Setelah lari cukup jauh selama hampir satu jam, akhirnya mereka berhenti di sebuah gedung gelap dan kosong di arah Selatan. Sepertinya gedung ini bisa digunakan untuk berlindung. Begitu yang dipikirkan Tegar. Lelaki gagah itu pun mengajak Wisnu untuk mengecek dalam gedung.
"Tegar, sepertinya kita harus istirahat. aku kurang enak badan," ucap Hesti yang terlihat pucat.
“Iya, Hesti. Sabar ya. Kalian semua di sini dahulu. Aku titip Hesti sebentar. Biar aku dan Wisnu cek dulu gedung ini. Sepertinya cukup aman untuk tinggal. Jika aman, kita bisa memakainya untuk berlindung sementara. Tunggulah di sini,” kata Tegar yang melihat malam mulai menjelang, tetapi dingin hingga menusuk tulang. Kalau mereka paksakan untuk berjalan, kemungkinan terlalu lelah.
Apalagi melihat kondisi Hesti yang pucat. Tegar tidak tega melanjutkan perjalanan. Untung saja Wisnu juga setuju untuk istirahat sejenak mengingat tadi malam mereka pun belum tidur dan melewati hari yang buruk dan penuh perjuangan.
“Ayo!” sahut Wisnu. Dia membawa amunisi cukup banyak dari Pojok Benteng. Tentu saja hasil mengambil secara diam-diam untuk melindungi diri sendiri dan kawanannya. Entah mengapa Wisnu memilih berkelompok dengan kelima orang itu. Sepertinya dahulu Wisnu bukan lelaki yang peduli dengan orang lain. Namun kini ada rasa solidaritas yang mengikatnya pada orang yang dia pun belum kenal secara baik.
Tegar dan Wisnu masuk ke dalam gedung. Mereka berdua mengecek keadaan di dalam gedung dengan saksama. Sampai akhirnya mereka menemukan tempat strategis untuk bersembunyi di lantai dua. Ruangan itu cukup tertutup dan ada akses jendela di sebelah selatan utara dan depan. Andai kata mereka terpojok mereka bisa melarikan diri dari jendela tersebut.
“Bagaimana?” tanya Tegar pada Wisnu soal ruangan untuk bersembunyi itu.
“Ok. Tak apa. Nanti kau cek kawanmu. Sepertinya Danny terluka di bagian kaki kanannya dekat pergelangan,” jelas Wisnu yang ternyata mengamati kelima orang yang bersamanya. Pantas saja Danny kesulitan berlari dan meminta istirahat terlebih dahulu.
Tegar pun khawatir dengan Danny. Apakah dia terinfeksi? Setelah memastikan gedung itu aman, mereka berdua pun keluar dan mengajak keempat lainnya masuk. Tentunya mereka menutup semua jendela dengan kain atau barang agar tidak kelihatan cahaya keluar dari ruangan itu.
“Tegar ... Uhuk ... Uhuk ....” Hesti batuk-batuk sepertinya dia kecapekan dan tidak enak badan karena kehujanan kemarin. Kondisi seperti ini sangat darurat. Melawan wabah virus dan juga zombie. Bertahan hidup sangatlah susah.
“Kau demam? Ada apa Hesti?” Tegar langsung membaringkan tubuh Hesti di sofa dalam ruangan itu.
“Tak tahu. Rasanya ... Aku kedinginan,” ucap Hesti yang terlihat lemas dan wajahnya pucat.
“Aku akan mencari makanan atau minuman yang tersisa di gedung ini,” kata Bondan yang peduli dengan lainnya. Wisnu pun ikut hendak pergi dengan Bondan.
Sedangkan Edo duduk santai di pojokan. Terpisah dengan Danny yang duduk dekat Hesti dan Tegar. Edo terlihat tidak suka pada Danny.
“Danny ... Ada apa dengan kakimu? Sepertinya kau kesakitan?” tanya Tegar berhubung lainnya tidak di sana.
“Aku terkilir. Lihat ini. Tidak ada bekas luka, kok,” jawab Danny yang kemudian meluruskan kakinya dan menunjukkan kepada Tegar yang masih membantu Hesti. Tegar pun melihat pergelangan kaki Danny dan dia tidak menemukan bekas luka sedikit pun.
“Oke baiklah. Kamu beristirahat saja.”
Tegar yang menyimpan beberapa obat antibiotik dan Parasetamol di kantong jaketnya pun memberikan kepada Hesti. Danny inisiatif memberikan air minum yang dia sembunyikan tadi dari kelompok di Pojok Benteng.
“Ini ... Aku punya air putih.” Danny membuka tasnya dan memberikan air minum dalam botol itu pada Tegar untuk Hesti minum obat.
“Terima kasih, Danny.”
Sepuluh menit kemudian, Bondan dan Wisnu masuk ke ruangan. Mereka berhasil membawa makanan dan minuman serta ada kompor listrik dan panci, gelas, mangkok, serta sendok garpu. “Lumayan ada ini semua,” kata Bondan tersenyum lebar.
“Iya. Mari kita seduh air untuk membuat minuman hangat,” ajak Wisnu. Ketika yang lain mencoba untuk melakukan apa saja yang bermanfaat, Edo justru di pojokkan mengambil tempat yang hangat dan menemukan sebuah selimut untuk tidur. Dia tidak memikirkan Hesti yang sedang sakit demam dan juga Danny yang kakinya terkilir. Sifat Edo yang egois mulai terlihat jelas.
Saat Edo pura-pura tertidur, Danny pun mulai bercerita. Dia tak ingin membuat Edo makin membencinya, tetapi ini semua harus diceritakan.
“Sebenarnya ... Naki sudah tergigit sejak awal kerusuhan. Dia terkena di bagian bahu kanan dan berhasil selamat karena dia membuka luka itu dan memberi alkohol dan obat merah serta perban untuk menghambat penyebaran. Aku dengar ini semua dari Kapten sebelum mengambil tindakan mengeksekusi Naki. Tadi saat mengambil makanan, minuman, dan obat, Naki tergigit lagi dan mencoba menutupi dengan hak yang sama. Namun sepertinya dua kali tergigit membuatnya cepat berubah menjadi zombi. Lalu soal tadi ... Edo sengaja mendorongku agar dia bisa keluar dan zombie hampir mengigitku,” jelas Danny sambil menghela nafas, mencoba menahan rasa kesal yang berkecamuk di d**a.
“Sabar, ya, Danny. Kami pun tidak menyangka kalau Edo seperti itu,” ucap Hesti dengan iba. Dia tak habis pikir dalam kondisi seperti ini masih saja ada orang yang mementingkan diri sendiri dan mengorbankan orang lain agar selamat.
Wisnu pun menatap Edo yang tertidur. Dia mengacungkan pist*l ke arah Edo. Tegar pun langsung mencegah. “Jangan! Kau tembak dia, kita pasti mati. Suara tembakan akan bergema dan para zombi menyerbu kita di sini,” cegah Tegar dengan alasan logis kepada tentara tampan itu.
Wisnu pun menurunkan kembali senja*anya. Dia merasa kesal dengan orang seperti Edo. Dia teringat saat pelatihan militer pun ada senior ya h sifatnya sama dengan Edo. Ternyata Edo belum terlelap. Dia hanya memejamkan mata dan pura-pura tidur. Dia mendengar semuanya. Makin benci dirinya terhadap Danny. Dia pun diam-diam merencanakan hal buruk agar Danny bisa lenyap.
"Bagaimana kalau kita saling memperkenalkan diri?" tanya Wisnu yang belum mengenal mereka semua.
"Oke. Aku Tegar seorang teknisi di rumah sakit dan mengalami kecelakaan kerja. Aku baru sadar dari ICU ditolong oleh Dokter Hesti yang cantik ini," jelas Tegar sambil tersenyum.
"Apaan, sih? Ehm ... iya perkenalkan aku Hesti dokter spesialis saraf. Aku bekerja di rumah sakit yang sama dengan Danny dan Tegar." Hesti pun tersenyum.
"Aku Danny seorang satpam. Tidak ada yang spesial. Ha ha ha ... kadang orang berkata aku tidak pantas jadi satpam karena tubuhku yang kurang besar," ucap Danny sambil tertawa kecil.
"Nah, aku ini sama dengan kau. Tidak kenal mereka. Aku Bondan sopir taksi. Terjebak karena mengantarkan orang demam yang berubah menjadi zombie," jelas Bondan masih ngeri mengingat kejadian itu.
"Baiklah kawan-kawan. Terima kasih pengenalannya. Aku Wisnu mungkin tidak terlalu hangat karena kaku. Tapi aku akan membantu kita semua sampai ke tujuan sebisa mungkin." Wisnu pun tersenyum menatap mereka semua.
Edo tetap pura-pura tertidur pulas. Sedangkan yang lain segera meminum cokelat hangat yang sudah diseduh. Meski hanya ada dua gelas, mereka bersyukur dan saling berbagi. Setelah menghangatkan tubuh dengan minuman itu, mereka pun makan roti yang ada. Memastikan perut tidak kosong dan kemudian tidur. Tegar, Bondan, dan Wisnu bergantian berjaga. Sedangkan Hesti dan Danny tidur. Mereka pun memberikan jatah makanan di samping Edo. Meski Edo egois, mereka tidak mau membalas keegoisan itu.
Malam itu, mereka bisa beristirahat dengan tenang meski bergantian berjaga untuk memastikan keadaan di luar. Entah apa yang akan terjadi esok hari, tidak akan ada yang tahu. Tegar memulai berjaga sedangkan yang lainnya tertidur pulas.