Ibas memilih tidak mengusai bola itu untuknya, justru ia melemparnya kembali ke arah Dika yang memang tidak dijaga siapapun karena dianggap mahluk paling lemah disini.
Tapi perkiraan mereka salah, sang tuan muda nyatanya telah banyak menguasai beberapa permainan, bahkan sewaktu SMP ia adalah center di grup basket bentukannya.
Dika melakukan long shot tanpa perlu berfikir lagi, dan hasilnya sangat tidak mengecewakan. Suara priwitan wasit melegakan perasaan tim Rian.
***
Rian berjalan ke ruang istirahat, tangannya menghapus keringatnya dengan handuk, sambil mulutnya menenggak infus water yang ia bawa ke lapangan basket.
"Rian," panggil Afika, sambil tersenyum
"Aku bawain kamu ini," ucapnya seraya menyerahkan minuman dingin yang ia buat sendiri khusus Rian.
"Gak usah, gue udah ada ini." Tolak Rian
"Rian tunggu," rengek Afika, menatap Rian memelas. Rian berbalik, baru menyadari kalau Afika mengganti cara berdandannya seperti Dinda, teman masa lalu Rian. Dan itu membuat Rian muak.
Alasan mengapa ia berakhir disini tak lain karena kebodohan yang Dinda perbuat sampai Rian harus menanggung rasa bersalah itu sepanjang hidupnya.
Ia Terkenang kejadian waktu itu...
Di tengah derasnya hujan, Rian berlari seolah membelah rintik demi rintik yang turun membasahi jalan.
Saat itu usianya masih tujuh belas tahun dan ia masih duduk di kelas dua SMA Pelita harapan.
"Rian," panggil Dinda teman sekelasnya. Setidaknya Rian cukup dekat dengan Dinda sejak mereka sama-sama masuk sekolah ini. Itu artinya persahabatan mereka terjalin kurang lebih dua tahun ini.
Jika Rian menganggap Dinda adalah teman wanita yang bisa diajak ngobrol, tapi beda dengan gadis itu. Ia fikir selama ini ia sedang PDKT sama Rian.
Bahkan Dinda tak segan mengatakan dan mengukuhkan jika Rian adalah kekasihnya di depan gadis lain.
Rian jadi menunggu Dinda yang membawa payung berwarna kuning cerah, meski sebenarnya dirinya lagi mengejar waktu.
"Tumben,ya ujan," tanggap Rian saat Dinda sudah dekat.
"Rian kamu gimana sih, ini,'kan bulan desember. Yah pastinya lagi musim hujanlah. Makanya kamu bawa payung. Jadi gak ujan-ujanan kayak ginikan." Saran Dinda dan Rian hanya tertawa.
"Masa sih, kalau bulan desember musim hujan, baru tau," gerutu Rian.
"Dasar gak peka!" cicit Dinda seraya menyiku lengan Rian, tatapannya begitu mendamba ke seorang pemuda yang kini tengah berjalan beriringan dengannya.
'Aku beruntung karena tadi membeli payung ini segera sewaktu aku lihat kamu berlari di derasnya hujan, dan sekarang aku bisa berduaan denganmu. Aku berharap air langit ini tidak pernah berhenti turun, memberikan kita ruang menciptakan kenangan kita bersama.' bathin sang gadis bermonolog
"Kenapa lo liatin gue gitu?" tanya Rian
Dinda menghentikan langkahnya berbarengan dengan Rian.
"Aku suka sama kamu, Rian. Kamu juga suka,'kan sama aku?" tanyanya begitu saja.
"Hhaah. Apa?!"
"Aku suka sama kamu Rian!" ulang Dinda.
Rian terlongo. Tidak berusaha menjawab. Pemuda itu sedang menanyakan sisi hatinya. Apa ia menyukai Dinda, gadis lemah lembut serta kalem itu?!
Sayang, Rian sama sekali tidak merasakan apapun. Ia hanya menyukai Dinda sebagai teman dan gak lebih.
"Sorry, Din!" katanya sedikit menjauh dari tudung payung.
Walau hujan kembali membasahi wajahnya. Tapi Rian bisa melihat raut kekecewaan di mata Dinda.
"Kamu gak suka sama aku?!" lirih Dinda menekan Rian. Rian menggeleng dan itu semakin membuat Dinda merasa hilang arah.
