Siang itu mereka semua makan sesuai dengan apa yang dibagikan oleh petugas konsumsi di Pojok Benteng. Tegar dan Hesty serta keempat kawannya yang lain juga makan bersama. Sudah terlihat tidak ada harapan lagi di tempat itu berkumpul hanya membuat para zombie tertarik dan berjalan menuju ke arah sana karena mendengar suara tembakan.
Naki keluar dari kamar mandi dan merasa tangannya nyeri. Sudah beberapa kali dia keluar masuk kamar mandi untuk memeriksa bekas lukanya. Bekas luka yang disebabkan oleh gigitan zombie itu sepertinya sedang menjalar ke seluruh tubuhnya.
“Duh, mengapa tubuhku jadi panas dingin seperti ini?” ucap Naki pada dirinya sendiri. Apakah mungkin kali ini reaksi gigitan Zombie akan lebih cepat terlihat daripada hari sebelumnya? Naki ketakutan dan memikirkan semuanya itu sendirian.
Wisnu mencoba mencari tahu berapa besar kemungkinan mereka masih bisa bertahan di Pojok Benteng. Persediaan s*****a maupun makanan sudah menipis padahal total warga yang berada di sana sekitar lima puluh orang belum termasuk tentara dan polisi yang berjaga. Sama saja di tempat ini adalah bunuh diri massal karena dengan berkumpul banyak orang para zombie lebih mudah mengetahui dimana keberadaan manusia yang masih hidup.
Suara tembakan pun terdengar menggema pasti lebih banyak lagi sambil yang akan datang ke arah Pojok Benteng. Itu yang dipikirkan oleh Wisnu, dia harus segera bertindak. Lelaki tentara angkatan darat itu kembali ke tempat orang yang tadi bersamanya.
“Apakah kau sudah mempunyai ide untuk pergi dari sini?” tanya Wisnu kepada Tegar.
“Iya aku dapatkan ide untuk pergi ke perbatasan Kulon Progo. Kita bisa lewat jalur Bantul Selatan, di sana jalan masih luas dan sedikit rumah berpenduduk. Kemungkinan besar adanya Zombie masih sedikit,” jawab Tegar dengan penuh perkiraan yang matang.
“Ide bagus, Tegar. Kita akan bawa mereka semua?” Hesti menatap ke arah Tegar. Kali ini tidak mungkin mereka membawa semua orang bersama lebih dari sepuluh orang akan sulit untuk mengelabui para zombie.
“Tak mungkin! Bawa mereka semua sama dengan bunuh diri!” sahut Edo dengan logis. Dia tidak mau nyawanya terancam bahaya.
“Hesti, sabar dulu. Memang ini tak mudah, tetapi dalam mengambil keputusan ada sesuatu yang harus dikorbankan,” lirih Tegar memberikan pengertian kepada Hesti. Dokter muda itu pun menundukkan kepalanya dan terdiam. Dia teringat tentang orang-orang yang berada di atas atap gedung rumah sakit. Bagaimana nasib mereka semua karena sudah ditinggal ke sini? Sekarang mereka akan melakukan hal yang sama kabur dan meninggalkan orang lain dalam bahaya.
Bondan pun bertanya pada Wisnu. “Hei, tentara ... Masih berapa amunisimu? Apa cukup untuk kabur dari sini?”
Wisnu pun duduk di samping Bondan. “Tidak banyak. Sudah banyak di gunakan untuk menolong keluarga di mobil kemarin. Mereka tidak ada di sini. Apa mereka pergi ke tempat lain?”
“Aku pikir, mungkin saja mereka sudah dimangsa zombie,” celetuk Danny yang ada benarnya juga.
“Mungkin ... Bisa jadi begitu. Bantuan tidak akan datang. Aku sudah memberi pertanyaan kepada beberapa tentara yang berjaga di atas. Kita terjebak jika terus di sini.” Wisnu pun berpikir dan memutuskan mengikuti ide dari Tegar untuk pergi ke tempat perbatasan terdekat. Mungkin mereka akan pergi seperti tadi hanya berenam saja. Tidak mungkin membawa orang lebih dari ini.
“Mobil sudah tak ada. Kalau jalan sama saja bunuh diri,” gerutu Edo yang selalu berpikir negatif.
“Kita bisa dengan berjalan kaki ke sana, tetapi membutuhkan waktu lebih lama dengan berpindah gedung satu ke gedung lainnya. Saat malam hari kita bisa berjalan dan saat matahari bersinar kita bisa mencari gedung kosong untuk tempat tinggal sementara, bagaimana?” jelas Tegar dengan pemikirannya. Memakai mobil pun akan menarik perhatian zombie dan menyusahkan jika terpojok. Lagi pula mobil Bondan sudah ditinggalkan agak jauh, bukan?
Wisnu langsung berdiri dan mengangguk tanda setuju. Dia pun berlalu pergi untuk mencari amunisi untuk bekal perjalanan panjang nanti. Entah harus meminta atau mencuri, dia akan lakukan untuk keluar dari kota ini secepatnya.
Edo, Bondan, dan Danny pun setuju. Mereka semua bersepakat akan pergi dari tempat itu nanti malam. Makin lama tinggal di sana semakin sedikit kesempatan untuk selamat apalagi info tentang blokade kota sudah terdengar dari Kapten. Hesti masih terdiam dan bingung dengan semua itu. Dia bersedih karena melihat sekitar lima puluh orang yang selamat di sana. Bagaimana kondisi mereka selanjutnya jika ditinggal pergi?
Bantuan yang lambat pun membuat orang-orang yang selamat semakin berkurang. Entah itu karena tergigit oleh Zombie atau tidak bisa bertahan karena kondisi wabah. Hesti tahu keadaan ini sangat sulit bagi semua orang apalagi pemerintah yang kacau karena mayoritas penerima suntikan adalah aparat pemerintah. Sekitar lima puluh persen lebih aparat pemerintah di kota-kota besar sudah mendapatkan suntikan dan tentu saja kemarin berubah menjadi zombie.
***
Sore harinya ....
Waktu menunjukkan pukul enam petang. Naki menggigil dan merasa kesakitan. Kapten dan beberapa polisi mengamankan Naki dan meminta Hesti untuk memeriksa terlebih dahulu. Saat Hesti meminta Naki untuk membuka pakaian dinasnya, lelaki itu langsung marah dan menolak. Hesti pun semakin curiga apakah ada bekas gigitan yang disembunyikan oleh Naki.
“Tolong buka baju dinasnya. Aku akan memeriksa semua,” pinta Hesti pada dua polisi yang menemaninya.
“Baik, Dokter," jawab dua polisi yang menemani Hesti memeriksa Naki.
Naki meronta dan berusaha menolak. Namun tetap saja semua yang ditutupi akan terlihat. Kapten pun terkejut saat melihat bekas luka di tangan kiri dan guratan biru yang menjalar ke sekujur tubuhnya berasal dari bekas luka yang tertutup perban itu.
“Di-dia ... Terinfeksi! Sejak kapan kau digigit?!” tanya Kapten yang menutupi rasa paniknya.
“Brrrr .... Brrr .....” Naki tidak bisa menjawab karena merasa kedinginan meski tubuhnya demam tinggi.
“Semuanya ... lebih baik kita mundur atau tempatkan Naki dalam isolasi. Menurut kejadian di rumah sakit kemarin, semua pasien yang masuk mengalami pertanda yang sama, yaitu demam tinggi, kejang-kejang, dan kemudian tak sadarkan diri. Mereka menjadi zombie,” jelas Hesti yang takut kejadian kemarin terulang lagi.
Kapten pun memerintahkan semua orang untuk ke ujung. Naki hendak dieksekusi untuk ditembak mati. Meski dia masih setengah sadar, mau tak mau harus bertindak tegas demi keselamatan yang lain.
“Cepat eksekusi Naki!” perintah Kapten pada dua polisi.
Naki di bawa ke bawah dan kepalanya ditutup dengan kain dan diikat. Seperti mengeksekusi napi dengan hukuman mati. Saat hendak menembak, Naki kejang-kejang. Entah mengapa efek gigitan zombie bereaksi sangat cepat kali ini. Apakah mutasi begitu cepat hingga perubahan manusia yang tergigit zombie menjadi lebih singkat? Apakah mungkin hal itu terjadi?
“Cepat tembak! Dia kejang-kejang!” perintah Kapten. Dua polisi yang hendak mengeksekusi pun tidak tega menembak mati kawan seperjuangannya.
“Ayo tembak.”
“Kau saja.”
“Mana kalau kalian tidak berani menembak!” Kapten segera merebut pist*l yang dibawa salah satu polisi itu dan menodongkan ke arah Naki yang kejang-kejang. Ternyata Naki sudah melepaskan ikatan kain di kepalanya. Dia pun menggeram karena kehilangan kesadaran.
“Graaa .... Graaa .....”
Mata Naki mulai berubah tertutup selaput putih. Dia terlihat berubah menjadi makhluk mengerikan yang siap menggigit manusia lainnya.
Dor! Dor! Dor!
Suara tembakan tiga kali bergema. Kapten menembak Naki, tetapi jalannya begitu cepat hingga tidak kena tepat sasaran. Akhirnya Naki berlari dan justru berhasil menggigit tangan kanan Kapten.
“Aaaaa!” teriak Kapten yang kemudian menembak kepala Naki.
Keadaan menjadi panik. Orang-orang yang sudah berada di ujung atas Pojok Benteng ketakutan melihat kejadian itu. Bahkan satu persatu zombie yang berada di kejauhan mulai mendekat ke arah mereka karena mendengar suara tembakan. Tegar segera memberitahu yang lainnya untuk bergegas pergi dari Pojok Benteng. Petang ini juga mereka harus kabur dan lari dari sana sebelum diserbu oleh gerombolan zombie yang berlomba-lomba berjalan ke arah mereka.
“Ayo kita bergegas pergi! Kita tidak ada waktu lagi,” ajak Tegar kepada Hesti, Bondan, Edo, dan Danny. Sedangkan Wisnu berlari setelah mendapatkan beberapa amunisi.
“Ayo!”
Petang itu, kejadian tragis terjadi. Satu per satu zombie mendekat dan menyerang. Para penjaga di Pojok Benteng atas segera menembak beberapa kali. Namun masih saja datang dan zombie itu sampai masuk ke garis merah.
Tegar mengajak mereka keluar dari tangga belakang dan lari ke arah jalan yang gelap. Hesti menangis meninggalkan orang-orang yang masih ada di sana dan berlarian tak tentu arah. Dia merasa bersalah tidak bisa membantu orang lain.
Para warga yang selamat berlarian tak tentu arah dan banyak orang yang tertangkap dan digigit oleh zombie. Keadaan mengerikan seperti terjebak dan diburu satu per satu orang yang tersisa oleh zombie. Teriakan korban dan geraman zombie terdengar jelas.
Tegar memegang erat tangan Hesti sambil berlari. Bondan berada di belakang mereka berdua. Wisnu pun menyusul. Sedangkan Edo dan Danny kesulitan pergi karena keadaan yang panik dan kacau membuat orang lain pun berusaha lari dari Pojok Benteng. Saat hendak berlari, Danny hampir tergigit zombie karena Edo mendorongnya. Untung saja Wisnu tahu dan segera menembak zombie itu tepat di kepalanya.
“Ka-kau ....” Danny menatap Edo yang kemudian meninggalkan dirinya. Danny segera bangkit dan berlari ke arah jalan gelap yang dipilih untuk melarikan diri oleh Tegar dan yang lainnya. Kakinya terkilir saat dia jatuh.
Sesampainya di sana, mereka masih berlari dan menuju ke arah swalayan. Danny mengejar Edo dan langsung memukulnya tepat di wajah. “s****n kau! Tadi kau sengaja mendorongku, kan?!” kata Danny penuh emosi kepada lelaki pengusaha yang licik itu.
“Hei, tenang. Jangan bertengkar,” ucap Bondan langsung memisahkan Edo dan Danny.
“Dia mendorongku tadi! Dia sengaja!” Danny masih tidak terima dengan apa yang Edo lakukan.
“Aku tahu. Maka dari itu, aku menembak makhluk itu. Sudah biarkan saja dia. Bertengkar hanya akan menarik perhatian zombie ke sini. Kita harus berlari ke arah Selatan lebih jauh lagi,” kata Wisnu sambil menatap tajam arah Edo.
Meski salah, Edo tidak merasa bersalah sama sekali. Baginya hal seperti itu adalah wajar. Menyelamatkan diri sendiri adalah hal yang penting apalagi saat seperti ini. Edo pun dendam karena Danny memukul wajahnya di depan orang lain. Dia merasa harga diri terinjak-injak.
Suara teriakan, geraman zombie, serta tembakan berganti-ganti terdengar dari arah Pojok Benteng. Beberapa orang yang lari pun entah pergi ke arah mana. Bahkan mereka berenam belum berhenti berlari menjauhi Pojok Benteng yang sudah dikepung oleh zombie.