“Astagfirullah.” Baru saja bisikan hawa nafsu mendorongnya untuk merasakan apa yang menjadi rasa penasarannya, mendadak harus buyar karena perempuan yang tidur nyenyak itu malah menyemburkan isi perutnya ke wajah suaminya.
Marah? Tidak, Zayn tak bisa marah karena semua yang terjadi bukan salah istrinya dan stok sabar pun masih cukup banyak.
Zayn bangkit membersihkan wajahnya lalu mulut Citra, detik kemudian tangannya berhenti ketika melihat leher dan bagian bawahnya juga keciprat noda muntah. Jantung Zayn sudah tak lagi tenang, apalagi matanya yang dulu menghindar tubuh perempuan malah disodorkan secara gratis ditambah label halal.
Zayn menahan napas lalu meneguk keras salivanya. “Allahu akbar. Cobaan-Mu.” Dia meringis. Memberanikan diri untuk membuka baju istrinya.
“Awas.” Citra menepis tangan Zayn lalu membalikkan tubuh.
Lantas Zayn menghela napasnya, lalu bangkit hendak membaringkan tubuh di lantai yang sudah diberi alas. Hanya sebentar karena Citra kembali mual. Dia bangkit lagi dan mengurus Citra.
“Apa semalam kamu seperti ini juga?”
Hati kecil Zayn merasa kasihan melihat kondisi Citra saat ini. Dia jadi memikirkan kondisi semalam yang ditinggal begitu saja di dalam kamarnya. Orang mabuk memang merepotkan, banyak negatifnya lalu untuk apa minum?
Masih duduk di pinggir kasur, tiba-tiba azan subuh berkumandang dan baru menyadarkan Zayn, bahwa pagi sudah datang dan dia belum memejamkan matanya.
“Mbak Citra, bangun!” Zayn menepuk tangan Citra dengan lembut. Andai belum azan dia akan membiarkan istrinya tetap menikmati tidur.
Bukan malah bangun, Citra malah membalikkan posisi tidurnya. Zayn meraih gelas yang berisi air, lalu memercikkan ke wajah Citra.
“Apa-apaan sih?” pekik Citra berdecak kesal sambil mengerjapkan matanya.
“Bangun, Mbak! Ini sudah subuh,” ucap Zayn masih betah dengan suaranya yang sangat lembut.
“Kalau mau shalat, shalat aja sendiri, nggak usah ngajak-ngajak gue,” cerocos Citra menarik selimut menutupi sekujur tubuhnya.
Zayn mengusap dadanya seraya beristigfar dan memohon ampun untuk Citra. Zayn kali ini harus menghadapi cobaan yang begitu besar dalam hidupnya. Impian menikahi wanita shaleha agar kelak bisa shalat berjamaah dan mengaji bersama seakan hanya menjadi angan-angan belaka. Zayn pun melangkah pergi meninggalkan Citra yang saat ini sedang menikmati tidurnya.
Meskipun banyak yang membenci dirinya karena termakan isu pernikahan mendadak atas dasar perzinaan tak membuat Zayn patah semangat, karena masih banyak orang yang masih percaya dengannya dan masih berharap Zayn bisa memberikan ilmu seperti biasanya kepada mereka.
Zayn dengan tenang berdiri di posisi imam, lalu mengangkat ke dua tangannya. Semua orang mengikuti gerakannya menghadap Tuhan yang satu.
Usai shalat subuh, jika biasanya ia selalu di sapa oleh para gadis, kini semuanya telah berbeda. Mereka hanya meliriknya dengan penuh tangis yang terpendam. Hati mereka terlanjur patah karena ijab kabul Zayn dengan Citra, sehingga tak ada peluang untuk mereka memiliki Zayn seutuhnya. Bahkan ketika Zayn tersenyum saja, mereka langsung berpaling dan bergegas pergi menjauh darinya.
“Sepertinya mereka patah hati, Ustadz,” ucap Ahmad melihat para gadis yang berlalu meninggalkan mereka.
Zayn terdiam, lalu beranjak pergi. Ahmad menoleh, melihat Zayn sudah tidak ada lagi di sampingnya, diapun berlari mengejarnya.
“Ustadz, kita sarapan di warung saja ya. Saya tidak membuatkan sarapan pagi ini … bahan makannya sudah habis,” ucap Ahmad menjajarkan langkahnya dengan Zayn.
“Kita beli saja. Kasihan mbak Citra sendirian di rumah.” Zayn melirik Ahmad sekilas, lalu fokus menatap ke depan sambil menebarkan senyuman pada warga yang berpapasan dengannya.
