BELI NOMOR DAN PONSEL BARU

1196 Kata
“Bagusan yang mana?” tanya Hessa. “Aku nggak terlalu dekat sih sama teteh Kia. Aku nggak tahu warna kesukaannya. Jadi lebih baik warna hitam itu saja deh atau gold. Kalau diambilkan warna pink atau biru takutnya dia nggak suka. Tapi kayaknya lebih bagus yang gold,” jawab Jingga. Mereka berdua pergi ke kota terdekat di mall terbesar mencari ponsel sementara untuk Kia. Kembali Lingga dan Hessa berjalan berdua dengan keakraban, saying keduanya belum mempunya rasa apa pun, padahal sejak kemarin mereka Bersama. Keduanya hanya merasa nyaman saja. Ponsel sementara untuk wonder women sekelas Kia tetap saja nggak yang ecek-ecek kan? Bagi Kia bukan cuma dari mahalnya tapi dia cari fitur yang bisa digunakan untuk search segala macam. Ponsel yang Kia gunakan sekarang dia beli di Jerman saat dia pergi mengelilingi dunia. Dia beli dua, satunya tentu untuk Hendra. Dan yang pasti Kia suka yang layarnya lebar. Mereka juga membeli kartu baru untuk ponsel itu. “Masih ada yang ingin dicari nggak?” tanya Hessa. “Enggak lah. Aku nggak pengen apa-apa,” jawab Lingga. “Mungkin kamu pengin bawa pulang oleh-oleh buat besok. Kita besok pagi pulang loh, kita cari oleh-oleh yuk buat mama atau buat teman kamu. Mungkin yang gantiin kamu atau siapa lah,” usul Hessa. “Kakak mau cari apa? Mau cari souvenir atau makanan?” “Makanan tuh enak,” kata Hessa. “Cuma sesudah dimakan, habis itu tak ada kenangan. Bukan buat oleh-oleh tapi buat kita makan bersama. Jadi yang bisa dikenang ya berupa souvenir lah. Kita minta drivernya saja suruh cariin di mana tempat oleh-oleh kita cari,” kata Hessa. “Oke,” kata Lingga. ≈≈≈≈≈ Diantar driver mereka pun mencari oleh-oleh. Tentu mereka cari yang kecil dan bagus sehingga enggak bikin ribet atau menyiksa saat dibawa baik dibawa dari Kalimantan sini ke Jakarta, mau pun pada saat bawa ke kantor nantinya. Banyak oleh-oleh yang Lingga beli. Akhirnya dia juga beli untuk beberapa teman-temannya di kampus S2 atau spesialisnya, dia juga bawakan untuk teman-teman akrabnya. Hessa hanya beli buat mama dan Adit saja. “Kok cuma beli buat mama sama kak Adit? Memang enggak ada orang lain yang mau dikasih oleh-oleh?” tanya Lingga. “Aku nggak punya orang spesi-al. Ganteng kayak gini aku belum pernah pacaran,” kata Hessa sambil nyengir. “Banyak teman akrab sejak SMP, SMA, kuliah S1 dan S2, tapi bukan pacar. Aku nggak kepengen pacaran sih. Belum kepengen saja sampai saat ini.” “Dan jujur setelah aku lihat Kak Kia, aku pengen perempuan mandiri kayak dia. Bukan perempuan yang bolak-balik minta antar sini antar situ. Terus kolokan, kayaknya nggak deh. Aku takut nggak sabar. Bukan kita nggak mau manjain kekasih atau istri, tapi setidaknya perempuan mandiri itu lebih baik,” kata Hessa. ‘Jujur banget sih kamu,’ kata Lingga dalam hati. Hessa sendiri nggak berani tanya tentang kekasih Lingga saat ini, karena dia tahu Lingga habis patah hati, jadi dia tak mau mancing-mancing untuk arah situ. ‘Sudah tajir, sudah selesai S2, ganteng, enggak pernah pacaran. Wow benar-benar makhluk langka,’ kata Lingga dalam hati. Tapi tetap saja dia belum mau tertarik pada siapa pun. Bahkan pada Adit yang sering mengejar dia baik di kampus, entah di day care maupun di rumahnya. Memang berapa kali Adit datang ke kampus Lingga, tapi gadis itu belum mau untuk membuka hati buat Adit. Dan rasanya lebih nyaman dengan Hessa karena dengan Hessa dia bisa ngobrol, bisa bercanda tak ada beban. Kalau dengan Adit karena Adit kelihatannya serius ingin mendekati dirinya buat jadi pendamping Lingga malah jadi takut. Dia belum berani membuka hubungan baru lagi dengan seorang lelaki. ≈≈≈≈≈ Siang ini seharian Rudi, Alkaff dan Hendra diisi penuh oleh Kai. Rudi akan menjaga Tiara dari jarak dekat, walau dia akan sulit karena dia terikat pekerjaan, tetapi setidaknya dia masih bisa komunikasi atau tanya pada orang-orang terdekat Tiara. Rudi juga sudah melaporkan kalau ponselnya Tiara sudah dia pasang penyadap. Alkaff dan Hendra sudah tahu sejak kemarin Tiara mengirim pesan untuk Hendra dari ponselnya Rudi. Ponsel Hendra kan tahu sendiri sudah dimatikan oleh Kia kemarin. ‘Kakak ada di mana? Kakak sudah tahu kan dari Kak Kia atau dari Adit atau dari siapa pun kalau aku mencintai Kakak. Aku nggak apa-apa kok jadi istri kedua. Atau aku nggak dinikahin juga nggak apa-apa. Yang penting aku bisa sama Kakak.’ ‘Kok nggak dibuka juga sih ponselnya? Aku tuh pengen ngobrol tahu.’ Dan banyak lagi chat seperti itu yang Tiara kirimkan. Untuk itu mereka membahas apa yang harus Hendra jawab dan tentu saja nanti menjawabnya bila sudah di Jakarta, agar tidak terlacak keberadaan Hendra saat ini. Sama seperti Kia, Hendra juga akan pakai nomor baru. Jadi nomor lamanya hanya akan ada di kantor pada jam kerja dinyalakan tidak setiap saat. Yang setiap saat nyala adalah nomor baru yang nanti hanya diberitahu pada rekan grupnya, istrinya dan pokoknya timnya mereka lah. Tadi Hendra sudah menghubungi Hessa menggunakan ponsel Alkaff minta dibelikan ponsel juga nomor, sehingga akhirnya Hessa dan Lingga kembali lagi ke toko handphone dan nomor yang tadi buat Kia dia tukar dengan nomor berurutan untuk Hendra dan Kia. Jadi beli dua nomor yang angkanya berurutan. Ponselnya satu berwarna gold dan satunya berwarna Black. ≈≈≈≈≈ “Kalian belanja apa?” tanya Kia. “Enggak Teh, aku cuma beli oleh-oleh sedikit buat teman-teman saja. Mau beli apa-apa lagi malah bingung,” jawab Lingga. “Kamu nggak beli buat pacarmu?” goda Kia. “Aku belum berani buka diri lagi Teh, masih trauma. Teteh tahu trauma itu sulit aku usir,” Lingga biasa ngobrol seperti itu dengan Kia. Terlebih saat ini mereka hanya bertiga dengan bu Ida di dapur. “Aku sangat tahu. Bukan sulit lagi, 21 tahun Teteh trauma, kalau Hendra nggak buka, kalau nggak Hendra gedor, kalau dia nggak sabar, Teteh tetap tidak mau mengenal laki-laki, karena yang melakukan demikian adalah ayah kandung Teteh, lalu Kakak ipar!” “Jadi trauma itu benar-benar melekat. Sudah sulit di tepis. Makanya kalau sekarang Kak Hendra diambil orang rasanya ya sudahlah. Woles saja gitu. Kalau dia harus diambil.” “Teteh nggak mau diduain, lebih baik Teteh buang saja. Biarin Teteh hidup dengan anak saja nggak apa-apa. Daripada harus sakit hati. Lalu nanti akhirnya jadi malah kayak mama benci sama anak dan nyalahin anak. Enggak lah,” jawab Kia. “Memang diluaran banyak kok laki-laki yang tidak seperti itu. Tapi untuk kita memulai itu yang sulit dan Teteh ngertiin itu.” “Ya bagaimana, aku juga kan bukan perempuan yang mudah percaya sama orang. Dulu aku juga sulit percaya sama laki-laki. Terus tiba-tiba dia deketin aku dengan intens, dia sabar, dia ngertiin aku sampai akhirnya ya sudahlah aku terima cinta pertama dari dia. Aku pikir bisa jadi cinta terakhir, tapi nyatanya apa? Kalau bukan kepergok di depan pintu hotel mungkin dia juga akan berkelit bahwa mereka sedang meeting kerjaan. Tapi karena kepergok depan kamar hotel dan si sekretaris bilang : siapa Sayang? Jelas-jelaskan bahwa mereka bukan sekedar kerja.” “Beruntunglah walau menyakitkan, kamu tahu itu sebelum menikah. Kalau sesudah menikah mungkin sangat sakit.” kata Ida. “Benar bu Ida, kalau mengetahui sesudah menikah pasti lebih sakit. Kadang memang itu pikiranku. Aku menghibur diri dengan mengatakan Alhamdulillah itu terjadi sebelum aku menikah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN