Malam itu mereka terpaksa berhenti lagi di dalam ruangan apotek. Mereka hendak melanjutkan perjalanan, tetapi tak tega dengan kondisi Bondan. Melihat kondisi Bondan seperti itu dan sifatnya yang ikhlas menerima justru membuat Tegar, Hesti, dan Wisnu semakin tak tega.
“Sudah, kalian lanjut saja. Tinggalkan aku di sini. Aku sudah tergigit jadinya pasti terinfeksi. Ha ha ha .... Payah sekali aku! Berandai ingin menjadi relawan pun tidak kesampaian,” ucap Bondan yang menertawakan dirinya sendiri, padahal tidak ada suatu hal pun yang lucu.
Hesti menepuk-nepuk pundak Bondan. “Aku tidak akan pernah melupakan jasamu, Bondan. Karena bantuanmu, aku masih bisa melanjutkan perjalanan. Aku pasti akan mewujudkan impianmu,” lirih Hesti di sela tangisannya.
“Eh, jangan menangis. Benar, aku tidak apa. Lanjutkan perjalanan kalian. Lebih baik kalian mengunciku di ruangan ini. Andai kata aku menjadi zombie, setidaknya aku tidak melukai orang lain dengan berkeliaran di luar. Tolong, kabulkan permintaan terakhir ini,” pinta Bondan dengan amat sangat. Dia tidak ingin melukai orang lain kalau sudah tak sadarkan diri dan menjadi zombie.
Tegar mengangguk dan mengerti maksud Bondan. Sungguh mulia hati lelaki yang berprofesi sebagai sopir taksi itu. “Baiklah, kami mengerti. Bondan, jasamu akan kami kenang,” sahut Tegar yang merasa salut dengan keputusan yang Bondan buat.
Wisnu hanya terdiam melihat hal itu. Dia jadi teringat tentang kawan tentaranya saat Medan perang. Dahulu Wisnu pernah di kirim ke peperangan di pedalaman. Kawannya yang bernama Andre berkorban demi menyelamatkan Wisnu. Pengorbanan yang luar biasa karena Wisnu tak sengaja menginjak b*m yang ditanam di tanah.
“Wisnu, jangan bergerak! Biar aku yang memegang b*m itu. Lepaskan kakimu tepat dalam hitungan tiga, ya?” kata Andre pada Wisnu.
“Tapi, Ndre. Jangan ini terlalu berbahaya,” tolak Wisnu yang takut hal yang buruk akan terjadi pada Andre.
“Tak apa. Ayo lakukan, atau kita semua akan mati. Satu ... Dua ... Tiga ....” Andre segera memegang bom itu saat kaki Wisnu diangkat.
“Andre?”
“Cepat kau ajak yang lain pergi sejauh mungkin!” seru Andre yang tak mau kawannya terkena ledakan.
“Tidak! Aku tidak mungkin meninggalkan kau, Andre!” Wisnu sedih karena Andre mengorbankan dirinya untuk satu tim.
“Pergi! Kumohon! Satu pesanku, jadilah orang yang mau membantu orang lain. Jadilah orang yang lebih baik dari sekarang karena masa depanmu masih panjang,” ucap Andre membuat Wisnu tak bisa menahan meneteskan air mata karena terharu.
“Andre ... Baiklah aku berjanji akan melakukan apa yang menjadi pesanmu. Aku akan mengingat selalu apa yang telah kau lakukan hari ini Andre. Terima kasih banyak,” kalimat terakhir yang Wisnu ucapkan sebelum berlari bersama timnya meninggalkan Andre sendirian.
Pengorbanan itu selalu Wisnu ingat. B*m benar meledak setelah Wisnu dan timnya menjauh dari lokasi tadi. Pengorbanan Andre yang membuat hatinya sedih dan merasa tak berdaya. Seperti saat ini melihat pengorbanan Bondan kepada Hesti membuat Wisnu teringat terhadap kejadian itu.
“Bondan terima kasih banyak atas segalanya. Sebentar lagi kami akan pergi menuju ke selatan. Seperti yang kau katakan kami akan menutup pintu ini dan memujamu di sini.” Wisnu hanya bisa mengatakan hal itu karena dia sudah tidak sanggup lagi. Teringat oleh Andre membuat hatinya kembali sakit.
Maka dari itu sekarang Wisnu menjadi orang yang lebih hangat. Tidak sedingin dahulu, biasanya dia tidak memedulikan orang lain. Semenjak kejadian pengorbanan Andre, dia berusaha untuk lebih peka kepada orang lain. Seperti yang dipesankan oleh Andre agar bisa bermanfaat bagi orang lain dan mau membantu orang lain.
Hesti masih menangis tak tega meninggalkan Bondan sendirian di dalam ruangan itu. Tegar mencoba memberi nasehat agar Hesti pun mau merelakan hal yang sudah menjadi pilihan Bondan.
“Sampai jumpa kawan-kawan. Aku harap kalian semua selamat dari musibah ini,” kata Bondan terakhir kali sebelum yang lain keluar dari ruangan.
“Sampai jumpa, Pahlawan Bondan,” ucap Wisnu yang kemudian keluar ruangan disusul Tegar dan Hesti.
Bondan tersenyum melambaikan tangan sebelum pintu ditutup dan dikunci dari luar. “Terima kasih, Bondan,” lirih Hesti terakhir kalinya.
Mereka pun menutup ruangan itu dan menguncinya dari luar. Bondan akan tetap berada di dalam ruangan itu. Hesti pun berjanji dalam hati andai kata ada obat penawarnya, dia akan kembali ke tempat ini menyelamatkan Bondan.
Tegar, Hesti, dan Wisnu pun melanjutkan jalan ke arah Selatan. Mereka berusaha sebaik mungkin untuk selamat dan mewujudkan apa yang diimpikan Bondan agar pengorbanannya tidak sia-sia.
***
Di sisi lain ....
Suara sesuatu pecah terdengar hingga ke dalam ruangan tempat Edo bersembunyi. Ternyata lampu di depan minimarket itu meletus. Entah meletus sendiri atau karena hal lain.
Beberapa saat kemudian ada lampu menyala terang di gedung yang jauh dari minimarket. Otomatis para zombie berjalan ke arah cahaya itu. Edo mengintip dari balik pintu, melihat apa yang terjadi di sana. Dia lapar karena makanan yang diambil untuk bertahan hampir habis. Setelah memastikan para zombie pergi dari depan minimarket, Edo pun keluar dan mengambil beberapa makanan dan minuman lalu kembali ke dalam ruangan itu untuk sembunyi. Dia terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan.
“Setidaknya aku tidak akan mati kelaparan atau mati karena gigitan zombie di sini,” lirih Edo bicara pada dirinya sendiri.
Saat Edo masuk ke dalam ruangan, dia mendengar ada yang bergerak di dalam minimarket. Dia takut karena mengira itu adalah zombie. Dia pun mengintip dari balik pintu dalam ruangan.
“Apakah itu zombie?” bisik Edo yang takut, tetapi penasaran.
Ternyata seseorang sedang mengambil bahan makanan dan beberapa barang di dalam minimarket. Orang itu menggunakan pakaian serba hitam, jadi tidak begitu kelihatan dengan jelas. Itu bukan zombie! Edo ingin bertanya pada orang itu tetapi tidak berani.
Orang itu pun bergumam, “Untung saja aku sudah ahli dalam hal seperti ini. Dasar menyusahkan hidup yang sudah susah saja!”
Edo yakin kalau orang itu salah satu yang selamat dan berhasil bertahan hidup beberapa hari ini. Orang itu pun mengambil banyak barang, makanan, dan minuman ke dalam tas ranselnya dan kemudian hendak pergi.
“Tunggu!” cegah Edo yang langsung keluar dari ruangan persembunyiannya.
“A-apa? Ada orang di sini? Apa kau tergigit?!” tanya orang berpakaian serba hitam itu pada Edo.
“Tidak. Aku aman. Tolong bantu aku. Bawa aku bersamamu dan kawananmu,” pinta Edo kepada orang itu.
“Kawanan? Tidak ada. Aku hanya sendirian dan aku tidak akan mengajakmu. Berkelompok hanya akan menghambat perjalanan!” ucap orang itu dengan pongah.
Edo kembali meminta kepada orang itu. Namun hasilnya nihil. Orang itu tak mau mengajak Edo dan kemudian meninggalkannya. Edo mengamati ke mana arah orang itu pergi. Ternyata dia menggunakan motor trill yang sudah dimodifikasi tidak bersuara berisik. Arah perginya orang itu ke selatan, seperti yang Tegar dan kawan lain lakukan. Edo pun bertekad akan berjalan ke Selatan juga.
