Chapter 50 : Freda

1893 Kata
“Ibu, lihat ini!” ucap seorang gadis kecil memberikan sebuah bunga berwarna kuning indah kepada ibunya.  “Wah indah sekali Aalina, darimana kau mendapatkan ini?” Balas ibunya yang juga sedang menjahit sebuah baju. Dia tersenyum menerima hadiah dari anaknya itu. “Aku berjalan-jalan di tengah hutan. Saat aku menengok-nengok ke sekitar. Aku tiba-tiba menemukan bunga ini.” Aalina dengan polosnya berkata kepada Freda ibunya. Karena ia tahu, ibunya pasti ingin sekali melihat keluar, mengingatkannya bahwa hutan Izia benar-benar indah. Sudah beberapa hari ini Freda tidak keluar rumah sama sekali. Saat terkena sinar matahari, temperatur kulitnya berubah menjadi sangat panas. Seakan-akan terbakar. Menggunakan baju yang menutupi seluruh tubuhnya pun juga tidak mungkin, itu justru akan menghanguskan kulitnya dari dalam.  Urfinn, suami Freda dan ayah Aalina bersikeras mencari tahu apa yang terjadi. Namun dia tidak kunjung menemukan solusi apa yang ia ingin cari. Hingga akhirnya tidak ada pilihan lain. Freda harus tetap berada di dalam rumah saat matahari memunculkan tampangnya. Hanya bisa keluar di malam hari bersama kilapan bulan yang redup.  Tugas Urfinn yang menjadi seorang Malvirto tidak membuatnya memiliki banyak pilihan. Dia harus bertanggung jawab mengurus desa namun disisi lain keluarganya sendiri perlu diurus. Tetapi musibah yang dialami Freda memiliki hikmah lain. Ia menjadi bisa mengurus kedua anaknya dan Pollen dengan lebih akrab. Karena sebelumnya, pekerjaan Freda sebagai pengurus para penambang membuatnya jarang untuk mengurusi anak-anaknya. Karena kondisinya sekarang, Freda terpaksa harus mengambil cuti untuk waktu yang tidak ditentukan Gejala pertama yang dirasakan Freda cukup parah. Dia tiba-tiba pingsan tak sadarkan diri saat hendak mencatat syok gemstone. Orang-orang yang berada di dekatnya langsung panik, karena tidak ada tanda-tanda sebelumnya kalau Freda sedang sakit. Mereka pun memutuskan untuk memanggil Urfinn dan membantunya untuk membawa Freda kembali pulang. Sesampai dirumah, Freda masih belum kunjung siuman. Urfinn menyuruh para penambang dan orang-orang yang berada di tempat kerjanya untuk pulan dan membiarkan Urfinn merawatnya sendiri. Mereka semua pun akhirnya berpamitan. Namun sesaat setelah Urfinn kembali ke kamar merawat Freda, tiba-tiba dari wajahnya muncul guratan-guratan cahaya memenuhi seluruh mukanya sampai ke leher, seperti akar serabut namun memiliki ujung-ujung melengkung. Urfinn penasaran, ia pun membuka seluruh pakaian Freda, dan ternyata. Guratan itu memanjang dari bawah pusar hingga dahinya. Bercahaya sangat berkilauan.  Urfinn sangat bingung dan takut Freda mengalami penyakit yang parah, hingga akhirnya ia memanggil Tetua Drehalna untuk mengecek apa yang sedang terjadi dengan istrinya. Namun saat Tetua Drehalna mengecek, ia juga bingung tidak tahu apa yang terjadi. Ia baru pertama kali mendapat penyakit seperti ini. Tetua Drehalna berkata kalau itu mirip semacam kutukan.  Keesokan harinya, Freda telah siuman. Guratan yang ada pada dirinya juga hilang. Namun, Freda lupa dengan apa yang barusan terjadi, ingatan terakhirnya begitu kabur. Ia bertanya apa yang terjadi kepada Urfinn. Urfinn berkata tentang apa yang telah terjadi selama dia pingsan. Freda tidak membalas apa-apa. Pandangannya kosong, seperti sudah tahu apa yang terjadi kepadanya.  “Bukankah sudah kubilang kalau aku melarangmu pergi ke tengah hutan sendirian? Bagaimana kalau ada seekor singa bertanduk besi meloncatimu? Apakah kau pikir bisa lari dari dekapannya?” Freda memegang kedua pundak Aalina dengan erat. Ia khawatir karena satu-satunya anak gadis kecil di rumah ini harus pergi sendirian di hutan.  “Tentu saja,” balas Aalina dengan riang “Ini” Aalina menyerahkan sebuah busur panah kepada Aalina. Busur panah itu memiliki ukuran yang sangat kecil terbuat dari ranting pohon yang sudah memiliki retakan di batangnya. Sementara talinya terbuat dari akar-akar pohon beringin diikat dengan rekat. Di ujung tangkainya, ada dua buah gigi menggantung, mungil dan ada sedikit darah bekas cabutan gusi. Freda menatap Aalina, ia tersenyum dengan gigi geraham bagian belakang dan gigi depannya bolong. Terlihat sangat imut. Freda tidak bisa menahan tawa. Suaranya terdengar sangat keras hingga membuat Aalina bingung. Freda mencoba menahan perutnya, hingga akhirnya terbatuk-batuk. Dia memegang kepala Aalina merasa bahwa putrinya itu bertingkah sangat lucu. Dia tidak mungkin bisa kehilangan dirinya.  Dibandingkan dengan Larion, Aalina memiliki sifat yang lebih mirip dengan ayahnya, seorang yang suka berpetualang dan memiliki keberanian. Meskipun baru berumur 10 tahun, mungkin Aalina memiliki pengetahuan yang lebih besar tentang hutan dibandingkan dengan Freda. “Tentu saja kau bisa melawan singa itu dengan busur panah ini.” Freda tersenyum memandang Aalina Tiba-tiba, suara pintu terbuka dengan sangat keras. Mengagetkan Freda dan Aalina. Mereka pun akhirnya keluar dari ruangan mereka berada. Menuju ruangan depan. “… Bukan rencanaku untuk membawanya sampai kesana. Tolong…” Larion berjalan di belakang ayahnya dengan muka memelas dan memohon-mohon. Sementara tangannya terbuka lebar berusaha membantunya menjelaskan dengan jelas kepada Ayahnya yang ada di depan. “Jika kau menuruti perkataanku, ini semua tidak akan terjadi. Aku sudah muak mengatakan hal itu kepadamu berkali-kali.” Sengau Urfinn dengan alis mengkerut. Waktu ini belum waktunya Urfinn untuk pulang. Namun mereka dengan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Freda bingung dengan apa yang terjadi, sementara ia memiliki matanya kemana-mana mencoba mencari Pollen tidak kembali bersama mereka. “Ada apa ini? Kenapa kau datang dengan marah-marah? Dimana Pollen?” tanya Freda kebingungan. Larion dan Urfinn saling bertatap-tatapan.  Mereka bingung menjelaskan apa yang terjadi kepada Freda. Karena mereka tahu, Freda menganggap Pollen sudah seperti anaknya sendiri. Apalagi dengan kondisinya yang sekarang, dia tidak boleh menerima kabar buruk, karena itu tentu saja akan makin memperparah penyakitnya. “Ini tentang Pollen” Larion berbicara menunduk. “Aku mengajaknya pergi ke desa. Awalnya aku hanya menyuruhnya untuk melihat-lihat di atas pohon. Namun dia meminta lebih, hingga akhirnya dia memaksaku untuk mengajaknya turun ke desa. Aku menyanggupinya, namun dengan syarat dia harus mengenakan sesuatu untuk menutup mukanya. Namun hal yang tak diinginkan terjadi, topinya