Episode 1

954 Kata
Hana mendesah sebal ketika sandalnya copot di tengah jalan. Padahal rumahnya masih jauh. Mamah, sih, menyuruh anak gadisnya jalan sendirian gini. Mana sedang lucu-lucunya, bagaimana kalau ada yang menculik? Hana memutuskan untuk duduk di pinggir jalan sambil membuka minuman ringan yang barusan ia beli di minimarket depan sambil melaksanakan tugas membeli deterjen dan tektekbengek yang mamanya suruh. Sesekali ia menggerutu karena kakinya memar akibat dari keseleo yang mengakibatkan sandalnya copot. "Yah, bengkak." Hana merengut sebal. Lantas ia merogoh saku, mencari ponsel. Tapi, tak ada. Ia lupa bahwa ponselnya sedang di-charger tadi. Ah, sekarang harus bagaimana? "Masih jauh. Bakal kuat gak, ya, kira-kira?" monolognya lemas sambil celingu7kan kanan-kiri berharap ada seseorang yang dikenal lewat. Panas, kaki memar, nyeker. Astaga, lengkap sekali penderitaan Hana saat ini. Sepinya jalan membuat penderitaan Hana semakin sempurna. Tidak ada orang yang bisa ia mintai tolong. "Sumpah, ya. Setelah ini gue harus minta uang jajan naik! Gila, gue semenderita ini sendirian." Hana melanjutkan perjalanan dengan kaki yang sedikit pincang. Ia sudah memasuki jalan komplek, tapi tetap saja ini masih jauh! Argh, jadi ingin cepat-cepat masuk sekolah. Ada di rumah dalam posisi liburan membuatnya kesal karena Nina, mamanya, tak henti menyuruhnya itu dan ini. Hana tidak punya alasan menolak tentunya. Beda dengan ketika sekolah, Hana bisa beralibi kalau ia lelah dan butuh istirahat. Hana anak durhaka? Tidak, kok. Hanya saja Hana memang sudah ditakdirkan menjadi manusia paling pemalas di seluruh dunia. Cuaca benar-benar panas sehingga rasanya ingin sekali Hana menceburkan diri ke dalam kolam dan berendam selama berjam-jam, sepertinya sangat nikmat. Atau berendam di dalam bathtube seraya menyeruput es jeruk yang segar ditemani musik lembut. Ah, membayangkannya saja membuat Hana gembira. Hingga... tit tit! "Woy, s****n!" Hana memekik refleks. Ia kaget. Manusia mana yang barusan menginterupsi khayalannya sampai Hana jatuh terjerembab di atas aspal? "Kamu gak apa-apa?" Suara lembut itu menyapa gendang telinga Hana. Hana lantas mendongak, hendak memaki Sang Empunya, tetapi urung. Ya, urung karena Hana berpikir ia mati jantungan barusan. Secara, pemuda yang kini berada beberapa senti di depannya amat tampan. Saking tampannya sampai terasa tidak manusiawi, jadi Hana pikir ia malaikat atau sejenisnya. Lihatlah, betapa sempurnanya pahatan wajah pemuda tersebut. Rahang tegas yang jantan, dagu lancip, bibir berwarna ceri, hidung yang kokoh dan mancungnya seperti perosotan, juga bentuk matanya yang memancarkan tatapan polos. Hana yakin, Tuhan tengah tersenyum ketika menciptakan sosok ini. "Hei, kamu gak apa-apa?" Kembali, suara itu mengalun merdu di gendang telinga Hana. Astaga dragon. Mama, Hana meninggal, ya? Atau lagi mau dicabut nyawa? Tapi, kok, malaikatnya ganteng? "Eh? Apa?" Hana seketika sadar ketika pria berambut cokelat yang berjongkok di depannya menyentil dahi Hana sehingga menimbulkan rasa sakit yang membuat Hana berjengit dan sadar dari ketololannya. Hana mengerjap, masih bingung dengan statusnya sekarang. Apakah masih hidup, atau sudah mati. Bingung juga, makhluk di depannya manusia, malaikat atau dewa? Tapi, embusan napasnya kerasa di wajah Hana. Mungkinkah, doi manusia? "Saya tanya, kamu gak apa-apa?" Ebuset, jadi ketus. Kesal kali ya, dengan kelemotan otak Hana yang sudah kronis? Hana meringis sesaat setelah sadar bahwa kakinya kembali sakit. Lebih sakit dari sebelumnya. "Aw! Kaki, kaki gue--huaaa! Kenapa makin bengkak?" Tiba-tiba Hana berteriak histeris sambil mengipasi kakinya dengan telapak tangan. Tidak tahu faedahnya apa melakukan hal itu. "Tanggung jawab gak lo? Tanggung jawab! Kaki gue. Huaaa, Mama!" Hana meraung-raung sambil memukuli pemuda di depannya. Yah, bisa ditebak. Pemuda itu seketika rolling eyes. Lebay memang si Hana. "Jangan nangis. Malu sama orang. Nanti nyangkanya saya ngapa-ngapain kamu." "Tapi, tapi kaki gu--huaa!" Lagi. Hana menangis tidak tahu malu. Untung saja jalanan sepi. "Astaga. Saya antar kamu pulang tapi please, jangan nangis!" panik pemuda itu karena tangisan Hana semakin kencang. Pasti mimpi buruk baginya bertemu makhluk sejenis Hana. Lalu Hana dengan otak piciknya tersenyum miring. Dia mengulurkan tangan, minta dibantu berdiri. Pemuda itu menurut saja. Pikirnya mungkin akan lebih berabe kalau Hana menangis lagi. Hana duduk di belakang pemuda tersebut yang sudah menyalakan mesin motornya. Diam-diam dia memegang ujung jaketnya pelan. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar keras. Sangat keras hingga pipinya merona. Sayangnya, momen itu berlangsung singkat karena kurang dari lima menit mereka sudah sampai di depan rumah Hana. "Gak mau bantuin masuk?" Hana bertanya polos ketika turun. Bisa-bisanya juga dia membuat mimik kesakitan seperti itu. Meski kalau boleh jujur, aktingnya sangat buruk. Pemuda itu juga pasti menyadari bahwa Hana pura-pura, tetapi dia tetap menuruti permintaan Hana. Baik sekali. Hana lagi-lagi tersenyum lebar saat tangannya digenggam pemuda itu dan menuntunnya masuk. Dia benar-benar terpesona dengan begitu tampannya cowok itu. Tak hanya tampan, tapi proporsi tubuhnya pun sangat sempurna. Tinggi, tidak kurus dan tidak terlalu berisi, pundaknya sangat lebar meski Hana yakin usia mereka tidak berbeda jauh. Yang lebih penting, genggaman tangannya sangat hangat. Hana pastikan tidak akan mencuci tangannya selama tiga hari tiga malam setelah ini. Baiklah. Sealay itu memang seorang Hanata Keilandra, saking tidak pernah berpacaran dengan cowok ganteng. Atau memang belum pernah pacaran? Ya, tepatnya begitu. "Oke. Sudah sampai," ucap cowok itu. Tidak ada senyumnya sama sekali. Untung cakep, batin Hana. Segera setelah cowok itu hendak berlalu, Hana memanggil. "Hey--eh, anu..., nama?" tanyanya. Cowok itu hanya menatap Hana selama beberapa detik, kemudian memutuskan kembali berjalan tanpa berniat menjawab pertanyaan Hana. Dia bahkan tidak menoleh sekali pun setelah kepergiannya. Benar-benar. Hana menghela napas dalam. Lalu beberapa detik berikutnya... "HUA! Malu banget. Gue apa-apaan, sih? Gak tahu malu banget!" Dia blingsatan sendiri di depan pintu. Sudah lupa dengan kakinya yang sakit. "Tapi dia ganteng banget, gimana, dong? Huaaa!" Dug. Dan bantal sofa tiba-tiba mendarat di kepalanya dengan keras. "Kak Yovie, gak sopan!" teriak Hana saat tahu siapa oknum yang melempar bantal padanya. Ternyata sang kakak. "Makanya jangan berisik, bantet!" Dan perang antar adik dan kakak itu pun dimulai seperti hari-hari biasanya sampai sang Mama datang dengan sebuah centong nasi dan menggetok kepala anaknya satu-satu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN