”Mbak Lingga, ayo tidur bersama saya, karena di sini hanya ada dua kamar. Yang lainnya laki-laki biar tidur di luar. Ini hanya ada beberapa tikar dan tumpukan sarung buat penghangat. Maaf kondisinya seperti ini kata,” Bu Ida.
“Tidak apa-apa Bu. Nanti habis shalat subuh baru kami tidur. Tanggung kalau sekarang tidurnya,” kata Lingga.
“Ah iya benar. Nanti saja habis shalat subuh. Ayo kita habiskan dulu kopi kita,” kata Alkaff.
Hessa, Alkaff, maupun Lingga melihat perubahan di wajah Hendra. Wajah yang tadinya pucat tanpa darah sekarang sudah kembali normal. Benar-benar kehadiran pasangan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh orang tercintanya.
Di Jakarta dan Bekasi saat shalat subuh Adit dan Syakira langsung mengucap syukur membaca pesan dari Hessa. Begitu pun Retno yang mendapatkan pesan dari suaminya. Dia langsung mengirim pesan pada Wening dan Nenny dan meminta mereka memberitahu suaminya masing-masing. Retno juga berpesan agar tidak membicarakan hal tersebut di ruang tertutup, harus di ruang terbuka yang tidak kelihatan ada orang di dekat mereka.
Mereka juga tidak boleh mengirim chat soal perkembangan masalah.
‘Alhamdulillah kalau memang sudah ketemu,’ itu jawaban Wening dan Nenny saat shalat subuh. Tadi Retno mengirim pesan masih sekitar jam tiga-an karena saat dia menyusui dan memegang ponsel, pesan dari Alkaff masuk.
Tentu saja semua bersyukur kalau Kia baik-baik saja. Dari Retno mereka juga tahu bahwa Kia sudah diberi suntikan penguat kandungan
≈≈≈≈≈
“Ada apa? Mengapa pagi ini Kia belum ke rumahku? Apa dia sakit dan mengapa aku lihat banyak sepatu di luar?” tanya seorang lelaki tua pada Ida. Lelaki itu mendatangi rumah Ida.
“Itu rombongan suaminya Kia. Rupanya dia bisa melacak keberadaan Kia di sini. Tadi malam mereka datang dan baru sehabis shalat subuh mereka tidur. Jadi hari gini belum bangun sehingga Kia belum ke rumah Kai,” kata Ida menjelaskan mengapa Kia belum datang untuk pengobatan rutin di rumah kai Dehen.
“Aku kira dia sakit dan kamu tak sempat memberi kabar. Ya sudah kalau memang suaminya datang malah bagus. Nanti malah kita bisa pagarin dia juga. Kita bisa susun rencana sesuai kemarin yang kita bicarakan.”
“Iya Kai, nanti begitu Kia bangun akan aku kasih tahu agar Kia dan suaminya ke rumah Kai.”
“Tak perlu, tak perlu mereka ke rumah aku. Aku yang akan ke sini agar semua bisa mendengar dan bisa aku pagari. Aku akan membuat pagar lebih banyak dulu, karena ternyata banyak pagar yang diperlukan. Termasuk mertuanya Kia, karena Tiara tahu kelemahan Kia ada di mertuanya. Itu perlu dipagari. Mungkin habis ini semua orang di Jakarta sana diberitahu agar mertuanya Kia dijaga sebelum aku pagari dari sini,” ucap Dehen. Seorang yang sangat ditakuti lawan dan disegani teman. Semua suku Dayak mana pun tahu siapa Kai Dehen.
“Baik Kai, nanti saya beritahu. Kalau mereka siap saya akan ke rumah Kai untuk memberitahu.”
“Ya seperti itu saja,” jawab kai Dehen dan dia kembali ke rumahnya yang hanya berada di seberang rumah yang Ida tempati. Tentu jarak rumah seberang bukan hanya satu dua langkah. Butuh waktu lima menit sampai ke rumah Dehen karena di desa ini jarang penduduknya.
≈≈≈≈≈
Yang bangun lebih dulu adalah Lingga, jam 09.00 dia sudah bangun. Pada umumnya di sini jangan berharap ada kamar mandi di dalam kamar. Bahkan kamar mandi di dalam rumah saja masih jarang. Biasanya kamar mandi terletak di tempat terpisah dari rumah. Dekat dengan sumur dan dapur.
Tapi di rumah Ida sudah dibangun kamar mandi di dalam rumah, sehingga walau ada kamar mandi di belakang tadi pagi semua tamu bisa menggunakan kamar mandi di dalam rumah maupun di belakang.
“Loh Neng sudah bangun?” kata Ida yang sibuk masak sarapan yang kesiangan tentu, karena yang mau sarapan juga belum bangun.
“Sudah Bu, ada yang bisa saya bantu?” kata Lingga.
“Enggak perlu Neng, nggak apa-apa,” balas Ida.
“Jangan lah Bu. Ibu masak dalam jumlah banyak kok. Ibu kan masak bukan cuma buat Pak Alkaff dan kak Hessa, tapi juga dengan para pengawal yang dikirim oleh Pak Rudi.”
Sejak pagi bahkan Ida sudah membuatkan kopi untuk para pengawal yang disiapkan Rudi, karena tentu saja mereka tidak ada yang pulang. Mereka menjaga di depan rumah. Memang begitu mereka sampai di teras rumah mereka tidur di bale samping rumah, jadi pagi-pagi Ida juga sudah membuatkan mie untuk sarapan mereka di samping.
Ida bahkan sangat terbantu, pagi-pagi mereka ada yang membantu belanja semua keperluan dapur. Pagi ini Ida tak perlu keluar membeli sayuran dan ikan.
“Bibik nggak masak banyak kok. Kamu juga nggak perlu panggil ibu, panggil bibik saja. Bibik hanya masak nasi dan ikan saja. Ikannya ada yang digoreng biasa, dan ada yang di beri sambal bumbu kuning. Tinggal campur saja karena di sini bumbu kuning atau bumbu merah tinggal beli.”
“Ya sudah saya bersihkan ikannya ya Bu eh Bik,” kata Lingga. Lingga lupa bahwa selama ini dia benci dapur, dia benci masak setelah ibunya meninggal.
≈≈≈≈≈
“Ada yang perlu aku bantu Bik?” tanya Hessa. Dia sudah bangun, dan ada handuk di lehernya. Rupanya dia ingin langsung mandi.
“Sudah kamu langsung mandi saja sana, biar Bibik nggak pingsan dengan baumu,” goda Ida.
“Aku baunya harum lho Bik, jangan ngeledek,” jawab Hessa.
“Itu kopimu sudah ada, kalau kamu mau minum kopi dulu sebelum ke kamar mandi,” ucap Ida yang cukup tahu kebiasaan adik ipar momongannya.
“Bibik tau saja kebiasaanku,” kata Hessa, dia langsung menyeruput kopinya sebelum ke kamar mandi, Hessa sama sekali tidak menyapa Lingga.
Sehabis meminum setengah cangkir kopi, Hessa berjalan ke kamar mandi belakang yang terletak terpisah dengan rumah. Dia lebih suka di sana karena dekat dengan sumur. Di rumah ini, sumur sudah tidak di timba lagi, tapi sudah dipasangi mesin air jet pump, sehingga orang tak perlu menimba. Tapi tentu saja Hessa senang dengan kegiatan menimba manual, jadi dia iseng menimba dua ember sekedar untuk aktivitas saja, bukan untuk dia mandi.
≈≈≈≈≈
“Wah Non sudah bangun? Sebentar Ibu bikinkan sussu dulu ya,” kata Ida dengan lembut ketika melihat Kia sudah bangun.
“Biar aku bikin sendiri Bu. Maksud aku pagi ini aku ingin susunya A’ Hendra yang buat. Jadi Ibu nggak perlu buatin aku pagi ini,” tolak Kia.
“Memang suamimu sudah bangun?”
“Belum sih. Sepertinya dia sudah tak tidur berhari-hari. Tadi malam begitu menyentuh kasur dia langsung terlelap.”
“Pasti dia nggak tidur lah Kak. Waktu nyari ke sekolahan saja, bu Syakira melarang dia bawa mobil karena dia enggak tidur. Sepertinya di pesawat juga dia tidak tidur, jadi saya yakin dua malam itu dia sama sekali tidak tidur,” kata Lingga yang tiba-tiba panggil Kak lagi padahal kemarin sudah ikut manggil teteh. Lingga ingat dia telah memberi suplemen agar Hendra rileks dan bisa tidur. Memang Hendra sempat tidur sebentar saat di mobil menuju sekolah anak-anak bu Ida.
“Bisa jadi seperti itu, karena tadi malam tiba-tiba dia langsung hilang dari peredaran. Biasanya kalau di tempat tidur kami bicara dulu, ngobrol dulu apa yang terjadi saat kami tidak bersama. Tapi semalam tidak, begitu menyentuh bantal dia langsung hilang ditelan kasur,” kata Kia lagi.
“Ya sudah ini minum dulu,” kata Ibu Ida. Rupanya sejak ngobrol tadi dia tetap membuatkan sussu untuk Kia daripada menunggu Hendra bangun.
“Wadai masih ada kan?” Entah mengapa sejak hamil terlebih sesampai di tanah kelahiran Kia suka sekali dengan wadai. Padahal sebelum hamil dia tak terlalu suka, karena terlalu manis dan terlalu eneg untuknya. Buat Kia wadai itu terlalu manis dan berlemak karena dibuat dari banyak telur.
Selain itu saat hamil ini Kia sangat suka ikan HARUAN atau ikan gabus. Begitu sampai di Kalimantan dia tiap hari maunya makan ikan gabus. dimasak apa pun. Pokoknya harus ada haruan. Itu sebabnya hari ini bu Ida membuat haruan goreng dan ikan lain yang dibumbu kuning.
“Ada banyak, tadi pagi sudah beli banyak wadai dan ikan,” jawab ida.
“Lho Ibu ke pasar?”
“Tidak, julak Hasan yang ke pekan ( pasar ), dia belanja banyak. Tadi ada daun pakis juga dia dapat, nanti Ibu masak buat gulai pakis.”
“Kita sarapan saja nanti sudah siang kan Bik,” ucap Lingga.
“Iya Lingga, kamu ganjel dulu agar perutmu tidak kosong,” kata Kia sambil memotong wadai.
“Sudah Kak, tadi sudah makan dua iris wadai dan minum teh.”