Satu

1959 Kata
Satu Sangat tidak mengenakan tinggal satu atap dengan orang yang kita cintai diam-diam. Hanya bisa menatapnya dalam diam, memperhatikan setiap aktivitasnya dari kejauhan. Tersenyum saat dia tertawa riang, walaupun tawanya bukan untuk dirinya. Bahkan ikut merasakan sakit, saat Si Dia terlihat murung dan bermuram durja. Arkana Lazuardy, pemuda dua puluh empat tahun itu terlihat syok bukan main saat mengetahui rencana pernikahan kakaknya. Bukan karena mendadak, akan tetapi dia masih belum bisa menerima kenyataan. Bahwa calon kakak iparnya adalah wanita yang juga dia sukai. Wanita cantik berkulit putih dengan wajah flatnya, namun sudah berhasil menjungkir balikan perasaannya. Dia yang selama ini belum pernah sekalipun memiliki pacar, harus menelan kekecewaan yang begitu dalam. Wanita itu. wanita yang Arkana lihat pertama kali, pada saat dia mengikuti kakaknya untuk mengambil alih perusahaan keluarga Wijaya. Wanita cantik yang terlihat tak acuh dan judes. Arkana langsung jatuh hati pada pandangan pertama, walaupun dia selalu diacuhkan Si Wanita, bukan cuma acuh, bahkan menatapnya saja wanita itu tidak pernah. Arkana baru mengetahui sebuah fakta, saat kakaknya membawa wanita itu ke mansion Lazuardy, ternyata sang kakak dan wanita itu tinggal di tempat yang sama. Di sebuah perumahan sederhana yang jauh dari tempat tinggal mereka. Arkana juga baru tahu, jika wanita itu adalah putri bungsu keluarga Wijaya. Pantas saja kakak keduanya begitu, mudah mengambil alih perusahaan itu karena atas izin sang pemiliklah perusahaan itu beralih pada keluarganya. Rupanya tidak ada penerus di keluarga wijaya, ketiga anak perempuan Wijaya lebih memilih berkarier sebagai ibu rumah tangga bukan berkarier dalam dunia bisnis. Arkana duduk dalam diam di meja makan, ekor matanya sesekali melirik sosok semampai yang tengah berjibaku di dapur menyiapkan makanan untuk sarapan. Selang beberapa detik kemudian pemandangan indah di pagi harinya harus rusak, sesosok tubuh tinggi merengkuh si wanita ke dalam pelukannya dan mencium puncak kepalanya dengan sayang. ‘Apa mereka gak sadar? Kalau di meja makan ada seorang fakir cinta yang tengah merana, dilanda gundah gulana yang tiada tara.’ Arkana atau yang biasa dipanggil Archie mendengus sebal, kedua matanya menatap kakaknya yang masih memeluk tubuh ramping istrinya. Sabaarrr ... Archie melafalkan jurus ampuh, pereda sakit hati dan baper yang tetiba sering melanda dirinya selama hidup dua puluh empat tahun. Baru kali ini dia dilanda penyakit baper! Bukannya wafer atau lemper, kan lumayan bisa mengenyangkan perut. Selera makannya langsung lenyap seketika, berganti dengan rasa mual. Bagaimana tidak mual kalau di seberang meja makan, disuguhi acara siaran langsung lovey dovey antara kakaknya dan kakak iparnya. Rasanya Archie ingin menghilang saja ke dalam tembok. Ralat! Rasanya Archie ingin kabur saja ke kutub utara sekalian dan hidup damai sejahtera bersama keluarga penguin di sana. Kumenangiiisss ...membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas diriku, kau duakan cinta ini bersamanya ...! Archie mencari-cari arah suara yang baru saja melewati genderang telinganya. ‘Yang benar saja, lagu apaan itu?!’ "Aduh, pagi-pagi beginih, saha atuh anu teteleponan, meni eweuh gawe pisan." Archie menatap Bi Mina yang berjalan menuju lemari kecil di pojok dapur, sembari mulutnya komat kamit ngedumel. Rupanya lagu yang didengarnya tadi bukanlah lagu yang dinyanyikan kakaknya untuk mengejek dirinya, tapi nada dering ponsel Bi Mina. "Bi ...!" Archie memberi isyarat pada bibi supaya menghampiri dirinya. "Ada apa atuh, Kasep? Pagi-pagi udah manggil Bibi, kangen ya?" tanya Bi Mina dengan kepedean setingkat kelurahan. Archie berdecap. Namun tidak bisa marah karena dia tahu Bi Mina itu ceplas-ceplos kalau bicara. "Itu tadi yang di ponsel, Bibi, lagu apaan?" Archie menatap lekat Bi Mina yang mengetukkan jari telunjuknya sendiri di dagu. "Mikirnya jangan kelamaan, Bi," lanjut Archie. "Anu Den, lagu itu looh!" "Lagu apaan?! Kan saya enggak tahu, Bibi." Archie mulai kesal, karena si bibi mencla-mencle. "Sabar atuh, Den ... ini paktor 'U', jadi begini nih, pelupa Bibi teh," jawab Bi Mina. Sesekali dia tampak menggaruk pelipisnya, entah karena gatal betulan atau karena sedang berpikir. "Lagu yang disinetron azab, Den, di tipi yang iklannya ikan terbang itu loh," ujar Bi Mina dengan mata berbinar cerah ceria. Glek Archie menelan ludahnya sendiri dengan kasar, sinetron azab? Apa Bi Mina tengah mempelajari cara mengazab mantan suaminya? "Bi, ngapain sih nonton yang begituan? Sini ponselnya, saya ganti nada deringnya, jangan yang itu." Archie menyodorkan tangannya, meminta ponsel Bi Imah. "Oh no, big big no, Aden. Ini teh lagu yang lagi spiral di medsos, si Aden mah kudet ih, masa yang begini ajah gak tahu." Bi Mina memasukkan ponselnya ke dalam saku daster yang dia pakai. Takut kalau Archie akan mengambilnya dan mengganti lagu yang dia jadikan nada dering tadi. Archie mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan sekaligus. "Viral, Bi. V I R A L! Bukan SPIRAL!" ralat Archie. Dia kadang heran, Bi Mina itu sangat percaya diri. Walaupun sering salah ucap, tapi kalau dibenerin selalu saja ngeles. "Iya atu,h Den, cuma beda tipis doang, maklum saja. Bibi 'kan sudah terlalu dewasa, untuk memahami bahasa-bahasa yang dipakai jaman now inih." tukas Bi Mina, dengan gaya super pedenya. "Udah ahh, Den, cuap-cuapnya. Bibi mau bantuin si Non Zahra dulu ya, keburu Den Cris kelaparan tuh." Bi Mina langsung ngeloyor pergi meninggalkan Archie yang mendelik tajam padanya, baru saja dibatin langsung kejadian. Memangnya yang sudah kelaparan kakaknya saja? Perutnya juga 'kan lapar. Dia yang sudah turun dan duduk manis di kursi makan sedari pagi malah diacuhkan, jangankan makanan diambilkan minuman saja tidak. Nasib seorang jomblo! Catatan: Saha atu anu teeleponan/siapa yang nelpon Meni eweuh gawe pisan/kurang kerjaan Kasep/gantengDua Bi Mina membawa nampan berisi teh manis hangat yang sudah ditambahkan irisan lemon segar lalu menyodorkannya ke hadapan Archie. Helaan napas lega lolos dari hidung mancung Archie, akhirnya si bibi ingat juga memberi dia minuman. Padahal sudah haus dari tadi, kerongkongannya tandus bak gurun Savana dan semakin terasa panas dan agak sedikit nyeri plus gatal, karena harus menelan ludah bolak balik gegara menyaksikan kemesraan kakak dan iparnya. Poor Archie. "Kunaon ngalamun wae, Den?" tegur Bi Mina, sembari meletakan cangkir teh di hadapan Archie. "Meni ciga si ... si, siapa yah?" Bi Mina berdecap kesal, mau menyebutkan nama artis yang sering dia lihat di teve tapi kelupaan lagi. "Bibi mau ngomong apaan sih?" Archie melirik Bi Mina sekilas yang masih berpikir. "Oh iya sad Boy. Mirip sekali sama Aden, hidupnya ngenes pokoknya, Den. Ditinggal kawin sama sahabat tercintanya," cerocos Bi Mina, tanpa melihat ekspresi wajah Archie yang sudah merah kuning kelabu karena dibilang Si Sad Boy. Mau membantah ucapan Bi Mina tapi hatinya mengakui, kalau dia memang rada mirip-mirip seperti itu. Ingat ya .... Catet stabillo kalau perlu, cuma mirip, enggak sama. Archie menyeruput teh manis lemonnya, kedua matanya terpejam seolah tengah menikmati rasa teh buatan si bibi. "Arc, ini sudah jam berapa? Kenapa kamu masih duduk di meja makan?!" teguran bernada ketus kakak keduanya membuat Archie membuka mata dengan lebar. Kakak keduanya kini duduk tepat di hadapannya, di sampingnya duduk sang kakak ipar cantik. "Iyaa, ini juga mau pergi," ucap Archie sinis. Cristian hanya mengedikkan bahu, lalu kembali menikmati sarapannya. Archie mengambil sedikit nasi goreng, yang tentu saja di masak khusus oleh kakak iparnya. Perasaannya sedikit membaik. Entah kenapa hanya dengan menikmati masakannya saja Archie sudah merasa bahagia. "Assalaamu'alaikum, good morning everyone!" Cristian menghela napas dalam sedangkan Archie memutar bola mata malas, begitu mendengar suara seseorang mengucapkan salam. Siapa lagi kalau bukan sepupu lucknut mereka, yang hampir setiap pagi selalu numpang ngopi. ''Wa'alaikumus salam." Mereka menjawab salam bersamaan. ''Pagi, Om, Tante," sapa seorang gadis, yang berpakaian kasual dan berkerudung terlihat sangat manis. "Pagi, Nis, kalian sudah sarapan?" Zahra menatap kedua tamunya. "Udah," jawab si gadis. "Belum," sahut pemuda yang berjalan di belakangnya. "Loh, bukannya tadi Kak Axel udah makan ya?!" ujar si gadis pada orang yang dia panggil kakak. "Tadi 'kan di rumah, kalau di sini kan belum. Kakak cuma mau minta dibuatkan kopi sama ... ehm ..." "Minta buatkan sama Tina." Belum sempat dia menyebutkan nama orangnya, ucapannya sudah disela oleh Cristian yang sudah paham dengan keinginan Axel. "Ck! Pelit amat sih lu, kan gue cuman mau minta dibuatkan kopi doang, bukan minta yang lain." Tidak terima karena keinginannya tidak terpenuhi Axel langsung nyolot. "Lu kira istri gue tukang kopi? Makanya nikah sono, biar gak ngerecokin hidup orang melulu!" bentak Cristian, dia segera meletakan sendok makannya, lalu mengajak istrinya untuk meninggalkan ruang makan yang selalu riuh oleh suara-suara gaduh saudaranya. Axel menghela napas dalam niat hatinya datang ke sana karena sudah rindu dengan kopi buatan Zahra, namun harapannya tidak sesuai dengan kenyataan, Axel hanya bisa menikmati minuman pekat hitam buatan Tina asisten Zahra. "Kak, minumnya cepetan dikit dong, Nisa terlambat masuk kuliah nanti," rengek Nisa. Dia sangat kesal karena setiap hari hampir terlambat gara-gara sopir yang mengantar dia, selalu mampir untuk ngopi dahulu. "Iya, iya, ini juga sudah selesai." Axel meminum cairan hitam kental yang tinggal beberapa tetes saja, walaupun kopi buatan Tina rasanya sangat enak tapi Axel akan membantahnya. Bagi dia hasil buatan tangan Zahra tetap yang paling enak. "Arc, lu gak ngantor ape?" Axel menatap sepupunya yang terlihat tidak b*******h, persis seperti ayam peliharaan pak Tardi, yang terkena tetelo (newcastle desease). "Ke kantor. Nanti rada siangan," ujar Archie masih dengan wajah lesunya. Sesekali terdengar helaan napasnya yang berat. "Lo udah kayak punya penyakit bengek aja, Arc. Dari tadi megap-megap gitu," ujar Axel sembari berlalu. "Sialan, lu, ngatain gue bengek!" teriak Archie dari arah meja makan. Axel melanjutkan langkah kakinya menyusul Nisa yang sudah terlebih dahulu keluar. Sementara Archie masih betah duduk di meja makan sembari melamun. Dia masih memikirkan tentang hatinya yang masih menyimpan nama kakak iparnya sendiri. Rasanya sangat sulit bagi Archie untuk membuang begitu saja perasaan salah tempatnya itu. Walaupun orang yang disukainya tidak pernah menganggap dirinya melebihi perhatian antara kakak dan adik. Tetap saja semua itu masih sering membuat Archie terbawa perasaan. Padahal kalau di pikir lagi kakak iparnya sangat cuek dan jarang sekali bicara, tapi entah kenapa hatinya justru menginginkannya. Terkadang Archie berandai-andai, ya, andai dirinya yang terlebih dahulu bertemu dengan Zahra. Mungkin sekarang dia yang hidup bahagia dengan wanita itu, bukan kakaknya. "Astagfirullah, Aden, ini teh udah jam berapah? Kenapa masih bengong di meja makan atuh?" tegur Bi Mina yang melihat Archie masih duduk manis di kursi makan. Archie kembali menghembuskan napas kasar lalu menggeser cangkir teh yang sedari tadi dipegangnya. "Setengah sembilan, Bi," ujar Archie dengan malas. "Itu tahu udah siang. Nanti Tuan Besar marah atuh, kalau Aden masih bengong di rumah. Aden teh mikiran naon atuh, mikiran kabogoh?" tanya Bi Mina dengan logat medoknya yang khas. Archie hanya menatap wanita paruh baya itu tanpa mengucapkan apa-apa. "Malah bengong deuih, kemarin ayam Mang Ujang bengong di tengah jalan langsung dead, Den," lanjut Bi Mina karena kesal melihat Archie yang malas-malasan di meja makan. Padahal niat si Bibi mau cepat-cepat beberes, supaya bisa menonton tayangan rahasia Ilahi sinetron azab kesukaannya di teve. "Haah, apa Bi?" Mendengar kata mati, membuat kesadaran Archie pulih dengan cepat. "Ya, itu tadi." Bi Mina ngeloyor ke dapur membawa cangkir dan piring kotor dari atas meja makan. "Kata Bibi ada yang mati, siapa? Mantan Bibi ya?" Akibat bengong berkepanjangan Archie tidak begitu menyimak apa yang di ucapkan si bibi tadi. Bi Mina berbalik dan menatap Archie. "Aduh Aden. Please atuh jangan lola begituh. Kan masih muda, ganteng lagi ck, ck, ck. Kemarin ayam Mang Ujang bengong di tengah jalan, ehh mati dia." "Mati sendiri?" sela Archie penasaran. "Ya iya atuh sendirian, cuma si ayam doang. Mang Ujangnya masih ada di belakang, tuh lagi bersihin taman." Archie gemas sendiri mendengar ucapan Bi Mina. "Iya tahu kalau Mang Ujang ada di belakang, maksud saya ... itu ayam mati sendiri atau kena penyakit, Bibi?" "Ke tabrak motor, Den. Dia kan lagi bengong di tengah jalan. Persis kayak Aden tadi, bengang bengong teu paruguh!" Bi Mina kembali melanjutkan pekerjaannya dan mengabaikan Archie, yang kembali melongo memikirkan ucapan Bi Mina. Catatan: Teu paruguh / nggak jelas Deuih, atuh, mah (cuma kata sambung) Mikiran naon/mikirin apa Mikiran kabogoh? /mikirin pacar
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN