Setelah diperiksa oleh dokter, ternyata Klarybel sedang mengandung. Leon hampir saja kena serangan jantung mendadak, menganga tidak percaya. Usia janinnya diperkirakan sudah memasuki bulan kedua atau bahkan bisa lebih, pantas saja perasaan Klarybel begitu sensitif dan sering menangis saat bertengkar dengan Leon. Dia moodyan, tidak bisa salah sedikit saja ingin menghajar orang lain.
Leon belum memberitahu siapa pun, termasuk mertuanya dan orang rumah. Leon juga meminta pada dokter untuk merahasiakannya sementara waktu, sampai Leon selesai bicara dengan Klarybel.
Ketika Klarybel bangun, dia langsung terisak pilu menutup matanya. Lalu mengubah posisi membelakangi Leon yang sedang duduk di sofa sambil memegangi gelas kecil berisi alkohol. Jujur saja, Leon cukup stress memikirkan jika saat ini Klarybel sedang hamil. Apa wanita itu juga tidak menyadarinya sama sekali? Dia bertingkah seperti bocah labil belakangan ini, semua itu dipengaruhi oleh jabang bayi.
"Kenapa menangis?" Suara berat dan datar milik Leon memasuki indra pendengaran Klarybel. Tatapan Leon dingin dan menghunus, membuat wanita yang sedang sensitif itu semakin bersedih hati. Tidak bisakah Leon bersikap lemah lembut kepadanya? Baru saja Klarybel membuka mata, kemudian dia sudah disuguhi pemandangan mengerikan dari Leon. Klarybel tahu jika Leon sedang marah.
Klarybel tidak menjawab, menyembunyikan wajahnya dan semakin terisak. Dia ingat pertengkarannya dengan Leon tadi sore, membuat dia tidak sadarkan diri karena merasa begitu sesak pada bagian dadanyaa. Klarybel merasa ada sebuah bom yang berusaha meledak untuk menghancurkan dirinya. Pilu sekali nasibnya bukan? Pernikahan ini benar-benar dihancurkan oleh Leon, suaminya sendiri. Seseorang yang dia percaya dan cintai sama besar seperti Daddynya. Klarybel terlalu mengistimewakan Leon, padahal tahu jika pria itu tidak menginginkannya.
Nahas sekali nasib Klarybel.
"Jika tidak mau menjawab, setidaknya berhenti menangis, Klarybel. Sejak tadi kamu menangis terus, apa tidak lelah? Cengeng!" sindir Leon di akhir kalimatnya. Begitu tajam, membuat Klarybel mengepalkan kedua tangan. Rahangnya mulai mengetat dengan mata memicing murka.
"Keluar dari kamarku!" Klarybel mengusir tak kalah tajam. Kemudian mengubah posisinya menjadi duduk, memusatkan tatapan pada Leon yang justru terlihat santai sekali. "Jangan mendekatiku lagi. Aku nggak sudi melihat kamu di sini. Aku akan bilang Daddy semua kelakuan kamu. Aku nggak peduli apa yang akan terjadi pada kita selanjutnya. Aku nggak bisa sama kamu lagi. Kita bercerai saja!" katanya telak, tanpa mau dibantah oleh siapa pun apalagi Leon. Tidak ada yang bisa menghentikan Klarybel. Dia sangat kecewa.
Leon menaikkan bahu, menaruh gelas itu di atas meja setelah tandas dia minum. "Tidak bisa. Aku akan tetap di sini. Kamu pikir siapa yang bisa menyingkirkan posisiku? Sebagian saham milik Daddy, sudah dialihkan kepadaku. Dia mempercayaiku melebihi siapa pun, mungkin saja kamu ... putrinya sendiri."
Klarybel mengepalkan tangannya, siap menghajar siapa pun setelah ini. "Manusia tidak tahu diri!"
"Kamu hamil."
Setelah itu senyap. Hanya terdengar detik jarum jam yang mengitari ruang lingkar angkanya.
Klarybel menganga lebar, mematung di tempatnya dalam hitungan detik setelah Leon membuka suara dan memberitahu. "A-apa?" Jantungnya berasa jatuh ke perut, lantas memegangi permukaan perut yang masih rata sekali. Tidak buncit, bahkan Klarybel sering melakukan olahraga agar tetap menjadi postur tubuh idealnya. Dia masih ada pemotretan untuk sebuah produk yang akan tayang di stasiun pertelevisian miliknya.
"Kapan terakhir kali kita bercintaa, Klary? Seingatku tidak sampai bulan lalu. Sementara usia bayi itu sesuai pemeriksaan dokter kira-kira sudah dua bulan. Kamu juga sengaja melupakan pil yang aku kasih. Benar-benar mau menjebakku dalam situasi seperti ini?"