"Gue gak pernah berfikir kalau kita bakalan punya hubungan lebih dari sekedar teman." Jelas Rian hati-hati.
Walau begitu tetap saja tiba-tiba ia merasa jadi orang paling jahat.
Untuk itu Rian berbalik badan. Berniat pergi melanjutkan perjalanan pulangnya.
Di hari naas yang tidak pernah ia sadari. Seperkian detik Rian memunggungi Dinda. Dinda berlari ke tengah jalan merentangkan tangannya disambut oleh truk gandeng bermuatan penuh menyapa tubuhnya.
"Ahhkk," Terdengar suara ban berdecit di iringi teriakkan dan hentakkan tubuh membentur kap mobil.
Rian berbalik. Matanya melotot, sedang otaknya berusaha mencerna. Tubuh siapa yang tadi melintas di depan truk bahkan kucuran darah masih menempel di jalan dan bagian kap depan truk. Dari kejauhan terlihat sosok Dinda. ia melirik ke samping. Betul tak gak ada gadis itu lagi disisinya. Jadi yang di depan truk itu adalah Dinda. Rian menangkup mulutnya. Kakinya seakan di beton sampai tidak bisa segera melihat kondisi Dinda saat itu. Tubuhnya bergetar, Ia tidak pernah terfikir keputusaannya menolak Dinda di tengah jalan berakhir ke-nekat-an gadis itu.
Riuh manusia dengan cepat hadir. Menontoni mayat Dinda yang tergeletak begitu saja.
Hanya Rian yang berdiri di ujung. Dengan semua tanya, di sertai rasa bersalahnya.
"Dinda!"
"Dinda!" teriaknya kuat. Sangat kuat!
"Eh, Rian kenapa?!" tanya yang lainnya. Langsung tertuju menatap Rian. Perasaannya yang gugup dan shock membuat Rian gak bisa bilang apa-apa ketika banyak yang menanyai-nya. Tetapi dari wajah paniknya semua orang tau kalau Rian ada disaat kejadian itu. Dan menurut kabar yang beredar. Dinda memang menyukai Rian. Jadi semua orang menarik kesimpulan ini terjadi karena mereka terlibat adu mulut sebelum kematian Dinda.
Rian dibawa ke ruang Kepala Sekolah untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Nyatanya semua hanya isapan jempol. Ia di hadapi dengan sejumlah guru. Dan diintrogasi dengan tatapan tak bersahabat. Rian merasa dirinya ciut diberondol segala macam pertanyaan yang membuat kepalanya pusing.
Bahkan ia tidak sadar sudah bicara apa saja. Ia hanya ingat, dirinya merasa terpojok menjadi kerdil di sudut ruang.
Jika ini yang di namakan tekanan. Yah, Rian merasa tertekan. Apalagi saat keluar semua orang melihatnya dengan sinis. Apa salahnya. Itu pertanyaan batinnya. Ia hanya mengungkapkan kata penolakan. Dan seharusnya ia berhak. Tidak perlu mereka saling menyalahkan. Bukankah kematian telah ditakdirkan waktunya bagaimanapun caranya seseorang itu pergi.
Tapi Rian juga tidak bisa membela diri secara lantang. Apalagi keluarga Dinda yang baru datang menatap nyalang ke arah Rian.
Ada juga Robby. Yah, Robby sepupu Dinda yang terlihat sangat marah
"Lihat aja Lo Rian. Lo gak akan pernah merasa bebas. Lo akan menanggung akibat kematian Dinda selama hidup lo!" bisiknya di telinga Rian.
Setelah kejadian itu. Sekolah menjadi momok yang menegangkan baginya. Dan Rian jadi larut dalam kesendiran, dalam penyesalan diam-diamnya. Menjadi topik pembicaraan jika ia lelaki yang keji, jahat bahkan pembunuh sudah puas disandang olehnya.
Berakhir ketika ia tidak tahan lagi. Rian memutuskan pindah sekolah supaya bisa mencapai ketenangan batinnya. Karena ia pindah sebelum ujian sekolah jadinya Rian menunggu beberapa bulan di rumah lalu kembali mengulang kelas duanya. Dan sampainya ia di Pemuda bangsa. Rian bukannya semakin tenang. Tapi ia malah di hadapi dengan musuh nyatanya yaitu Robby.
Ahhkk, Ia memang tidak bisa lari dari masalah. Karena itu Rian memutuskan menghadapinya.