleh barang milik Evi.
"Sepertinya saya teh harus lebih rajin lagi berdoa! Baiklah, saya akan bangun lebih pagi lagi dan tak akan melewatkan sholat di sepertiga malam." Evi bicara kepada dirinya sendiri.
***
Bersambung