28. Tetua Drehalna

1632 Kata
“Tetua Drehalna!” Aalina mendobrak pintu masuk gubuk tua tersebut. Ia melihat seorang wanita berusia cukup tua dengan banyaknya kulit keriput menggelanduti wajahnya berbaring diatas kasur rotan. Bisa dibilang cukup seperti nenek-nenek pada umumnya. Ia berbaring ke arah berlawanan, hingga akhirnya membalikkan badannya mendengar seseorang datang dengan tiba-tiba dari balik pintu masuk gubuknya “Situasi darurat, ada sekelompok orang dari Yagonia yang terluka, kita harus merawatnya” ucap Aalina kepada tetua Drehalna. Tetua itu belum mengatakan apa-apa, dia mengecapkan bibirnya memencongkan ke kiri dan kanan karena rahangnya masih kaku saat ini untuk berbicara. Fisiknya yang sudah tidak seperti dulu perlu beberapa peregangan untuk bisa beraktivitas, termasuk rahang dan mulutnya. Wanita tua itu memegang rahang sebelah kirinya sambil menghadap ke cermin. Mengecapkan mulutnya terus menerus hingga terdengar sesuatu seperti sendi yang berbunyi. Dia pun menganga, rahangnya masih dalam proses pemulihan. Hingga akhirnya terdengar suara sendi yang bertemu lagi. Dia pun bangun dari ranjangnya, mengambil sebuah kerudung untuk menutupi uban dan rambutnya yang sudah mulai rontok kemana-mana. Mencoba mendengarkan kata-kata wanita muda itu sekali lagi “Lakukanlah apa yang harus kau lakukan Aalina, kau harus bisa mandiri tanpa membutuhkanku” Ucap Drehalna sambil mondar-mandir seperti mencari sesuatu dengan langkah sangat pelan membuat seseorang yang melihatnya menjadi tidak sabar “Entahlah tetua, tapi aku merasa ada sesuatu buruk yang akan terjadi” Akhirnya Aalina menceritakan yang ada di pikirannya kepada Drehalna. Dia menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya, dan ia rasa saat ini adalah saat yang genting, bukan yang tepat “Merasakan apa?” balas Drehalna bertanya-tanya. Setelah mondar-mandir cukup lama, dia akhirnya menemukan sesuatu yang ia cari. Tongkat kayu mahoni favoritnya untuk membantunya berjalan dengan lebih cepat “Sulit untuk aku mengatakan ini. Aku bisa merasakannya, namun tidak untuk menjelaskannya. Seperti berada di ujung tenggorokanku, memenuhi ludahku dengan perasaan mengganggu.” Drehalna langsung saja menatap Aalina dengan tajam. Mungkin karena dia memang sudah tua dan wajahnya tak cantik lagi, Namun tatapan mata tetua Drehalna sangatlah menakutkan. Aalina tidak tahu kenapa dia bereaksi seperti itu. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang halus “Jangan bilang Baghil dalam dirimu sudah muncul” Drehalna mendekati Aalina yang terdiam menatapnya. Ia memegang lengan gadis muda itu, seperti sedang memeriksa sesuatu. Matanya melirik kemana-mana. Aalina yang jauh lebih tinggi dari Drehalna tak sengaja mencium rambut rontok penuh uban itu, aromanya sangat bau seperti tak pernah di icip dengan siraman air. Saat Drehalna berkata tepat di depan mukanya, nafas penuh dengan aroma aneh dan busuk mengganggu hidung Aalina. Yang paling normal adalah tentu saja bau badannya, walaupun normal itu tetap terasa buruk, bau-bau orang tua yang hidup sendirian pada umumnya Tapi hal tersebut tentu wajar saja bagi Aalina. Saat datang masuk secara tiba-tiba ke gubuk ini, dia melihat banyak sekali barang-barang yang diletakkan berserakan. Ada kain abu-abu yang jumlahnya banyak sekali menggantung di langit-langit gubuk, kumpulan rempah-rempah yang mengumpul menjadi satu dan mulai membusuk membuat aromanya menjadi tidak sedap, bahkan peralatan-peralatan aneh yang tidak seorang pun bisa mengenalnya. Wajar saja bila aroma busuk melekat di gubuk ini. Rumahnya yang pendek, untuk wanita berbadan jangkung seperti Aalina menyusahkan dia untuk berjalan dengan bebas, dia harus sedikit membungkuk agar bisa masuk. Di seluruh isi gubuk ini cahayanya sangatlah gelap, meskipun saat ini ada siang bolong tanpa awan nakal yang mengganggu. Hanya ada satu sumber cahaya berada di pojok kanan berupa genteng yang terbuat dari jerami kering membuat seisi ruangan menjadi agak lebih mendingan. Aalina berasumsi bahwa Drehalna tidak dengan sengaja menaruh jerami kering menjadi posisinya seperti saat ini. Rumah ini didesain memang untuk membuat orang yang memasukinya merasakan kegelapan Namun ada satu hal yang menarik perhatian Aalina. Sebuah karpet besar menggantung di dinding kayu dengan ukiran yang sangat indah dan mewah. Kontras dengan segala isi di gubuk itu. Bila semua benda di dalamnya tampak kotor dan berantakan, hanya karpet itu benda yang paling enak untuk dilihat. Warnanya yang merah dengan aksen emas di pinggirannya membuat semua orang yang memasukinya pasti akan memperhatikan karpet itu. Tapi yang mengganjal adalah ukiran di dalamnya berupa manusia dengan menggunakan tanduk di kepalanya terlihat mencolok dan menakutkan. Seluruh warga desa tidak tahu apa benda itu sebenarnya, dan Drehalna selalu mengelak bila ditanya soal itu “Lalu apa yang harus kulakukan” Tanya Aalina perihal firasat yang ia rasakan itu. Drehalna  cengkraman tangannya dari tubuh Aalina. Ia terdiam sambil kembali mencari-cari sesuatu di sekitar gubuk berbau busuk itu “Tidak ada” kata Drehalna dengan tegas dan bermuka datar kepada Aalina “Apanya yang tidak ada?” Jawab Aalina kebingungan apa maksud dari teTuanya itu “Tidak ada yang perlu kau lakukan” reaksinya sungguh aneh, Aalina tidak pernah tahu sisi tetua Drehalna seperti ini. Walaupun rautnya tanpa ekspresi, namun pikirannya seperti kemana-mana tak karuan, berbeda seperti yang selalu ia kenal, selalu memiliki solusi atas semua masalah yang ada. Tapi Aalina beranggapan mungkin ini masih siang, badannya yang sudah tua sudah tidak bisa memproses apapun dengan cepat. Perlu waktu baginya.  “Sekarang di mana orang Yagonia itu berada” tanya tetua Drehalna dengan lantang. Dia mengambil baju yang ia sampirkan di atas kasur bersama dengan bantal dan kain yang terlihat seperti jubah namun tanpa bagian untuk menutupi lengan. “Mereka sekarang berada di pos pengamanan. Aku menyuruh para penjaga untuk mengawasi mereka, walaupun mereka adalah orang yang terluka, aku sudah menyiapkan kemungkinan terburuk untuk terjadi” dengan Sigap Aalina menjawab “Baiklah antar aku kesana”  *** Drehalna dan Aalina tiba di pos tempat Laki-laki dan seorang bocah kecil yang tertidur dengan muka merintih. Bulu domba lembut menyelimuti tubuhnya seraya lelaki yang ada di sampingnya terus memandangi bocah itu, sementara di dalam ruangan itu ada 4 penjaga yang berdiri tegak dengan membawa tongkat di masing-masing tangan kiri mereka. Raut muka mereka datar bahkan saat seseorang mencoba menggelitik pinggul mereka mungkin mereka tidak akan tertawa.  Laki-laki itu menyadari kehadiran Aalina dari balik pintu. Ia mendongak ke atas dan mulai berdiri, memberikan semacam penghormatan. Mungkin pria itu tahu bahwa Drehalna adalah pemimpin yang ada disini, dilihat dari penampilan Drehalna saja yang berjalan dengan membungkuk dibantu dengan tingkat untuk melangkah tetapi juga dikawal oleh Wanita cantik dengan tubuh proporsional.  “Selamat Pagi, Ehh nona, madam, Bibi, maaf. Sebaiknya Anda aku panggil apa?” Tanya pria itu dengan sopan sambil membungkukkan badannya berkali-kali. Meskipun penampilannya yang lusuh dan terlihat benar-benar habis mengalami kecelakaan, dia masih bisa bersikap sopan kepada orang lain, apalagi orang yang lebih tua dari dirinya. “Cukup Drehalna saja. Aku bukan siapa-siapa di sini, kau tidak perlu menghormatiku secara berlebihan seperti itu” Lelaki itu tampak tak percaya, namun dia tersenyum dan menjawab balik perkataan Drehalna. Wanita berumur lanjut itu hanya merendah, semua Kaum Izia menghormatinya, bahkan menganggap seperti pemimpin mereka.  Drehalna langsung duduk, dia menghampiri bocah yang tertidur itu, memeriksanya dengan cepat. “Bawakan aku Gemstone di tas ransel yang ada di ranselku.” Dengan cepat, Aalina membawakannya.  “Eh. Maaf Anda tidak perlu repot-repot untuk merawat anakku, kami hanya perlu istirahat di sini untuk beberapa waktu sampai dia sembuh, Aku juga belum memperkenalkan diriku dan kawananku, kami adalah...” Drehalna mengangkat tangannya ke arah Neville mencegahnya berbicara lebih jauh. Dia pun mengambil Gemstone itu, meletakkannya terbuka di atas telapak tangan, meleburkannya bersama sarung tangannya, membuatnya bercahaya sangat terang Sebelum dieksploitasi sebagai sumber energi, Gemstone memang sudah sering digunakan oleh kaum Izia sebagai alat pengobatan. Benda itu mampu mengobati banyak penyakit. Banyak dari kaum Izia yang bergantung kepada Gemstone untuk mengobati luka pada diri mereka. Tak heran, banyak dari mereka menganggap Gemstone adalah benda suci serba bisa yang berguna bagi kehidupan mereka “Aku tak perlu mengetahui siapa dirimu, Tapi anak ini butuh perawatan” Drehalna memegang tangan anak itu, suhunya sangatlah tinggi, gemstone biasa tidak akan mampu menyembuhkannya. Aalina tersenyum, ia tersentuh dengan kemurahan hati Drehalna yang mau menolong bahkan seseorang yang tidak ia kenal Drehalna mencoba mengusap-usap sarung tangannya ke seluruh tubuh. Karena sifat Gemstone mirip seperti air yang mudah untuk dimanipulasi, Ia merubah gemstone itu menurunkan temperaturnya mirip seperti es. Memang tidak mungkin membuatnya langsung sembuh dengan instan, namun Drehalna hendak mencobanya “Kumohon jangan, aku tidak mampu membayar semua yang telah Anda lakukan kepada anakku, barang-barang daganganku telah hancur terbakar. Aku tidak punya apa-apa selain anakku yang terbaring lemah disini” Laki-laki itu memaksa dengan keras mencoba menghentikan tangan Drehalna yang terus saja menaburi tubuh anaknya dengan Gemstone. Semua orang menganggap perbuatan pria itu sangat aneh, apakah pria itu memang tidak menganggap perbuatan Drehalna sebagai bantuan yang tulus “Sebaiknya kau percayakan saja anakmu kepada tetua Drehalna. Dia akan membantu anakmu sampai sembuh, bukan begitu tetua” Kata Aalina dengan sangat yakin. Namun saat pria itu mencegah lengan  Drehalna lebih jauh, Drehalna menatapi wajah pria itu dengan tajam. Sungguh menakutkan hingga pria itu tertegun melaju mundur. Aalina merasa Drehalna merasakan sesuatu. Namun akhirnya, meskipun cahaya gemstone belum habis, Drehalna menghentikan ritualnya “Aku rasa sudah cukup. Anakmu akan baik-baik saja. Kalian semua jaga pria ini dan anaknya, aku tidak mau mereka berada dalam bahaya” Drehalna berdiri dan berbicara kepada semua penjaga dan Aalina yang berada di dalam ruangan. Aalina heran, reaksi Drehalna barusan sangatlah aneh, tidak biasanya ia menghentikan ritual di tengah jalan seperti itu. Gemstone yang tersisa di sarung tangannya masih tersisa lumayan banyak, namun Drehalna melepaskannya begitu saja dan memberikannya kembali kepada Aalina “Apa yang harus aku lakukan kepada ini” Kata Aalina “Cepat bersihkan dan taruh kembali ke gubukku seperti biasa. Aku akan pergi untuk sementara waktu. Jaga mereka baik-baik” dengan begitu saja, Drehalna pergi dari ruangan itu. Pria itu pun berlari, mengejar Drehalna yang hendak keluar dari pintu masuk. Tangannya memegang tangan kiri Drehalna dengan kuat. Namun tak berkata apa-apa. Dia melepaskan tangan Drehalna lagi begitu saja. Laki-laki itu kemudian duduk dan kembali memangku kepala anaknya yang berada di tanah. Dengan nada yang pelan dan rintih, ia bertanya “Kemana kalian membawa pengawalku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN