"Cie, ciee, deketin aja terus sampai jinak," kata Dini sambil menyenggolkan pundaknya ke pundakku. Dia lalu mengedip pada Naya yang sedang memasukkan satu batang cokelat ukuran sedang ke keranjang yang dibawanya.
Aku yang hendak meraih kemplang, mendelik pada Naya saat Naya melempar senyum menggoda padaku, lalu dia balas mengedip pada Dini.
"Enak aja! Siapa juga yang dekatin dia. Aku itu hanya kembaliin uang dia yang tadi aku pinjam," jelasku. Naya dan Andini saling balas mengedipkan mata menggoda, terlihat gak percaya pada perkataanku sama sekali. Emang mereka itu ya seperti itu, suka banget menggodaku.
"Masa aku kejar cowok? Hiii enggak banget. Enggak ada dalam sejarah Ayu kejar cowok duluan. Yang ada, cowok yang selalu mendekat padaku seperti tawon butuh madu."
Belum lama aku pindah ke UM, udah banyak aja cowok populer di kampus yang terang-terangan mendekati aku, ngajak kencan, ngajak makan, ngajak nonton. Teman-teman cowok di kelas pun begitu. Lagaknya bertanya tentang materi kuliah, tapi sebenarnya, hanya ingin bisa dekat denganku saja.
Selain dianugerahi wajah cantik bak bidadari juga tubuh aduhai menggoda melenggok seperti gitar spanyol yang membuat para cowok gak bisa nolak pesonaku, otakku juga cukup encer. Dulu, saat masih duduk di bangku SMA, aku selalu juara satu. Jadi, gak ada dalam sejarah aku mendekati cowok lebih dulu. Yang ada, aku itu selalu dikejar. Jadi, aku yakin banget Om Reyhan itu enggak normal alias kaum pelangi, suka sama jenisnya sendiri. Kalau dia itu normal, pasti tergoda, lah, sama aku. Paling gak seandainya dia udah punya cewek misalnya, minimal dia melirikku, lah. Tapi dia sama sekali gak ngelirik aku, jadi pasti dia kaum warna-warni.
Aku menatap ke arah kasir, Om Reyhan tengah mengulurkan uang pada si Mbak kasir. "Sayang banget ganteng-ganteng gak normal," gumamku, terlihat Om Reyhan melangkah keluar dengan menggandeng tangan Shelin.
"Ehemp, ganteng katanya Nay, ganteng." Dini mengedip pada Naya. Naya tersenyum menggodaku.
"Cie-cieeee." Sambil mata Naya mengedip -ngedip gak jelas banget.
"Ada apa dengan kalian berdua? Jangan bersikap seolah kalian gak tau bahwa aku udah punya Mas Ferdi tercinta."
"Siapa tau udah bosan sama Mas Ferdi," balas Dini.
"Enggaklah. Enak aja bilang aku udah bosan sama dia, aku itu cinta banget sama Mas Ferdi!" kataku.
Baik Naya maupun Dini senyam-senyum. Untung saja mereka gak tau siapa Mas Ferdi sebenarnya, kalau sampai tahu, bisa-bisa Dini dan Naya jadi seperti Lila, gak lelah nyuruh aku akhiri hubungan dengan Mas Ferdi.
Daripada terus digoda oleh mereka, aku memilih melangkah pergi, menyusuri rak berisi aneka jajanan, menatap jajanan di hadapanku sambil sesekali meraih yang ingin kubeli, memasukkannya ke keranjang.
Aku menghela napas panjang saat teringat kejadian tadi, di mana Mas Ferdi langsung bangkit berdiri, buru-buru mengajakku pulang setelah mengakhiri panggilan telepon dengan Ana.
Gak cinta, tapi begitu peduli! kata hatiku dengan kesal. Teringat kejadian tadi perasaanku seketika muram. Awas saja jika dalam satu Minggu kamu gak melamarku, Mas! Aku bakal minta putus. Aku gak suka terus terombang-ambing ketidakpastian seperti ini.
Aku mengembuskan napas, mengusap air mata yang tahu-tahu sudah jatuh di pipiku karena merasa Mas Ferdi hanya mempermainkanku lalu aku mendekati minuman dingin. Aku memasukkan beberapa dan membawa belanjaanku menuju kasir. Tak lama kemudian, Dini, Naya dan Lila menyusul. Setelah membayar, kami melangkah beriringan keluar dari Candra.
Aku melajukan mobil keluar dari area Chandra begitu teman-temanku masuk ke mobil.
"Halo?" ucap Andini. Dari spion dalam, kulihat temanku itu memandang layar HPnya, pasti sedang vidioan.
"Ini baru keluar dari Chandra sama Naya, Ayu dan Lila, Kak. Kenapa? Emp ... tar aku tanyain pada mereka mau apa gak. Oke, tar kalau pada mau, aku langsung otw ke situ."
"Telepon dari siapa, Din?" tanyaku.
"Ini lho, Kak Rama. Nyuruh kita ke warung Padang buat bantuin bawain makanan ke pelanggan. Ada pelanggan yang ulang tahun, dia mentraktir siapa pun orang yang lewat. Jadi warung rame banget. Kak Rama nyuruh kita buat bantuin. Nay, Lil, mau bantuin Kakak aku gak, nih?"
"Aku itu hawanya tegang kalau didekat Pak Dosen, Din," sahut Naya dengan wajah ngeri.
"Iih segitunya kamu, Nay. Tenang aja, Kakak aku gak mungkin gigit kamu, kok. Mau ya, Nay? Lil? Yu?"
"Aku itu males banget bertemu Mbak Yana. Dia itu kalau liat aku seperti liat musuh," jawabku.
"Perasaanmu aja kali, Yu. Yana baik, kok," kata Naya dengan cepat. Mbak Yana cukup dekat dengan Naya, satu kelas yang sama dengan Naya, Dini, juga Andika saudara kembar Dini. Andika dan Dini adalah adik Mas Rama.
"Ke sana pokoknya, bantuin! Biar bagaimanapun kamu kamu pernah tinggal di rumah Kak Rama, Yu. Hitung-hitung balas jasa, lah. Bener gak, Nay?"
"Bener."
"Aku anterin kalian aja, deh. Habis itu, aku langsung pulang."
"Kalau kamu begini, Yana bisa-bisa berpikir bahwa kamu memang suka sama Kak Rama, Yu."
"Ngawur kamu, Din. Aku itu kan hanya suka Mas Ferdi."
"Makanya itu, ikut ke warung Padang lalu tunjukin pada Yana kalau kamu gak suka sama Kak Rama. Yana terus berpikir kalau, kamu pacaran dengan Mas Ferdi hanya untuk pelarian saja."
"Ngaco tuh pikirannya Mbak Yana."
"Makannya kamu harus bersikap biasa aja seperti sebelumnya. Kalau kamu menghindar, Yana akan semakin berpikir bahwa kamu beneran suka pada Kak Rama."
"Baiklah aku ikut!" jawabku dengan kesal. Belum-belum, aku udah jengkel mau bertemu dengan Mbak Yana. Masih kuingat jelas perkataannya, dengan wajah tak senang dan penuh kecemburuan dia bilang bahwa aku sengaja menggoda Mas Rama. Asal ngomong saja. Aku sama sekali gak suka pada Mas Rama. Dosen di kampus Dini dan Naya itu hanya kuanggap sebagai mantan kakak iparku saja, gak lebih.
"Aku gak bisa ikut, Din. Aku itu kalau di dekat Pak Rama Ardiansyah, jantungku seperti mau lompat aja. Sumpah bikin tegang dan deg-degan. Mendingan aku turun di sini saja," kata Naya.
"Tenang aja, Kak Rama gak mungkin makan kamu kok."
"Enggak, ah, Din, aku turun sini aja, Yu. Stop! Berhenti!"
"Yah, Na-yaaaa." Dini cemberut saat aku menghentikan mobil, Naya membuka pintu dan turun.
"Udah gak usah cemberut. Nanti ke kamarku, aku buatin kue yang enak."
"Awas kalau enggak," ucap Dini akhirnya.
"Tenang aja, pasti kubuatin."
"Aku juga mau, dooong," kata Lila.
"Siap, kalian semua tinggal ke kamarku aja. Udah, sana pergi. Aku mau pesan gojek."
"Minta jemput Andika aja ngapa, Yan? Dia pasti mau jemput." Usul Dini.
"Hii, ogah," sahut Naya terlihat bergidik.
"Yaudah kalau gitu kami duluan," kataku.
