BUKAN MENGELAK, TAPI …

1208 Kata
“Saya sudah pesan makan Kak, jadi kayaknya nggak bisa deh,” tolak Lingga. “Kalau pesan di mama kan bisa kita batalin, atau kita makan di situ saja bareng,” kata Adit. Hari ini dia sengaja ke day care untuk mengajak Lingga makan siang bersama. “Enggak Kak, kami tadi lagi kepengen makan gado-gado ulek seberang jalan. Tadi semua pada pesan. Jadi saya ikutan pesan. Maaf ya Kak.” kata Lingga sopan. “Ya sudah kalau begitu nanti malam kita makan malam ya,” ajak Adit lagi dia tetap nggak mau mengalah. “Wah nggak bisa Kak. Besok saya akan ujian. Jadi malam ini saya akan belajar dengan serius. Walau saya sudah inget sih beberapa part, cuma ya tetap harus belajar serius lah. Namanya saya besok ujian,” elak Lingga selanjutnya. “Kamu kayaknya mengelak terus ya. Kamu menghindar terus,” tuduh Adit. “Enggak juga sih Kak. Cuma memang timingnya enggak tepat. Kalau tadi Kakak datang sebelum saya pesan makan, mungkin saya bisa kan makan bereng Kakak. Timingnya yang enggak tepat. Kecuali kalau saya menolak saat Kakak sudah datang saya baru bilang sama anak-anak saya ikutan pesan makan.” “Ini kan enggak, ini orangnya sudah jalan beli, Kakak baru datang. Kan berarti saya nggak ngehindar atau nolak bahkan mengada-ada,” jawab Lingga. “Dan ini jadwal ujian saya. Saya nggak pernah bohong kok. Saya besok memang ujian,” ucap Lingga memperlihatkan buku catatannya. “Berarti habis jam 01.00 besok kamu kosong dong,” desak Adit melihat catatan itu. “Ini jadwal diskusi saya Kak. Kami mulai jam dua sampai jam lima. Nggak ada waktu kosong. Habis itu malam saya butuh istirahat. Seharian sudah full kuliah mikir dan diskusi, saya nggak mau keluar atau terima tamu. Saya mau istirahat,” kata Lingga menyodorkan jadwal diskusinya. “Susah banget sih ngedate sama kamu,” keluh Adit. “Sebaiknya Kakak cari teman kencan lain saja. Kalau buat ngedate kayaknya bukan saya orangnya.” Tentu saja Adit merasa Lingga memang menghindarinya dengan beribu alasan. Adit keluar dengan gontai. Dia tak menyangka ngejar Lingga itu sulit. Lusa Adit harus berangkat ke Surabaya. Maksudnya sebelum berangkat setidaknya dia refreshing dengan Lingga. Ternyata yang mau diajak refreshing tidak bisa menemani. ≈≈≈≈≈ “Kok saya dipindah Pak Davi?” protes Farah begitu mendapat surat mutasi dari Davi. “Kalau nggak mau di mutasi, kamu resign saja. Saya masih baik hati loh kasih kamu mutasi,” ujar Davi. Davi memang memindah Farah ke bagian administrasi marketing sehingga tidak mengganggu kinerja Kusnadi. Kusnadi akan dibiarkan sendirian kembali membantu Hessa. Dulu dari tugas sebagai sekretaris Tiara kan Farah memang belum ada SK mutasi ke divisi Kusnadi. Jadi sekarang memang yang sah kalau dari divisi Tiara dipindah ke divisi marketing, karena waktu itu ditarik ke divisi Kusnadi hanya sementara tanpa SK. Tentu saja Farah tidak mau bila harus resign. Setidaknya walaupun tidak dalam ruangan yang sama dengan Hessa dia pasti bisa melihat pujaan hatinya itu. Farah mulai menyukai Hessa ketika Hessa sering berdiskusi dengan Tiara. Dulu Farah sempat bertanya pada Tiara apakah Tiara suka sama Hessa. Tiara bilang tidak, itu sebabnya Farah ingin dia maju, karena tidak akan bersaing dengan Tiara. Kala itu dia tidak tahu kalau Tiara penyuka sesama jenis. ≈≈≈≈≈ “Benar seperti dugaanmu, Farah dipindah ke divisi marketing,” kata Kusnadi saat istirahat makan siang. “Jadi kamu sendirian kembali seperti yang lama?” tanya Widuri. “Enggak, aku nggak sendirian. Aku berdua dengan seorang ibu. Entah kenapa tapi kayaknya ibu itu bukan yang kedua deh. Aku yang kedua. Entahlah pokoknya Pak Hessa masukin ibu itu untuk jadi sekretaris dua atau sekretaris baru satu. Pokoknya penggantinya Farah.” “Ya sudah yang penting kamu aman. Nggak bikin ribut. Ingat jangan sampai kamu kena kasus lagi. Apa yang dikatakan sama Pak Hessa kamu dengar,” Widuri mengingatkan temannya itu. “Iyalah. Nggak akan lagi aku mengulangi kesalahan yang sama. Pengen dapat SP2 memangnya kalau sampai salah lagi?” kata Kusnadi. Mereka makan bersama, karena Widuri harus gantian jadi makanya harus cepat-cepat walau tetap sama-sama 1 jam istirahat. Tapi tadi mereka makan sudah setengah satu. Istirahat Kusnadi sudah berjalan setengah jam sedang istirahat Widuri baru mulai karena tadi Widuri masih ada tamu lebih dulu. Widuri akan istirahat sampai jam setengah dua, sedang Kusnadi hanya sampai jam satu saja. Saat itulah Farah masuk untuk makan siang. “Kamu bikin laporan apa sehingga aku di oper ke bagian marketing?” tuduh Farah pada Kusnadi. “Kenapa jadi saya kan yang minta kamu di oper? Yang maksa makanan itu kamu bawa ke pak Hessa saya berikan siapa? Karena hal itu lalu saya dapat SP! Kenapa kamu malah nuduh saya?” teriak Kusnadi. “Saya yang korban bujukan kamu sehingga saya dapat SP, lalu kamu teriak saya lapor sama Pak Hessa? Waras dikit dong,” pekik Kusnadi karena kesal dituduh melakukan hal yang tak dia kerjakan. Tentu saja itu membuat beberapa orang yang makan di situ menengok pada mereka. “Kamu yang bikin saya kena SP. Buat apa saya ngadu? Sudah jelas-jelas kok memang kamu yang minta makanan itu supaya kamu bisa mendekati Pak Hessa!” tentu saja omongan Kusnadi itu membuat denggung tawon terdengar di ruangan itu. “Huuuuuuuuuuuuuuuu ….” kata beberapa orang. “Pengen yang mapan ya? Pengen yang langsung bisa dicaplok kayak ikan, jadi tenang masa depannya gitu?” kata beberapa orang. “Sekretaris model gitu sih sudah ketahuan lah sama siapa pun ngangkang. Yang penting dia dapat cuan, biar jadi simpenan dia pasti mau,” kata beberapa orang langsung mendiskredit Farah. “Bisa jadi seperti itu. Yang penting duit ngalir terus jadi ATM.” Tentu saja mendapat perlakuan seperti itu Farah jadi kesal sendiri akhirnya dia membatalkan makan siang kala itu. “Kok kamu jadi emosi gitu sih?” tegur Widuri. “Siapa yang nggak emosi kalau dia malah nyalahin aku padahal kan aku korban gara-gara dia minta merengek-rengek bawa masuk makanan Pak Hessa. Jadi aku kena SP. Kenapa aku yang disalahin seakan-akan aku penyebab dia dimutasi,” ucap Kusnadi masih dengan nada kesal. “Begitu orang-orang ngomong katanya aku ngasih ke dia karena aku naksir dia. Yang nggak-nggak saja. Sejak awal aku nggak pernah naksir dia karena kelihatan kok dia itu matre.” “Mana mau sama orang miskin kayak aku? Aku kalau suruh ngidupin perempuan matre nggak deh. Yang ada aku bengek sendiri harus jungkir balik cari duit buat kebutuhan dia. Sedang dia nggak peduli sama aku.” Widuri tersenyum manis mendengar kata-kata Kusnadi yang memang biasa kalau orang yang terbatas ekonominya harus ngidupin perempuan matre tentu akan sangat kelimpungan. Bahkan orang yang berlebih pun pasti juga akan kelimpungan karena perempuan matre itu kan nggak punya batas limit untuk ngerem keinginannya. “Ya sudah ayo, waktu aku sudah habis. Kamu sih enak masih banyak waktu setengah jam lagi,” kata Kusnadi. “Apa kamu aku tinggal saja ya. Yang penting semua makanan sudah kita bayar,” usul Kusnadi. “Enggak lah. Aku bareng saja,” jawab Widuri. “Tapi kan istirahatmu masih setengah jam lagi. Sayang lah lebih baik kamu di sini atau di tempat lain.” “Enggak apa-apa, sama juga di meja kerjaku juga sama saja,” kata Widuri. “Resepsionis kalau lagi padat ya padat kerjaannya kalau nggak kan juga santai nggak apa-apa buat aku,” jawab gadis manis itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN