***
Bisu cinta
Terik cahaya menyilaukan mata
Bersua temu bersama raga
Denting waktu menyentak nyata
Senyum itu saling menjaga
Dedaunan berserakah diantaranya
Mentari penghias sempurna
Suara enggan hadir menyapa
Taluan didalam sana ada
Angin iri akan tatapan semunya
Awan beriringan dengannya
Saling mengungkap melalui mata
Masih jauh tetapi dekat dengannya
Ini hanya tentang dia dan dia
Saling menuntun dalam kebisuan Cinta
Sekedar temu tanpa pelukan darinya
Cukup disini dan dia disana
Keunikan akan perasaan keduanya
Mengalihkan waktu dari dunia
Jarak antar dia cukupkan saja
Bisu Cinta ini akan abadi baginya
Dia dan dia saling berjauhan raga
Memilih menguasaikan akan Cinta
Bisu Cinta cukup sementara
Tetapi abadi dalam rasa
Takkan dilanjutkan pada masa
Bisu diantaranya takkan bersuara
Kini dia dan dia takkan ada
Biarkan do'a berbicara
Momen itu sementara
Dibenamkan dalam suci Cinta
Senyum dia takkan lenyap saja
Awan sudah menunggu dari lama
Dia dan dia jangan lupa bahagia
Melawan waktu dalam do'a
Sepi bisu abadi akan Cinta
Usailah pertemuan sementara
Written by semesta.
***
Seharusnya saat ini Derta berada dirumah sakit tetapi nyatanya ia masih berada didalam kamar adiknya sejak beberapa jam yang lalu. Bahkan jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan yang pastinya sebentar lagi subuh menjelang.
Derta masih bingung ingin memulai darimana hingga keluarganya normal dan adiknya bosa mendapatkan apa yang harusnya ia dapatkan sejak dulu.
Dengan tubuh yang masih terbaring di ranjang Titania Derta perlahan melarikan pandangannya membaca satu persatu puisi yang Titania tempel di dinding. Ada banyak puisi yang pertama Derta baca adalah tentang 'cinta' yang membuat Derta bingung sebenarnya kearah mana keinginan adiknya itu.
Menurut penyimpulan Derta puisi itu mengenai Cinta dalam diam. Tanpa adanya perbincangan hanya melalui do'a yang sepertinya dialami oleh Titania beberapa tahun ini sebenernya bukan beberapa tahun tetapi entahlah. Derta tidak tau kapan adiknya itu mulai menyukai Abani.
Saling menjauh demi menjaga sucinya Cinta? Ikhlas menjauh demi utuhnya iman dan tidak terbebani akan sebuah dosa karena pelanggaran agama? Lebih memilih saling berlalu. Derta tak pernah tau jika pemikiran Titania membuat puisi bisa sejauh ini bahkan diluar pemikirannya sendiri.
Agama dalam keluarganya tidak terlalu mencolok tetapi tetap ia dan Titania tetap diajarkan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang seharusnya. Mengenai berjilbabnya Titania atau tidak itu diluar pemikiran Derta sendiri.
***
Bisikin asa
Sentuh rua sebuah Indah
Bermain asa ditengah rasa
Sentak jiwa buai akan mimpi
Semirik drama palsu
Tarian dilema makin merajalela
Melodi tawa berperang Cinta
Tajam tatapan mengundur diri
Lagi, dunia berbisik pelan
Gemercik taluan asa hadir
Tutur kata bertanding senja
Filosofi ini hanya ingin bukan nyata
Gemaan itu terdengar seperti bisikan
Sadar, langkah itu harus bertahta
Kuasai semuanya jangan tersisa
Hadirkan debat jika perlu
Asa harus menang bukan kalah
Keluarlah sebagai pemenang
Sorak itu adalah pengiring
Senyum pongah berhasil terkalahkan
Berbanggalah atas bisikin asa itu.
Written by semesta
***
Mata Laki-laki itu beralih ketulisan selanjutnya, sangat mudah membacanya karena ranjang Titania sangatlah dekat dengan dinding itu dan berbaring seperti ini memamg spot yang Bagus untuk membacanya mungkin karena alasan itulah Titania menempelkan puisi-puisinya disana.
Derta jadi berfikir apakah adiknya ini pujangga Cinta karena sudah dua judul puisi yang ia baca selalu ada kata Cinta didalamnya. Walaupun puisi kali ini seperti seseorang yang sedang marah tetapi ada kesan lembutnya juga. Derta jadi bersikap seperti seseorang yang mengerti puisi saja padahal dia hanya asal tebak saja.
****
Tuai-ku
-
Aku kini kian tak menentu
Perlahan jatuh tidak berbentuk
Kala hujan makin menderaskan
Saat itu jua lemah datang menyapa
Bermain menari bersama hujan
Rintiknya yang angkuh dan pongah
Berlagak bodoh bersandiwara
Mereda tanpa rasa bersalah
Mundur-pun enggan berlaku
Titik sentuh bersama logika
Berjatuhan tanpa adanya pamrih
Hentikan,semuanya memuakkan
Egois dan kasihan berpadu
Menantang para pemain drama
Walau enggan bersuara
Tuai-ku menguasaikan dengan cepat
Perlahan langka melanjutkan
Mengaksara tiap dedaunan di sana
Pohon berbisik tanpa suara
Kini kutemui tawa tanpa paksaan
Written by semesta
****
"Kini kutemui tawa tanpa paksaan?" gumamnya saat membaca ulang bait terakhir dalam tulisan itu.
"Apa kini kamu bisa tertawa lepas tanpa beban itu lagi Nia? Apakah kamu sudah menemukan sumber tawamu hingga menulis kata seperti itu? Apakah sekarang aku bisa menyimpulkan jika sekarang kamu baik-baik saja tanpa bayangan itu lagi? Atau ada hal lain yang membuatmu takut?" walaupun Derta tau ia takkan mendapatkan jawaban apapun tetapi ia tetap bersuara seakan-akan disini ada Titania yang bersiap sedia untuk menjawab setiap pertanyaannya.
***
Dekap sunyi
Hati menunggu waktu
Jiwa menanti keajaiban semesta
Harap semuanya terasa ada
Terbuai Indah oleh dekap rindu
Tawa kian meredup
Sunyi senyap tak berarti
Menggebu ingin kembali
Masa akan keindahan
Helaan napas melelahkan
Raga menyeruak di kegelapan
Kepasrahan mengikuti alur waktu
Kebingungan semakin mendominasi
Senja berganti dengan makna berbeda
Rembulan beradu dengan kerinduan
Hati kian rapuh tanpa penopang
Waktu, berlalu tanpa balasan
Menerawang jauh masa depan
Dambaan akan pertemuan
Saling meluapkan rindu
Genggam sunyi hati membisu
Dan sekali lagi,
tipu daya waktu hadir menghiasi
Sisi hati dengan rindu ragamu
Written by semesta
***
"Aku tau jika kata terakhir yang kamu tulis dalam puisi itu kamu tujukan untuk perempuan gila harta itu Nia!" entah kenapa fikiran Derta langsung mengarah kesana, tentu saja adiknya itu merindukan sosok ibu seharusnya Derta bisa mengerti itu bukan? Ia beruntung bisa merasakan betapa indahnya keluarga lengkap. Bagaimana indahnya kasih sayang seorang ibu sedangkan Titania? Bahkan bisa menemui ibunya saja setelah umurnya 20 tahun lebih.
Derta bisa merasakan bagaimana pelukan hangat seorang ibu, bisa melewati masa kecilnya bersama sosok ibu sedangkan Titania? Bahkan ia harus berjuang sendirian tanpa dukungan seorang ibu didalam sebuah inkubator. Saat mulai tengkurap yang mengajarinya adalah eyang bukan ibu mereka.
Derta masih ingat dengan jelas perkataan yang pertama Titania ucapkan adalah kata 'ibu' padahal jelas-jelas yang merawatnya adalah eyang mereka. Saat pertama berjalan bahkan merangkak yang menemuinya Juga eyang mereka bukan sosok ibu sedangkan Derta? Ia merasakan semua sempurna itu.
"Aku saja sebagai laki-laki lemah dek tanpa sosok ibu lalu bagaimana denganmu? Sedang yang kutau perempuan lebih lemah dari laki-laki." tanpa sadar air mata Derta datang, merasa tidak berguna untuk adiknya sendiri. Kenapa Derta begitu egois melarang Clara bertemu Titania sedangkan Titania sangat membutuhkan sosok Clara.
Tetapi bukankah Clara sudah memilki kembaran Titania untuk hidup bersamanya bahkan seseorang yang dulu selalu Derta panggil dengan sebutan ibu itu kini sudah bahagia dengan keluarga barunya, dengan segala limpahan hartanya.
****
Tunggu Teguh?
Senja kian memudar
Bahkan redup awan tergantikan malam
Tatapan masih utuh kearah sana
Tepat saat langkah itu menjauh
Katamu, hati harus Teguh menunggu
Bersanding Setia dengan sang senja
Langit biru enggan berandai-andai
Napasku melelah, hentikan saja.
Kicauan burung datang lagi
Ufuk timur bahkan terang kembali
Awan kembali menyapa dengan apik
Permainan macam apa ini semesta?
Kaki itu berlari keluar
Menapaki bebatuan tajam
Tatapannya mengedar pandang
Sosok itu? Dimana dia?
Seharusnya menunggu itu tak ada
Harusnya galaksi tetap pada orbitnya
Bintang pada setiap kerlipannya
Sedang rembulan utuh tanpa harapan
Napik akan rindu itu
kembali tanpa rambu
Ia takkan datang semesta
Seberapapun senja berlalu.
Written by semesta
****
"Kamu selalu menunggu perempuan gila harta itu datang Nia?" gumamnya lagi dengan suara serak.
"Apa yang kamu inginkan darinya Nia?" tanyanya dan tentu saja tidak ada jawaban untuk itu.
Derta bangun dan duduk ditepi ranjang menatap nanar setiap puisi disana. Begitu banyak makna didalam sana dan Derta sangat tau mengenai hal itu.
***
Harapku..
Dari kejauhan sebuah kisah
Tertata setumpuk tawa mewarnai
Cahaya aurora bahkan terhinggapi
Dan lengkungan senyum hadir
Denting waktu telah berganti
Tentu saja, harap baru kini tersusun rapi
Menjadikan kemarin arti untuk melangkah
Menjemput ia sang mimpiku untuk masa depan
Raga ingin menguasai masa depan
Hati menggebu akan sebuah keberhasilan
Jiwa bersatu dengan harapan nyata
Langkah awal untuk tahun yang indah
Sangat tau akan sebuah kegagalan
Tetapi, dengan adanya keinginan
Dengan bersama senja
Mimpi yakin, ia akan menyapa dunia
Written by semesta
***
"Jika memang seperti itu maka aku akan membawakan dia padamu Nia, karena dasar hatimu sangat menginginkan dia ada dalam takdirmu." ujarnyan dengan penuh janji yang pasti.
Derta menolehkan kepalanya saat ponselnya berdering, sejenak Derta menatap jam disana menunjukkan sbentar lagi pukul 4 subuh. Lalu siapa yang menelponnya.
"Ya ada apa?" tanyanya langsung setelah menggeser tombol hijau.
"Aku butuh bicara dengan kakak."
"Deliana?" tanya Derta memastikan ucapannya
"Ya ini aku kak. Bisa bicara nanti ini sangat penting."
"Kau belum tidur, bukankah sekarang kamu bermalam di rumah sakit karena tadi eyang memberi tahukan aku tentang itu. Apa Nia baik-baik saja?" ada rasa khawatir dalam diri Derta.
"Titania baik-baik saja. Ada yang ingin aku bicarakan kak"
"Tentang?" tanyanya lagi,
"Tentang pembullyan Titania waktu kecil."
"Baiklah. Tunggu aku dirumah sakit ba'da subuh nanti."
"Baiklah kak. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." jawab Derta kemudian menyimpan ponselnya kembali keranjang.
"Apa yang dia tau tentang bullying itu?"