Klarybel menatap Leon, tidak percaya jika pria itu meragukan bayinya. "Kamu lupa? Waktu itu proyek kamu yang ada di Bandung mengalami kegagalan cukup besar, lalu kamu setiap hari menghabiskan waktu di club. Kamu selalu mabuk dan pulang bersama wanita. Jangan mengatakan kalau kamu benar-benar lupa. Kita melakukannya di kamar bawah. Kamu yang memaksaku, bukan aku yang merayu kamu. Hanya sekali, setelah itu aku selalu membatasi diri. Takut kamu marah karena aku nggak bisa nolak!"
Apa yang dikatakan Klarybel semuanya benar. Leon sempat stress dua bulan lalu karena terlalu memikirkan kegagalannya pada perusahaan. Leon mengalami kerugian besar. Bukan soal uang, tapi lebih kepada kekecewaan karena Leon gagal melakukannya dengan baik. Dia cerdas dalam bekerja, makanya selalu menjadi andalan Devano. Tapi kemarin adalah kegagalan paling parah yang membuat Leon terguncang. Meski Devano bilang tidak masalah, tetap saja Leon kepikiran.
Syukurlah sekarang proyek itu sudah bisa digarap kembali, Devano telah mengusahakan agar tetap berhasil meski dengan menambah modal sangat banyak. Mertua yang baik, dia menepati janjinya untuk membantu Leon saat berada di posisi terpuruk. Tidak akan membiarkan menantu kesayangannya itu bersedih dan merasa kecewa pada usahanya.
"Aku lupa." Leon menaikkan bahu. "Sebab dua bulan lalu kamu juga tidur di hotel bersama Gema. Aku tidak pernah lupa kejadian itu."
Klarybel langsung menatap Leon, menganga kehabisan kata-kata. Jadi Leon mengetahuinya? Sungguh, Klarybel hanya mabuk dan tidur. Gema juga ada di sofa, dia hanya berniat menolong. Tidak pernah melebihi batas wajar saat bekerja untuk menjaga Klarybel. Andai benar kejadian seperti itu, tidak mungkin Gema masih hidup sampai sekarang. Devano pasti sudah membunuhnya!
"Tahu dari mana? Aku dan Gema nggak melakukan apa pun."
"Memalukan. Untung kecerobohan kamu tidak tercium media dan ketahuan orangtua kamu. Kalau sampai kecolongan bagaimana? Aku tidak mau tahu saat Daddy atau Mommy memarahimu."
"Enggak. Daddy dan Mommy bakal percaya aku. Gema tidak sebrengsekk yang kamu pikirkan, jangan keterlaluan dengan menuduhnya sembarangan!"
"Apa sekarang kita impas?" Leon menaikkan alis. "Sama-sama tidur dengan seseorang kan?"
Klarybel menggeleng cepat. "Aku tidak melakukannya dengan Gema, Leon. Jangan sembarangan menuduh. Aku bukan kamu, manusia paling brengsekk di muka bumi ini. Gema itu baik, dia selalu menjagaku dan memberi rasa aman. Jadi ini yang membuat kamu murka sama aku? Kamu cemburu buta sama Gema?"
"Jangan sok paling benar kamu! Kamu itu jahat, sejak awal aku menikahi kamu juga hanya untuk bersenang-senang, tidak pernah lebih. Makanya aku tidak mengizinkan kamu hamil. Aku tidak menginginkan anak, Klary."
"Terus kamu menyuruhku menggugurkan bayi ini begitu?" Klarybel tersenyum miris. Sakit sekali perasaannya. "Tidak akan. Aku lebih senang kehilangan kamu daripada darah dagingku sendiri. Aku siap bercerai jika kamu memang nggak mencintaiku. Aku akan mengatakannya pada Daddy, dia nggak akan memaksa apa pun jika tahu putrinya terluka. Daddy menyayangiku, meski dia begitu mempercayai kamu."
Leon beranjak dari sofa, menghela napasnya kasar. "Sayangnya kita tidak akan bercerai. Nikmati saja pesakitan ini. Kamu yang memulainya. Aku hanya mengikuti permainan kamu dan takdir Tuhan."
"Takdir apa yang sebenarnya kamu bicarakan, Leon? Kamu sendiri yang menciptakan pesakitan ini, jangan membawa-bawa Tuhan. Kamu yang kayak setann, jangan sok suci!"
"Kamu adalah wanita paling jahat yang pernah aku temui. Dan sial, sekarang kamu malah hamil anakku."
Klarybel memegangi dadanyaa, berusaha tidak menangis lagi. "Jadi kamu tidak sudi mengetahui kehamilan ini? Dia darah daging kamu, Leon. Teganya kamu menyakiti dia juga. Cukup aku aja, jangan anak kita. Persetann dengan semua kebencian dan dendam kamu ke aku, tapi sayangi anak kita. Dia ada karena kita melakukannya, Leon. Kita sama-sama ingin."
"Kamu sendiri yang bilang, waktu itu aku mabuk. Berarti aku tidak ingin kan? Kenapa kamu tidak menolaknya saja?"
Diam hingga beberapa saat, Klarybel tidak menyangka Leon setega ini. "Menjauh dariku, Leon. Sekarang kamu nggak cuman gagal jadi suami, tapi juga Ayah dari anak kita. Selamat, kamu berhasil menjadi ibliss untuk kami. Makasih untuk rasa sakitnya, Leon. Aku harap dendam kamu nggak melesat dan salah sasaran kayak Daddy menyakiti Mommy ya. Karena aku bukan Mommy, aku nggak bakal maafin kamu!"
"Sebelum terlambat, aku masih menerima maaf dan penyesalan kamu, Leon. Kita besarkan anak ini sama-sama dalam banyak kebahagiaan. Aku masih mencintai kamu. Sekarang kita udah menjadi calon orangtua, bayi ini menginginkan kasih sayang kamu."
'Aku masih mencintai kamu'. Berarti jika suatu saat 'masih' itu hilang, tinggallah benci yang tersisa. Leon akan menyesal jika sampai hal itu terjadi. Klarybel tidak selembut Alesha, dia mewarisi sifat Devano yang kebanyakan tanpa ampun. Tipis rasa kasihannya jika sudah kelewatan murka.
Leon tidak menanggapinya sama sekali, memilih diam dan pergi begitu saja. Hilang, Klarybel merasa amat kehilangan. Leon tidak menyayanginya, bahkan ditambah tidak menginginkan bayi mereka. Ada yang lebih menyakitkan dari hal ini?
****
Nando refleks memukul kepala Leon, berbunyi menandakan jika pukulannya tidak main-main. Leon sampai mengaduh kesakitan, mengusap-usap kepalanya sambil mengumpat. "Sintingg, Nando! Apa-apaan lo? Ini kepala, bukan samsak!" Leon ingin membalas, tapi Nando duluan menghindar.
"Habisnya lo sudah gilaa!" Nando memicing, melipat kedua tangannya di depan dadaa. "Klary hamil, harusnya lo bersyukur. Ngapain sih saling membenci, gue tahu bagaimana diri lo. Jangan berusaha menutupi perasaan itu, lo makin ketahuan kalau sangat mencintai Klarybel. Lo nggak bisa kehilangan dia Leon!" Geleng-geleng, menghela kasar. Entah pakai cara apalagi menyadarkan sahabatnya, Nando cukup gemas ingin menusukkan belati pada perut Leon. Habisnya pria itu begitu bodohh!
"Dan bisa-bisanya lo nggak jujur soal cakaran Chika. Klarybel lagi hamil, jangan sampai dia kepikiran lo selingkuh. Kesian, Leon. Dia wanita rapuh yang memerlukan cinta dari suaminya."
"Lo nggak usah ikut campur. Keluar gih sebelum gue habisi!"
Nando tertawa sinis. "Lo udah beberapa kali ya kepergok gue memasuki wilayah kediaman Petter. Lo jangan gilaa, Klary tahu habis lo! Bukan anaknya doang, mertua lo juga bakal turun tangan. Kata gue berhenti sekarang, malah makin menjadi-jadi kelakuan lo."
"Jangan ikut campur, Nando. Sok tahu lo!"
"Rahasia lo gue pegang semua, Leon. Lo macam-macam, habis riwayat lo sekarang juga. Kurang apa Klary sampai lo begini. Heran gue. Kalau lo merasa nggak cinta lagi sama dia, kasih ke gue aja. Nggak pa-pa deh bekasan lo, gue ikhlas. Paling juga baru beberapa kali lo tidurin kan? Janda sekarang semakin di depan. Lo ceraikan Klarybel, gue termasuk seribu pria yang mengejar dia!"
Leon ingin melempar vas bunga yang ada di mejanya, namun urung saat dirinya masih memiliki rasa iba. "Tutup mulut sialan lo itu. Gue nggak bakal ceraikan Klarybel. Jangan harap lo bisa milikin istri gue, bangsatt!"
"Kan, lo cinta dia! Sudahi kegilaan lo, nanti kena karma baru nangis-nangis sambil minta maaf. Basi, Leon, lo jangan jadi pecundangg ya. Gue nggak sudi temenan sama lo, sumpah!"
"Mending lo keluar. Gue panggil lo ke sini buat kasih gue saran, bukan sumpah serapah begini. Emang ya ... lo teman nggak tahu diri. Bukannya dukung gue karena Klary emang salah, malah memaki."
"Lo tahu dari mana kalau semua ini kesalahan dia? Jangan menuduh sembarangan, nyesel lo nanti."
"Pergi gih. Gue nggak mau liat muka lo."
"Sensian lo, Leon. Jangan-jangan ini dipengaruhi bayi kalian."
Leon melempar pena yang sejak tadi dia pegang, mengenai kening Nando. "Sembarangan terus kalau ngomong. Nggak ada sistem kayak gitu. Harusnya Klarybel yang ngerasain, dia yang lagi hamil."
"Kan lo Bapak dari bayinya, Begoo! Ya kali gue yang sensian, kan gue nggak pernah tidur sama Klary. Tapi kalau lo nggak mau mengakui anak itu, gue siap jadi Papa pengganti. Ikhlas dan rela gue."
"Sekali lagi mulut lo ngomong gitu, gue jamin besok lo udah nggak punya mulut!"
"Psikopatt anjir!" Nando merinding, lalu beranjak dari sofa. Dia menghela napas panjang, merapikan tatanan jasnya. "Kalau lo masih mau bermain dan melangkah terlalu jauh, lo bakal kehilangan semuanya."
"Persetann, gue nggak percaya itu. Daddy begitu mempercayai gue."
"Tapi Klary keturunan Axelleyc, Leon. Jangan pernah lupa kalau istri lo kesayangan orangtuanya. Dia cerdas, dia mandiri, Klarybel memiliki segalanya. Dia bisa hidup meski tanpa lo di sisinya. Sementara elo? Kehilangan ini semua, jadi gembel!"
"Mulut sialan lo berani banget ngatain gue, Nando! Lo kembali kerja, nanti kalau gue pecat jadi gelandangan lo!"
Nando cengengesan tertawa. "Meski orangtua gue cuman punya usaha toko roti, tapi gue masih tergolong mampu dan punya usaha sendiri yang bisa berkembang pesat kapan saja. Lah elo? Bener-bener melarat kalau ketahuan menyakiti Klarybel. Jangan memulai perang sama Pak Devano Axelleyc, habis lo di tangan orang-orang mereka. Lo cuman secuil upil yang gampang dimusnahin, Leon. Meski lo hebat bela diri dan belajar segalanya dari Pak Devano, lo tetap nggak bisa berada di atas dia."
Leon tertawa, menaikkan bahunya. "Klary mencintai gue."
"Dan dengan brengsekknya lo malah mengkhianatinya."
"Terserah."
"Lo memanfaatkan Klary doang. Lo cuman senang dengan kedudukan, kehormatan, dan kejayaan ini kan? Padahal lo tau ini bukan segalanya, Leon. Gue tahu lo mencintai Klary, sebelum perasaan gilaa itu datang dan merusak semuanya. Gue nggak tahu apa yang sebenarnya cewek itu lakukan sama lo, hingga lo selupa diri ini pada kebaikan Klarybel. Wanita yang malang, semoga dia jadi jodoh gue aja. Meski gue nggak seganteng dan sekaya raya elo, setidaknya gue lebih memiliki perasaan."
Leon berdecak tidak senang. Hari ini Nando berkali-kali mengatakan kalau dia tertarik dengan Klarybel secara terang-terangan. Memang tidak tahu malu!
"Klarybel istri gue, Nando. Jangan pernah lo berharap bisa menyentuh apalagi memiliki punya gue. Pergi sana, sebelum kita perang senjata di sini. Lo tahu kalau kemampuan gue nggak diragukan lagi dalam menghabisi nyawa orang!"
"Ya, ya, gue tahu. Gue cuman mengingatkan, hati-hati, Leon. Tuhan itu nggak tidur, dia bakal ngasih lo karma ketika lo semakin lupa diri. Mending berhenti, gue setuju banget dengan pernikahan kalian. Karena gue pikir lo begitu mencintai Klarybel. Kalian serasi sekali, apalagi sudah menjadi calon orangtua. Sebentar lagi ada malaikat kecil yang meneriaki lo Papa, Ayah, atau Daddy juga. Apa lo nggak tersentuh, huh? Gue tahu lo nggak sejahat itu, Leon. Lo tahu gimana rasanya hidup tanpa orangtua, nggak akan lo biarin anak lo hidup tanpa figur seorang Ayah kan?"
Nando tersenyum, menaikkan bahunya melihat Leon sedang berpikir keras. Setelah tidak ada jawaban, Nando memilih pergi. Dia memberikan ruang untuk Leon memahami ucapannya. Sama sekali tidak terbesit ingin menyesatkan Leon, dia malah kasihan pada hubungan rumah tangga mereka yang sudah begitu kacau. Tidakkah lelah selalu berpura-pura begini? Mereka akur hanya di hadapan orangtua dan publik.