“Ustadz masih saja memikirkan mbak Citra itu … dia sangat menyusahkan kita, Ustadz,” cerocos Ahmad masih kesal jika mengingat kelakuan Citra.
“Sekarang dia sudah menjadi istri saya, Ahmad. Jika kamu membenci dia, berarti kamu membenci Saya.”
“Bukan itu, Ustadz. Saya sama sekali tidak pernah membenci Ustadz. Saya hanya kesal sama mbak Citra. Bahkan untuk shalat saja dia enggan melakukannya,” jelas Ahmad dengan nada panik takut menyinggung Zayn.
Zayn menghela napas beratnya. “Kita doakan supaya Allah memberikan hidayah untuk mbak Citra, ya!” kata Zayn sambil menepuk pundak Ahmad.
“Amin … semoga saja Allah segera memberikan hidayah untuk mbak Citra,” balas Ahmad menadahkan ke dua tangannya lalu mengusap pada wajahnya.
*
“Assalamu’alaikum.” Zayn dan Ahmad mengucap salam seraya masuk ke dalam rumahnya. Sudah menjadi kebiasaan mereka saat pulang selalu mengucap salam, baik ada yang menjawab atau tidak ada yang menjawab, mereka hanya berkeyakinan jika tidak ada manusia yang menjawab pasti ada malaikat yang menjawabnya.
“Kamu bawa makanan ke dapur! Saya panggilkan mbak Citra dulu,” titah Zayn. Ahmad menganggukkan kepala dan segera beranjak ke dapur, begitu juga dengan Zayn yang kini sudah pergi ke kamarnya.
Zayn membuka pintu dan melihat kamar masih sangat gelap. Dia langsung ke arah jendela untuk membuka gorden agar sinar matahari bisa masuk ke kamarnya. Citra malah mengerjap, lalu membalikkan posisinya memunggungi cahaya.
“Mbak Citra, bangun! Kita sarapan dulu.”
Suara Zayn yang lembut tak jua membangunkan Citra. Zayn tak ingin memaksakannya, dia pun langsung keluar, lalu menemui Ahmad yang ada di ruang makan.
“Pasti mbak Citra tidak mau bangun ‘kan, Ustadz.” Ahmad menduga saat Zayn hanya kembali seorang diri.
“Dia masih ngantuk.” Zayn menarik kursi duduk dengan tenang.
“Kalau begitu, kita lupakan dia, sebaiknya kita sarapan dulu.” Ahmad tak tertarik untuk membahas Citra. Perutnya sudah duluan meminta jatah makanan hingga dia menyerahkan sendok untuk Zayn.
“Kamu sarapan saja duluan … nanti saya sarapan bersama mbak Citra.” Zayn menerima sendok tapi bukan untuk digunakan buat makan melainkan diletakkan di atas piring.
“Ustadz akan kelaparan kalau terus menunggu mbak Citra … Lihat saja! Dia sama sekali tidak menunjukkan dia akan segera bangun,” ujar Ahmad menatapnya serius.
“Tidak apa-apa. Saya akan makan ketika dia sudah bangun.” Zayn mengakhiri obrolan singkatnya, lalu beranjak pergi.
Untuk mengisi waktu luang, Zayn duduk di kursi sambil membuka kitab. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengulang kembali apa yang telah dipelajari, agar tidak kelupaan. Ilmu itu ibarat pisau, semakin diasah semakin tajam, namun jika dibiarkan begitu saja lama kelamaan akan tumpul.
“Ustadz, tadi malam saya temukan ini di mobil.” Ahmad datang menyerahkan cincin pada Zayn.
“Milik mbak Citra kan?”
Zayn bergeming. Cincin emas putih dihiasi permata yang bersinar itu tampak begitu hidup dan cantik. Sudah lama tersimpan di dalam dompetnya dan kini beralih kepemilikan. Zayn memasangkan cincin itu di jari manis Citra, sebagai mahar.
“Ustadz?”
“Ah, Iya.” Zayn tersentak lalu tersenyum mengangguk pelan.
“Mbak Citra keterlaluan sekali. Untung cincinnya jatuh di mobil, coba kalau jatuh di tempat lain? … Allah, mbak Citra ini tak menghargai, padahal Ustadz sendiri rela menyerahkan cincin ini untuk dia sebagai mahar,” cerocos Ahmad memijat pelipisnya.
Lantas Zayn tersenyum kecil. “Jangan dibahas lagi! Mungkin saja cincinnya jatuh.”
Ahmad menarik napas dalam-dalam. “Saya masih berharap cincin itu kembali pada pemiliknya, bukan beralih kepemilikan.”