Naya mengangguk. Aku pun melajukan mobil menuju warung Padang di bibir jalan. Terlihat warung Padang sangat ramai oleh orang-orang yang berdiri memgantre, ada juga yang duduk sedang makan sambil sesekali berbincang. Aku, Dini juga Lila menuju dapur lewat pintu samping. Terlihat dua karyawan Kak Rama sedang memasak. Mbak Yana, Kak Rama juga Om Reyhan duduk lesehan di lantai dengan nasi juga aneka laut di tengah-tengah, mereka sedang memasukkan nasi juga rendang ke sterefoam. Kak Rama yang tadinya menunduk, kini mengangkat wajah.
"Dini, ajak teman kamu ke depan untuk membantu di depan. Ayu, kamu bantu di sini. Daripada mereka terlalu lama mengantri, lebih baik dibukungkuskan begini. Nanti setelah banyak baru dibagikan."
"Oke, Kak," sahut Dini. "Ayo, Lil," ajaknya. Lila mengangguk, segera saja dia mengikuti Dini.
Daripada aku duduk di samping Mas Rama yang bisa membuat Mbak Yana berpikir aneh-aneh, aku memilih duduk di samping Om Reyhan saja. Aku mengambil sterefoam yang sudah diberi kertas nasi lalu mulai memasukkan sendok menggunakan centong yang kupegang.
"Shelin mana, Mas?" tanyaku untuk mengusir canggung.
"Ada di depan," sahut Mbak Yana.
"Oh. Aku gak ngeliat soalnya."
Mbak Yana memandangku, lalu dia ganti memandang suaminya yang juga sedang memandangku.
"Tatap aja terus." Tatapannya pada Mas Rama terlihat jengkel.
Tuuh, kan, bener dugaanku, pasti selalu sensi kalau liat aku.
"Orang ingin natap masa gak boleh, Mbak? Tenang aja, aku gak suka sama suami Mbak. Aku punya pacar."
"Maaf ya, Yu? Istri Mas memang sensitif akhir-akhir ini. Oh ya, bagaimana kuliahmu?" tanya Mas Rama, satu tangannya merangkul pundak Mbak Yana, tapi hanya sebentar saja karena Mbak Yana menurunkan tangannya.
"Ya begitulah," sahutku sambil memandang Mbak Yana, wajahnya bete banget. Dia kalau ngeliat aku memang selalu begitu.
"Aku ke dalam dulu, Kak. Ngantuk banget." Mbak Yana berdiri, dengan cepat melangkah menuju kamar.
"Sebentar Rey, aku susul istriku dulu." Mas Rama memandangku. "Kamu jangan pergi dulu, Yu, ada yang mau Mas bicarakan."
Kuanggukkan kepala.
"Jangan lama-lama," kata Om Reyhan.
"Tenang saja," sahut Mas Rama sambil lalu, dia membuka pintu tak jauh dari kami dan masuk.
Hening.
Aku memasukkan nasi sambil sebentar-sebentar mencuri tatap pada Om Reyhan. Ini seriusan, nih, aku diabaikan olehnya? Tatap, kek. Cewek cantik begini disia-siakan. Hmm
"Sepertinya, Om dan Mas Rama cukup dekat," kataku memecah hening.
"Tentu saja, kami masih saudara."
Aku mengangguk-angguk. "Oh, gitu."
"Iya."
"Oh," kataku lagi.
Hening.
Aku memperhatikannya yang terus menunduk.
"Om?"
"Ya?" Dia menatapku sekilas saja.
"Gak papa. Hanya ingin panggil."
Dia kembali menatap sterefoam di tangannya. Mengisi dengan nasi, rendang, sambal hijau. Heran, dia sama sekali gak tertarik menatapku. Ini pertama kalinya ada lelaki abay di dekatku, biasanya, pasti akan mengajakku ngobrol sambil curi-curi tatap.
"Om?"
Dia diam saja.
"Om?"
Yang kupanggil terus diam. Heran aku pada Mas Rama, bisa-bisanya meninggalkanku berdua saja dengan orang gak normal. Aku jadi penasaran, seandainya aku menyingkap androkku, dia akan bereaksi gak, ya? Beneran penasaran, aku.
Karena rasa penasaranku semakin menggebu-gebu ingin membuktikan dia itu normal apa gak, aku akhirnya menyelonjorkan kaki, lalu menyingkap androkku hingga sebatas paha.
"Om? Lihat sini, Om."
Om Reyhan menatap ke arahku, satu tangannya langsung bergerak menyentuh d**a.
"Astaghfirullah hal adzim. Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa naum."
Mataku membola karena kelakuannya. Bisa-bisanya dia baca ayat kursi, emang dia pikir aku setan, apa?!