***
Aku tak pernah tau seberapa besar aku membutuhkanmu layaknya oksigen
Prasangka angin yang begitu menggigil enggan beranjak layaknya rasaku padamu
Ilusi-ku makin terkuasai, semakin besar oleh jebakan rasaku sendiri
Aku terperangkap, terkunci dalam lautan retinamu.
Begitu terpukau akan Indah senyummu, bagaikan candu yang begitu memabukkan
Nada-nada tawaku, irama bahagiaku serta merta lagu cintaku padamu
Aku terbuai akan pesona yang tak dapat kupantulkan kembali, buai itu sungguh menyiksaku
Saat mataku terjeda sesaat, kamu hadir di dalam gelap sepersekian detik itu
Tulusnya kasih dalam bentuk indahnya Cinta, ku temukan apa yang selama ini kucari dengan tergesa-gesa bahkan abai akan prioritasku sendiri
Ku terobos waktu, ku jelajahi masa hingga akhirnya aku berada dalam titik gravitasi dan pusatnya adalah kamu.
Kunikmati rindu yang sangat menuntut temu, rindu yang membesarkan Cinta aku kepadamu.
Suaramu yang sudah menandingi hebatnya para penyair. Suara yang mampu membuatku lupa akan diriku sendiri.
Wahai pujangga hati, hangat rasaku enggan memudar seberapa beku-pun sesuatu yang datang.
Jiwa kita saling menari dalam sunyi, beradu senyum dalam mimpi sedang raga saling merindu dari kejauhan.
Ingin ku peluk Cinta itu dengan erat, tidak akan kulepaskan berapapun banyaknya panah menancap di punggungku
***
"Bintang minum obat dulu." Titania menghentikan ketikannya pada laptop didepannya menoleh kearah eyangnya.
"Eyang, aku-kan cuman sakit biasa kok belum bisa pulang." Saat ini ia sudah mulai jenuh diruangan ini padahal ia dirumah sakit baru sehari lebih.
"Kamukan belum pulih sayang, nanti kalau dokter bilang kamu bisa pulang kamu bakal langsung pulang kok. Minum obat ya!" fiona menyodorkan obat kedepan mulut titania yang langsung diterima. Mengambil air putih kemudian meminumnya menelan obat pahit itu.
"Kamu jangan ngetik terus dong! Eyang bawain kamu laptop bukan untuk ngetik terus!" ia memang membawakan laptop untuk titania karena takutnya cucunya itu akan bosan didalam sini.
"Macbook-ku mana eyang?" tanyanya, Titania mengedarkan pandangannya mencari benda mungil yang selalu ia bawa kemana-mana. Tetapi yang Titania dapatkan hanyalah slingbag-nya sedang benda paling pentingnya itu tidak ada.
"Ayahmu membawanya ke tukang servis sayang, mungkin masih lama perbaikannya karena sebagian terkena hujan. Apa engga sebaiknya kamu belli yang baru aja?" sontak Titania menggeleng cepat,
"Disana banyak file penting eyang. Tolong bilangin ke ayah usahain macbook-nya jangan sampai di format." ujarnya, disana banyak tulisan karyanya jika ter-format maka semuanya akan hilang sia-sia.
"Nanti eyang bilang ke ayahmu, dia sedang kekantor katanya sedang temanmu yang satunya lagi keluar sama Derta. Yang satunya lagi masih tidur." Titania menatap sofa disana Aloka masih memejamkan matanya, mungkin karena semalam tidurnya jam 12 malam.
"Deliana kemana sama abang eyang?" karena setahunya keduanya tidak mempunyai hubungan apapun apalagi urusan lainnya.
"Engga tau, yaudah eyang keluar dulu ya! Mau beli cemilan di supermarket depan." setelah melihat Titania menganggukkan kepalanya, fiona berlalu setelah sebelumnya mengambil tas jinjingnya dimeja.
***
Bolehkah kusentuh rasamu didalam sana semesta, hingga aku tau apa yang harus kulakukan untuk menyambutmu?
Boleh kugapai detakan jantungmu hingga aku tau bagaimana caranya aku dalam bersikap menyikapi debaran jantungmu?
Adakah pertemuan untuk saling menjelaskan mengenai inti dari perasaan antar kita?
Bolehkah kuambil setiap senyum itu hingga akhirnya senyummu selanjutnya adalah hasil dari kebahagiaanmu denganku, tawamu milikku dan utuh untukku
Bolehkah ruas jemarimu adalah milik ruas jemariku, saling tergenggam hingga akhirnya kita menyambut takdir yang sebenarnya.
Pengisi hati? Bukankah itu adalah milik kita masing-masing. Saling membutuhkan kayaknya napas membutuhkan oksigen.
****
"Udah jam berapa ini?"
ketikan Titania terhenti tatapannya menoleh kearah sofa menatap Aloka yang duduk dalam mata setengah terpejam.
"Jam 9 lewat, kamu mending mandi deh Al, bauu." ujar Titania kemudian kembali menatap laptopnya.
***
Denting rindu yang kian menggelora menyentuh tumpukan tunda temu, apa yang terjadi denganku semesta?
***
"Masa sih udah jam 9? bukannya baru jam 7?" ketikan Titania terhenti lagi, menatap jengah kearah Aloka.
"Andai tanganku engga diinfus, kamu sudah saya siram air segayung." ujarnya pelan tetapi kini tatapannya fokus kearah layar laptop mencoba fokus kembali
"Astagaaa... " Titania menatap tajam Aloka yang kini menutup mulutnya dengan jemarinya mungkin baru tersadar jika ia baru saja berteriak menggangu ketenangan Titania.
"Sorry Tan! Aku kaget ternyata beneran udah jam 9. Eehh Deliana mana?" seakan baru tersadar Aloka menatap sekitar dan ternyata dia hanya sendiri dan tentu saja orang sakitnya ada di ranjang.
"Pergi sama abang Derta engga tau kemana. Mandi sana! Didalam kamar mandi udah ada alat dan bahan mandi. Sana Gih." walaupun sedikit kesal tetapi Aloka tetap berjalan kedalam kamar mandi dengan wajah ditekuk.
Setelah Aloka masuk kedalam kamar mandi Titania menatap ponselnya yang berkedip beberapa kali. Tetapi tak lama kemudian muncul nama 'semesta' di layar ponselnya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Titania ya?" Itu adalah sapaan pertama Titania dapatkan sesaat setelah menggeser tombol hijau.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, semesta." ujarnya pelan, rasanya debaran jantungnya menggila didalam sana.
"Kamu udah baikan? Tadi kata dokter gimana?"
Sejenak Titania memejamkan matanya mencoba tidak kelepasan bicara karena terlalu bahagia di telepon abani bahkan diberikan perhatian seperti ini, bagaimana Titania tidak jatuh hati padanya?
"Katanya saya baik-baik saja cuman masih butuh perawatan dan pemantauan dokter beberapa waktu." balasnya datar bahkan terkesan dingin.
"Saya? Bukankah aku sudah bilang pakai aku-kamu. Bahkan suaramu terdengar datar dan dingin sekali. Apa berbicara denganku cukup terbebani untukmu?"
"Jangan asal menyimpulkan semesta, bukankah aku memang seperti ini? Atau kamu ingin aku seperti perempuan centil diluar sana?"
Diseberang sana refleks abani menggeleng pelan, membayangkan Titania berbicara centil seperti kembarannya yang menja itu membuat abani merinding sendiri.
"Tentu tidak. Tetapi setidaknya aku merasakan perasaanmu kan?"
"Nanti kucoba."balasnya.
"Kamu sedang apa?"
"Lagi mengetik, mau dengar?"
"Kamu mending nyebutin kata-kata untuk aku saja bukan baca hasil ketikanmu."
Titania diam beberapa detik mencoba berfikir tentang kata-kata yang akan ia salurkan pada si semestanya ini.
"Jangan mencoba bermain dengan adanya senja semesta, karena bisa saja kamu merindukannya bahkan terkesan ingin keberadaannya sedang kenyataannya tak bisa kamu sentuh apalagi temui lagi." ujarnya sembari matanya menatap jalanan melalui jendela.
"Aku bahkan berharap di senja itu ada dirimu disetiap pemandangannya hingga aku selalu ingat akan hadirnya dan bisa kutemui kapanpun yang kumau." tanpa sadar Titania tersenyum mendengar respon abani mengenai syairnya tadi.
"Kamu sedang mengharapkan pelangi ditengah badai?"
"Tentu tidak. Aku sedang menunggu datangnya pelangi setelah hujan deras. Bukan ditengah badai."
"Kamu masih mengharapkan aku sebagai langitmu?"
"Tentu. Tetapi bukan sekarang tetapi saat kamu sudah terlepas pada bayang-bayang itu."
Titania mamatung mendengar perkataan abani, itu berarti laki-laki itu sudah tau apa yang selama ini ia sembunyikan dalam keluarganya kecuali eyangnya yang memang sudah tau sejak Titania ada disana.
"Siapa yang memberitahumu tentang itu?" lirihnya pelan.
"Eyangmu, dan yang pastinya aku tidak masalah tentang itu" hati Titania menghangat bahkan senang mendengar kata itu.
"Lalu bagaimana dengan keluargamu?"
"Aku akan meyakinkan mereka akan hal itu. Percayalah." walaupun suara Titania seperti bisikan tetapi abani masih mampu mendengar setiap perkataannya.
"Bukankah aku memang tidak pantas bernapas semesta? Aku benar kan?"
Titania dapat mendengar hembusan napas kasar abani, apa mungkin laki-laki itu benar-benar akan menyalahkannya?
"Kamu pantas Titania, dan apa yang kamu lakukan adalah kesalahan besar."
"Nia ada handuk?"
Mendengar suara aloka Titania refleks mematikan sambungan teleponnya dengan abani bahkan terlihat panik selama beberapa saat.
"Kamu cepat sekali mandinya?" tanya Titania sebelum Aloka menaruh curiga atas tingkahnya yang aneh.
"Males kramas. Tapi tetap aja kena rambut padahal udah pendek gini.", Aloka memegang rambut pendeknya sejenak kemudian mencari handuk mungkin keluarga sahabatnya itu membawa handuk.
"Kacamata kamu mana? Tumben engga dipake." aloka berjalan kearah sofa mengambil kacamata fashionnya kemudian memakainya lalu tersenyum bangga kearah Titania.
Titania hanya memutar bola matanya jengah, sangat malas meladeni kegilaan Aloka dijam seperti ini.
"Kamu tadi teleponan sama siapa? Kok kayak bahas hal rumit?"