“Dasar orang angkuh! Baiklah, aku akan menuju ke selatan juga. Pasti ada orang lebih banyak yang selamat,” ujar Edo pada dirinya sendiri.
Baru kali ini dia merasa sangat kesal dengan penolakan. Ternyata bertahan sendirian itu bukan hal yang mudah bagi Edo. Biasanya dia mempunyai orang yang disuruh atau diperintah. Dia juga punya orang yang menyediakan apa yang menjadi kebutuhannya. Sekarang, dia harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup dan juga menghindari zombie serta wabah virus.
***
Tegar, Hesti, dan Wisnu masih berlari sejauh mungkin ke arah Selatan. Mereka sudah berlari dan berjalan lebih dari satu jam. Mereka pun berhenti untuk mencari tempat istirahat dan untuk mencari asupan makanan.
“Sepertinya di sana aman. Aku akan melihat kondisi di sana,” kata Tegar dengan berani.
“Oke, baiklah. Aku akan menunggu di sini sambil mencari tempat untuk mengambil makanan atau minuman,” jawab Wisnu yang mengajak Hesti sembunyi.
Tegar berlari ke gedung kecil yang gelap dan terlihat aman. Karena malam, zombie hanya berkumpul di tempat yang bercahaya dan menarik perhatian. Ini menjadi hal yang menguntungkan bagi mereka bertiga.
Wisnu juga memeriksa kanan dan kiri untuk memastikan ada tempat untuk mengambil makanan atau tidak. Lelaki itu pun tak sengaja melihat seseorang mengendarai motor dengan cepat tanpa suara yang berisik.
Wussshh ....
Wisnu terkejut dan tak percaya ada yang selamat dan menggunakan motor di tengah kota yang kacau ini bahkan tidak dikejar oleh zombie. “Kau lihat yang barusan lewat?” tanya Wisnu pada Hesti untuk memastikan.
“Iya. Itu orang mengendarai motor, kan? Dia memakai serba hitam. Cerdik sekali,” jawab Hesti yang juga melihat orang itu lewat.
“Kalau begitu, masih banyak yang selamat,” ucap Wisnu menjadi optimis.
Tegar pun kembali ke tempat Hesti dan Wisnu menunggu. “Ayo! Tempatnya aman. Ada satu ruangan tertutup yang bisa kita gunakan tanpa menarik perhatian zombie. Di sana juga ada beberapa bahan makanan yang masih bisa dikonsumsi,” ajak Tegar pada kedua temannya.
Tak disangka gedung yang diperiksa Tegar justru bagus untuk bersembunyi dahulu. Mereka juga lelah berlari. Mereka akan istirahat beberapa saat dan melanjutkan perjalanan lagi setelah makan dan minum.
“Baiklah, ayo kita ke sana,” jawab Wisnu yang segera berjalan ke sana.
Keadaan malam jauh lebih baik dari pada pagi atau siang. Zombie itu hanya berkerumun di tempat yang terang atau berisik saat malam hari. Mereka tidak berkeliaran ke mana-mana seperti kalau saat ada sinar matahari.
Tegar, Hesti, dan Wisnu pun masuk ke gedung itu dan langsung ke dalam ruangan yang sudah dicek Tegar terlebih dahulu. “Kita istirahat di sini sejenak,” ucap Tegar yang sudah memastikan ruangan itu aman.
Wisnu pun meminta Tegar dan Hesti tetap di dalam ruangan saja. Dia akan mencari makanan dan minuman untuk konsumsi bertiga. Hesti dan Tegar pun mengangguk tanda setuju.
Wisnu mengecek ke bagian dapur gedung itu dan menemukan bahan makanan yang bisa dikonsumsi. Sebenarnya tentara tampan itu masih berpikir soal melihat orang yang menggunakan motor tadi. Apakah orang itu memodifikasi motornya agar bisa digunakan saat malam? Suaranya pun nyaris tak terdengar. Meski tanpa lampu, orang itu bisa melesat dengan cepat yang berarti sudah hafal jalanan. Apakah ada orang lain selain orang tadi yang selamat? Pertanyaan itu berkecamuk di kepala Wisnu.