terbuka, tak sengaja warga desa bergegas takut kepadanya. Namun saat aku berusaha, meraihnya, dia sudah kabur duluan.” Tidak ada pilihan lain, Larion mengatakan hal yang sesungguhnya kepada Freda, meskipun itu mungkin sulit untuk dia terima “Apakah perkataanku sulit untuk kau paham dan dengarkan Larion? Apakah kau tidak mengetahui situasi dari Pollen?” Ketus Urfinn mulai duduk di kursi menahan rasa lelahnya. Freda langsung menghampiri Urfinn, mengelus-elus dadanya agar tidak terlalu rmosi, bersikap dan berseopn dengan kepala yang dingin.  “Lalu dimana Pollen sekarang?” balas tanya Freda. “Aku sudah menyuruh orang-orangku untuk mencarinya. Namun sudah sejak tadi kita tidak menemukannya. Kemungkinan besar dia masih lari dan bersembunyi di dalam hutan.” Jawab Urfinn menatap wajah . Mendengar dengan jelqs, Tubuh Freda tiba-tiba duduk lemas ke lantai. Matanya mengkerut. Rasa panik dan sedih tak tertahankan keluar dari raut mukanya. Tangannya melipat, dia pun berkata. “Tidak jangan di hutan, dia tidak boleh kesana sendirian” Freda mulai menangis.  Urfinn langsung saja ikut duduk menjongkok menatap Freda tepat di matanya. “Jangan khawatir, kita pasti akan menemukannya. Aku benar-benar yakin dengan kemampuan orang-orangku” Larion berjalan mendekati ibunya, namun Urfinn mencegahnya mendekat lebih jauh. Larion benar-benar merasa bersalah.  “Apa kau sudah lupa bagaimana terakhir kalinya Pollen tersesat di hutan? Mendapatkan kembali adalah salah satu keajaiban yang tidak mungkin terjadi lagi, sayangku” Freda tetap menangis tak henti-henti. Pernah suatu ketika saat ikut bermain bersama Larion, Pollen malah tersesat, selama berjam-jam. Membuat Freda dan Urfinn khawatir “Tenang saja ibu, aku akan berusaha mencarinya lagi. Sama seperti dulu, ingat?” Cetus Aalina dengan riang, seperti kehilangan Pollen bukanlah hal yang sulit untuknya. Memang waktu itu saat Pollen hilang, Aalina lah yang menemukannya terjebak diantara rawa-rawa tak bisa melintas sementara buaya berkaki 6 ada di depannya saat itu.  “Ibu, sungguh, maafkan aku, ini semua salahku” Larion meminta maaf kepada Freda dengan sungguh. Freda tak tega melihat anaknya menjadi merasa bersalah seperti itu. Karena dia sesungguhnya masih seorang anak kecil. Walaupun sudah berumur 12 tahun, rasa keingintahuannya pasti masih sangat tinggi. “Tidak apa-apa, Lars… Ini bukan salahmu” Freda mengusap air matanya. Tidak ingin kekhawatiran dan kesedihannya berlarut-larut dan membuat anak-anaknya ikut menjadi sedih. “Aalina, kau tidak perlu mencari Pollen. Biarkan para Prajurit Izia melakukan tugas—“ muntah darah keluar dari mulut Freda. Dia tidak merasakan apa-apa sebelumnya. Bahkan sangat normal dan merasa sehat. Bahkan lebih baik daripada hari-hari biasanya “Ibuu…!” teriak Larion dan Aalina panik melihat ibunya dengan kondisi yang sangat parah. Sementara Urfinn memeluk erat istrinya itu mencegahnya untuk terjatuh. “Oh tidak” Freda melihat tangannya, rak bisa digerakkan dan sangat kaku, saat dia mencoba berdiri, kakinya terasa seperti ada beban ribuan kilo yang menahannya. Hingga akhirnya dari dalam tubuh Freda, guratan itu muncul kembali. Bersinar, namun sekarang menjalar sampai ke seluruh tubuhnya. Hingga tangannya ikut bersinar. “Cepat antarkan aku ke kamar” Ujar Freda kesakitan. Urfinn dengan cepat langsung menggendong tubuh Freda. Karena tubuhnya yang tidak terlalu berat, Urfinn bisa dengan mudah mengangkatnya ke dalam kasur. “Kalian, jangan berisik dan tetap berada di luar kamar ini. Ibu kalian sedang sakit” perintah Urfinn cukup keras membuat dua bocah tadi menjadi muram. Mereka benar-benar khawatir dengan kondisi ibu mereka. “Apakah menurutmu kita harus mencari Pollen?” Tanya Aalina kepada kakaknya. “Ya, tentu saja. Cepat” mereka pin langsung bergegas berlari menuju hutan.  Urfinn membaringkan Freda ke atas ranjang. Dengan batuk-batuk Freda mengucapkan rasa terima kasihnya. “Tangan dan jarinya sudah mulai bisa digerakkan sekarang. Namun kakinya, masih terasa kaku. “Maafkan aku sayangku, ini semua salahku tidak menjaga mereka dengan baik.” Ucap Urfinn menyesal. “Tidak apa-apa, lagipula ini bukan salahmu aku seperti ini.” Freda membalas dengan batuk-batuk membuatnya tidak terdengar begitu jelas oleh Urfinn “Aku perlu menceritakanmu tentang sesuatu, suamiku” Freda masih berusaha berbicara meskipun ucapannya terbata-bata. “Ini tentang aku, dan ‘penyakit’ yang aku derita saat ini” Urfinn bingung dengan ucapan Freda, dia baru pertama kali ini mendengarnya berbicara tentang asal-usulnya. Marena saat pertama kali bertemu, Urfinn tidak tahu siapa Freda sebenarnya. “Apa itu, sayangku?” ucap Urfinn sambil mengusap rambut istrinya ke atas. “Aku bukanlah orang Izia” perkataan itu tidak membuat Urfinn heran. Karena dilihat dari bentuk wajahnya, meskipun sama-sama memiliki kulit putih bersih dan telinga meruncing. Namun ada sesuatu yang membuatnya tidak mirip dengan orang Izia kebanyakan. “bukankah aku sudah tahu itu?” “Tidak bukan seperti itu, aku bukanlah, orang Izia, bukan juga orang Yagonia. Aku juga bukan orang Odessa” Urfinn tidak menjawab bingung dengan ucapan istrinya. “Aku adalah titisan Dewi Matahari” Urfinn kaget dengan tatapan melotot. Dia tidak mengantisipasi jawaban itu sebenarnya. “Bukan benar-benar dewi sih, lebih tepatnya orang yang bukan berasal dari dunia ini” “Sayangku, sebaiknya kau segera tidur, mungkin penyakitmu ini membuatmu berpikiran yang aneh-aneh” Urfinn mencoba menutupi tubuh Freda dengan selimut agar dia cepat-cepat tidur. “Aku tidak gila, aku benar-benar waras. Kau lihat sendirikan tanda yang ada di sekujur tubuhku. Itu bukan tanda biasa, itu adalah tanda pengingatku. Tanda ini akan terus menyebar hingga ke seluruh tubuhku, karena aku, terlalu lama berada di dunia ini. Saat aku pertama kali berada disini aku tidak ingat siapa atau darimana asal-usulku. Aku tidak tahu alasan kenapa aku kesini. Tapi, lama-kelamaan memori itu kembali berkumpul si dalam ingatanku” Freda memegang tangan Urfinn yang masih tidak percaya dengan ucapan istrinya sendiri. “Tapi itu bukan berarti aku akan pergi dan melupakanmu suamiku. Aku akan tetap berada di sini hingga ajal menjemputku”  “Pollen apa yang kau lakukan disini” Ucap Tetua Drehalna menemukan cucunya bersembunyi dibalik pohon. Pollen yang mendengar suara itu langsung datang menghampirinya. “Nenek, aku ingin menjadi seperti yang lainnya nek” ucap bocah kecil itu sambil memeluk neneknya dengan erat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN