Bab 32 - Iringan Puisi Tanpa Penyair

1348 Kata
*** Bisu cinta Terik cahaya menyilaukan mata Bersua temu bersama raga Denting waktu menyentak nyata Senyum itu saling menjaga Dedaunan berserakah diantaranya Mentari  penghias sempurna Suara enggan hadir menyapa Taluan didalam sana ada Angin iri akan tatapan semunya Awan beriringan dengannya Saling mengungkap melalui mata Masih jauh tetapi dekat dengannya Ini hanya tentang dia dan dia Saling menuntun dalam kebisuan Cinta Sekedar temu tanpa pelukan darinya Cukup disini dan dia disana Keunikan akan perasaan keduanya Mengalihkan waktu dari dunia Jarak antar dia cukupkan saja Bisu Cinta ini akan abadi baginya Dia dan dia saling berjauhan raga Memilih menguasaikan akan Cinta Bisu Cinta cukup sementara Tetapi abadi dalam rasa Takkan dilanjutkan pada masa Bisu diantaranya takkan bersuara Kini dia dan dia takkan ada Biarkan do'a berbicara Momen itu sementara Dibenamkan dalam suci Cinta Senyum dia takkan lenyap saja Awan sudah menunggu dari lama Dia dan dia jangan lupa bahagia Melawan waktu dalam do'a Sepi bisu abadi akan Cinta Usailah pertemuan sementara Written by semesta. *** Seharusnya saat ini Derta berada dirumah sakit tetapi nyatanya ia masih berada didalam kamar adiknya sejak beberapa jam yang lalu. Bahkan jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan yang pastinya sebentar lagi subuh menjelang. Derta masih bingung ingin memulai darimana hingga keluarganya normal dan adiknya bosa mendapatkan apa yang harusnya ia dapatkan sejak dulu. Dengan tubuh yang masih terbaring di ranjang Titania Derta perlahan melarikan pandangannya membaca satu persatu puisi yang Titania tempel di dinding. Ada banyak puisi yang pertama Derta baca adalah tentang 'cinta' yang membuat Derta bingung sebenarnya kearah mana keinginan adiknya itu. Menurut penyimpulan Derta puisi itu mengenai Cinta dalam diam. Tanpa adanya perbincangan hanya melalui do'a yang sepertinya dialami oleh Titania beberapa tahun ini sebenernya bukan beberapa tahun tetapi entahlah. Derta tidak tau kapan adiknya itu mulai menyukai Abani. Saling menjauh demi menjaga sucinya Cinta? Ikhlas menjauh demi utuhnya iman dan tidak terbebani akan sebuah dosa karena pelanggaran agama? Lebih memilih saling berlalu. Derta tak pernah tau jika pemikiran Titania membuat puisi bisa sejauh ini bahkan diluar pemikirannya sendiri. Agama dalam keluarganya tidak terlalu mencolok tetapi tetap ia dan Titania tetap diajarkan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang seharusnya. Mengenai berjilbabnya Titania atau tidak itu diluar pemikiran Derta sendiri. *** Bisikin asa Sentuh rua sebuah Indah Bermain asa ditengah rasa Sentak jiwa buai akan mimpi Semirik drama palsu Tarian dilema makin merajalela Melodi tawa berperang Cinta Tajam tatapan mengundur diri Lagi, dunia berbisik pelan Gemercik taluan asa hadir Tutur kata bertanding senja Filosofi ini hanya ingin bukan nyata Gemaan itu terdengar seperti bisikan Sadar, langkah itu harus bertahta Kuasai semuanya jangan tersisa Hadirkan debat jika perlu Asa harus menang bukan kalah Keluarlah sebagai pemenang Sorak itu adalah pengiring Senyum pongah berhasil terkalahkan Berbanggalah atas bisikin asa itu. Written by semesta *** Mata Laki-laki itu beralih ketulisan selanjutnya, sangat mudah membacanya karena ranjang Titania