Perut sudah kenyang, tapi Citra sangat bosa berada di rumah kecil tanpa AC. Ah, bukan itu, dia tipe perempuan yang tak betah di rumah. Hobi jalan-jalan, shopping, dugem dan main game. Tak suka terikat apalagi diatur. Akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi temannya sekaligus share loc agar segera dijemput.
Citra sudah tak memiliki baju, ibunya hanya membawa kebaya saja untuk akad, sedangkan baju yang dikenakan semalam sudah kotor karena muntah. Terpaksa Citra keluar dengan mengenakan kebaya. Dia melintas begitu saja melewati Zayn dan Ahmad yang sedang duduk di ruang TV sambil membaca kitab. Zayn membaca kitab dan Ahmad mendengar.
“Mau ke mana?” Zayn menutup kitab di tangannya. Lalu menatap Citra yang saat ini sudah memegang gagang pintu. Citra sama sekali tidak peduli dengan Zayn, dia langsung keluar dari rumah.
Merasa sudah sepenuhnya tanggung jawab. Zayn meletakkan kitab di atas meja, lalu beranjak menghampirinya. Ahmad pun ikut menyusulnya dari belakang, ia sudah menunggu Zayn untuk menghardik Citra karena Ahmad sama sekali tidak menyukai Citra masuk dalam kehidupan Zayn.
Zayn kalah cepat dari Citra, dia hanya melihat sebuah mobil lewat begitu saja. Ia sudah menduga Citra akan lari darinya.
“Di mana mbak Citra?” Ahmad celingukan.
“Dia sudah pergi,” jawab Zayn kembali masuk ke dalam rumahnya.
“Mbak Citra tidak ada sopan santunya. Wanita seperti apa dia, ya Allah moga-moga aja jodoh saya tidak seperti dia. Amin,” gumam Ahmad menadahkan ke dua tangannya ke atas langit.
“Ahmad, cepat siap-siap! Sebentar lagi kita akan berangkat.”
Ahmad terkejut dan segera masuk ke rumah kembali.
****
Setelah pengajian rutin di masjid, Zayn dan Ahmad selalu duduk dengan remaja masjid untuk membahas kegiatan mereka sehari-hari. Tapi kali ini Zayn buru-buru berpamitan pada mereka. Sedari tadi perasaannya masih tidak tenang karena Citra belum pernah membalas pesan darinya, bahkan tetangga Zayn juga tidak melihat keberadaan Citra di rumahnya.
Dalam perjalan yang tidak tahu ke mana arah tujuannya, Zayn terlihat sibuk menghubungi Citra. Tapi sama sekali tidak menunjukkan tanda Citra akan menjawab telepon darinya.
Zayn memijat pelipis, matanya terlihat kosong saat menatap jalan, menunjukkan kegelisahan yang amat mendalam mengingat Citra seorang wanita apalagi pernah mabuk-mabukan di jalan.
“Kita jalan ke club sekarang juga!” titah Zayn terlihat serius.
“Hah, club?” Ahmad terperanjat kala mendengar club. Dengan penampilan baju koko, sarung dan peci tidak mungkin menuju ke club, pasti akan menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Apalagi melihat penjaga club, sudah jelas mereka akan menghadangnya masuk.
“Iya. Ini sudah sangat larut, saya takut terjadi apa-apa dengan Citra,” ujar Zayn. Dari sorotan matanya tak menunjukkan sebuah kebohongan.
“Kita mau ke club yang mana? Lagian sebelumnya kita tidak pernah ke club.” Ahmad kebingungan dengan arah jalan ke club.
“Buka google map sekarang juga! Kita cari club yang ada di sini. Bila perlu kita datangi semua club,” titah Zayn. Kali ini ia sangat yakin dengan apa yang dikatakan.
Ahmad melirik Zayn sekilas, tidak pernah ia melihat Zayn seserius ini dengan seorang wanita. Hatinya sejenak menjadi kesal saat mengingat Citra yang selalu menyusahkan Zayn. Tanpa banyak bicara Ahmad melakukan semua yang diperintahkan Zayn. Mereka mengunjungi dari sebuah club ke club yang lainnya, tapi tak menemukan Citra. Zayn hampir saja putus asa, hingga ia sampai di club yang terakhir.
Kali ini Zayn memilih masuk sendiri karena tak ingin menyusahkan Ahmad lagi. Suara DJ yang sangat keras kembali ia dengar, bahkan pandangannya penuh dengan dosa kala melihat lelaki dan perempuan berciuman, memakai pakaian terbuka, bahkan tak sedikit wanita yang datang menggoda dirinya. Hanya demi mencari perempuan yang baru dinikahinya, dia mempertaruhkan dirinya di tempat terkutuk yang penuh dengan maksiat itu.
Zayn mengedarkan pandangannya tapi tak juga menemukan Citra. Rasa putus asa sudah menyelimuti dirinya hingga lirikan mata tidak sengaja tertuju pada seorang perempuan yang ia kenal sedang di tindih oleh seorang lelaki. Rasa lega dan amarah melebur jadi satu. Tanpa menunda ia bergegas berjalan menghampirinya.
“Jangan sentuh dia!” Zayn menarik pundak Rio agar menjauhi Citra yang sedang tidak sadarkan diri.
“Lo siapa?” tanya Rio meninggikan suaranya dengan tatapan menantang.
“Saya suaminya,” jawab Zayn hendak menggendong Citra.
“Lo mau bawa dia ke mana?” Rio menepis tangan Zayn.
“Saya mau bawa pulang istri saya.” Zayn masih menjawab dengan tenang.
“Asal lo tau, dia nikah karena terpaksa, gue ini pacar dia, lebih baik lo keluar dari sini!” tegas Rio menunjuk ke arah pintu keluar.
“Saya akan keluar dari sini dengan istri saya,” tegas Zayn. Emosi Rio semakin terpancing, dengan segera dia mengayunkan tinjuannya ke pipi Zayn.
Brukh …
Tubuh Zayn langsung jatuh ke belakang. Zayn memegang pipinya yang sudah biru di tambah lagi dengan sudut bibirnya terluka dan mengeluarkan darah sambil bangun dan tegap berdiri di depan Rio.
Rio semakin gelap mata dan hendak mengayunkan kembali tinjuannya, namun kali ini Zayn bisa menghindari Rio lalu memukul di persendian kaki hingga Rio terjatuh dan tak bisa lagi berdiri.
Perkelahian itu membuat orang-orang yang ada di sekitar menjerit, tak ayal Sisil dan Jono, kedua teman Citra.
“Ada apa ini?” Jono dan Citra membelah kerumunan. Sontak terkesiap saat melihat Rio tersungkur di lantai.
“Rio, cepat bangun!” Jono langsung memapah.
Zayn tak peduli dengan apa yang terjadi karena fokusnya hanya pada Citra. Dia segera mendekat.
“Lo siapa? Lepaskan dia!” Sisil menarik tangan Zayn.
“Saya ingin menjemput istri saya. Tolong, jangan halangi saya!” tegas Zayn menatap mereka semua. Lalu dia kembali menggendong Citra.
Sisil terperanjat saat melihat penampilan Zayn yang sama sekali tidak seperti yang diceritakan Citra. Penampilan Zayn sangat maskulin dengan kemeja hitam dan celana panjang. Itu semua karena sebelum masuk ke club, Zayn terlebih dahulu mengganti pakaiannya agar ia bisa masuk ke dalam club.
“Saya tegaskan sama kalian, mulai dari detik ini jangan pernah kalian mendekati istri saya lagi!” imbuh Zayn mendelik.
Tubuh mereka seketika menjadi gemetar. Aura yang di keluarkan Zayn sangat menakutkan. Bahkan tak ada satupun yang berani menahan Zayn membawa Citra keluar.
Ahmad yang sedari tadi merasa gelisah karena Zayn yang terlalu lama di dalam club, kini bahunya merosot lega kala melihat Zayn keluar dengan membawa Citra. Tapi matanya tertuju pada luka yang di dapati di pinggir bibir Zayn.
“Kenapa bibirnya, Ustadz?” tanya Ahmad mengernyit keningnya. Selama berada di samping Zayn, ia sama sekali tidak pernah melihat luka di wajah Zayn.
“Ada sedikit masalah di dalam. Tapi tidak apa-apa. Kamu tidak usah khawatir,” jawab Zayn sambil membaringkan tubuh Citra di kursi belakang mobil.
Ahmad melanjutkan kembali interogasinya di dalam mobil hingga tak terasa kini mereka sudah sampai di rumah.
“Saya gendong, Ustadz?” Ahmad terlebih dahulu menawarkan bantuan.
“Terima kasih, Ahmad. Tapi sekarang Mbak Citra sudah menjadi istri saya.” Zayn menggendong tubuh istrinya masuk ke dalam kamar.
Di baringkan di atas kasur dan detik kemudian Citra tanpa sandar siapa di depannya malah mengalungkan tangannya penuh penekanan hingga wajah keduanya berjarak hanya beberapa senti.
“Cium,” gumam Citra memayunkan bibir, sontak membuat Zayn terpaku—menarik napas beratnya.
“Duh, bisa khilaf ni. Tapi halal. Coba saja.”