sangatlah dekat dengan dinding itu dan berbaring seperti ini memamg spot yang Bagus untuk membacanya mungkin karena alasan itulah Titania menempelkan puisi-puisinya disana. Derta jadi berfikir apakah adiknya ini pujangga Cinta karena sudah dua judul puisi yang ia baca selalu ada kata Cinta didalamnya. Walaupun puisi kali ini seperti seseorang yang sedang marah tetapi ada kesan lembutnya juga. Derta jadi bersikap seperti seseorang yang mengerti puisi saja padahal dia hanya asal tebak saja. **** Tuai-ku - Aku kini kian tak menentu Perlahan jatuh tidak berbentuk Kala hujan makin menderaskan Saat itu jua lemah datang menyapa Bermain menari bersama hujan Rintiknya yang angkuh dan pongah Berlagak bodoh bersandiwara Mereda tanpa rasa bersalah Mundur-pun enggan berlaku Titik sentuh bersama logika Berjatuhan tanpa adanya pamrih Hentikan,semuanya memuakkan Egois dan kasihan berpadu Menantang para pemain drama Walau enggan bersuara Tuai-ku menguasaikan dengan cepat Perlahan langka melanjutkan Mengaksara tiap dedaunan di sana Pohon berbisik tanpa suara Kini kutemui tawa tanpa paksaan Written by semesta **** "Kini kutemui tawa tanpa paksaan?" gumamnya saat membaca ulang bait terakhir dalam tulisan itu. "Apa kini kamu bisa tertawa lepas tanpa beban itu lagi Nia? Apakah kamu sudah menemukan sumber tawamu hingga menulis kata seperti itu? Apakah sekarang aku bisa menyimpulkan jika sekarang kamu baik-baik saja tanpa bayangan itu lagi? Atau ada hal lain yang membuatmu takut?" walaupun Derta tau ia takkan mendapatkan jawaban apapun tetapi ia tetap bersuara seakan-akan disini ada Titania yang bersiap sedia untuk menjawab setiap pertanyaannya. *** Dekap sunyi Hati menunggu waktu Jiwa menanti keajaiban semesta Harap semuanya terasa ada Terbuai Indah oleh dekap rindu Tawa kian meredup Sunyi senyap tak berarti Menggebu ingin kembali Masa akan keindahan Helaan napas melelahkan Raga menyeruak di kegelapan Kepasrahan mengikuti alur waktu Kebingungan semakin mendominasi Senja berganti dengan makna berbeda Rembulan beradu dengan kerinduan Hati kian rapuh tanpa penopang Waktu, berlalu tanpa balasan Menerawang jauh masa depan Dambaan akan pertemuan Saling meluapkan rindu Genggam sunyi hati membisu Dan sekali lagi, tipu daya waktu hadir menghiasi Sisi hati dengan rindu ragamu Written by semesta *** "Aku tau jika kata terakhir yang kamu tulis dalam puisi itu kamu tujukan untuk perempuan gila harta itu Nia!" entah kenapa fikiran Derta langsung mengarah kesana, tentu saja adiknya itu merindukan sosok ibu seharusnya Derta bisa mengerti itu bukan? Ia beruntung bisa merasakan betapa indahnya keluarga lengkap. Bagaimana indahnya kasih sayang seorang ibu sedangkan Titania? Bahkan bisa menemui ibunya saja setelah umurnya 20 tahun lebih. Derta bisa merasakan bagaimana pelukan hangat seorang ibu, bisa melewati masa kecilnya bersama sosok ibu sedangkan Titania? Bahkan ia harus berjuang sendirian tanpa dukungan seorang ibu didalam sebuah inkubator. Saat mulai tengkurap yang mengajarinya adalah eyang bukan ibu mereka. Derta masih ingat dengan jelas perkataan yang pertama Titania ucapkan adalah kata 'ibu' padahal jelas-jelas yang merawatnya adalah eyang mereka. Saat pertama berjalan bahkan merangkak yang menemuinya Juga eyang mereka bukan sosok ibu sedangkan Derta? Ia merasakan semua sempurna itu. "Aku saja sebagai laki-laki lemah dek tanpa sosok ibu lalu bagaimana denganmu? Sedang yang kutau perempuan lebih lemah dari laki-laki." tanpa sadar air mata Derta datang, merasa tidak berguna untuk adiknya sendiri. Kenapa Derta begitu egois melarang Clara bertemu Titania sedangkan Titania sangat membutuhkan sosok Clara. Tetapi bukankah Clara sudah memilki kembaran Titania untuk hidup bersamanya bahkan seseorang yang dulu selalu Derta panggil dengan sebutan ibu itu kini sudah bahagia dengan keluarga barunya, dengan segala limpahan hartanya. **** Tunggu Teguh? Senja kian memudar Bahkan redup awan tergantikan malam Tatapan masih utuh kearah sana Tepat saat langkah itu menjauh Katamu, hati harus Teguh menunggu Bersanding Setia dengan sang senja Langit biru enggan berandai-andai Napasku melelah, hentikan saja. Kicauan burung datang lagi Ufuk timur bahkan terang kembali Awan kembali menyapa dengan apik Permainan macam apa ini semesta? Kaki itu berlari keluar Menapaki bebatuan tajam Tatapannya mengedar pandang Sosok itu? Dimana dia? Seharusnya menunggu itu tak ada Harusnya galaksi tetap pada orbitnya Bintang pada setiap kerlipannya Sedang rembulan utuh tanpa harapan Napik akan rindu itu kembali tanpa rambu Ia takkan datang semesta Seberapapun senja berlalu. Written by semesta **** "Kamu selalu menunggu perempuan gila harta itu datang Nia?" gumamnya lagi dengan suara serak. "Apa yang kamu inginkan darinya Nia?" tanyanya dan tentu saja tidak ada jawaban untuk itu. Derta bangun dan duduk ditepi ranjang menatap nanar setiap puisi disana. Begitu banyak makna didalam sana dan Derta sangat tau mengenai hal itu. *** Harapku.. Dari kejauhan sebuah kisah Tertata setumpuk tawa mewarnai Cahaya aurora bahkan terhinggapi Dan lengkungan senyum hadir Denting waktu telah berganti Tentu saja, harap baru kini tersusun rapi Menjadikan kemarin arti untuk melangkah Menjemput ia sang mimpiku untuk masa depan Raga ingin menguasai masa depan Hati menggebu akan sebuah keberhasilan Jiwa bersatu dengan harapan nyata Langkah awal untuk tahun yang indah Sangat tau akan sebuah kegagalan Tetapi, dengan adanya keinginan Dengan bersama senja Mimpi yakin, ia akan menyapa dunia Written by semesta *** "Jika memang seperti itu maka aku akan membawakan dia padamu Nia, karena dasar hatimu sangat menginginkan dia ada dalam takdirmu." ujarnyan dengan penuh janji yang pasti. Derta menolehkan kepalanya saat ponselnya berdering, sejenak Derta menatap jam disana menunjukkan sbentar lagi pukul 4 subuh. Lalu siapa yang menelponnya. "Ya ada apa?" tanyanya langsung setelah menggeser tombol hijau. "Aku butuh bicara dengan kakak." "Deliana?" tanya Derta memastikan ucapannya "Ya ini aku kak. Bisa bicara nanti ini sangat penting." "Kau belum tidur, bukankah sekarang kamu bermalam di rumah sakit karena tadi eyang memberi tahukan aku tentang itu. Apa Nia baik-baik saja?" ada rasa khawatir dalam diri Derta. "Titania baik-baik saja. Ada yang ingin aku bicarakan kak" "Tentang?" tanyanya lagi, "Tentang pembullyan Titania waktu kecil." "Baiklah. Tunggu aku dirumah sakit ba'da subuh nanti." "Baiklah kak. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." jawab Derta kemudian menyimpan ponselnya kembali keranjang. "Apa yang dia tau tentang bullying itu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN