Klarybel melempar daging mentah kepada Xio, lalu lanjut memberi makan Hole yang sudah lapar. Sejak tadi hewan satu itu mengaung, menunggu di halaman samping agar Klarybel mendatanginya dengan daging segar kesukaan Hole. Dia habis mandi, lalu melakukan pemeriksaan dokter. Hole, Xio, dan para ular-ular Klarybel diberi vitamin agar tetap sehat.
"Hei, makan yang bener Hole. Itu ambil irisan dagingnya di sebelah sana. Kamu tahu banget yang mana daging dengan potongan tipis dan tebal. Yang tipis nggak dimakan, aku pukul ya nanti!" ancam Klarybel, berdecak sebal dengan nada suara ditinggikan. Hole itu sangat pintar, dia hewan yang terdidik sejak kecil. Apa saja yang Klarybel katakan, dimengerti dengan baik. Sekarang Hole sudah sangat besar, bahkan melebihi diri Klarybel. Makanya setiap kali mereka bermain, Hole selalu mengalahkan tenaga Klarybel. Wanita itu sering mengeluh lelah pada Gema dan Jo.
Hole mengambil potongan daging yang tipis tadi, lalu memakannya dengan lahap. Dia kembali ke hadapan Klarybel, merendahkan tubuhnya dengan tatapan memohon. Dia masih lapar, Klarybel tahu itu. "Makan yang benar. Ini dagingnya sama, mahal dan menguras isi dompetku. Jangan ada yang terbuang. Besok kuhukum puasa kamu baru tahu rasa!" Memberi satu potongan lagi, dilahap oleh Hole dengan senang.
"Gema, lihat si Xio. Udah habis belum makanannya. Dia banyak diam akhir-akhir ini, biasanya bikin ulah terus. Tadi pas pemeriksaan, dia sehat kan?"
Gema yang sedang main uno di gazebo bersama Jo segera beranjak, tidak berani lambat saat Klarybel meminta. Wanita itu bisa memukul dan meninju dengan rasa yang lumayan pedas. "Sehat, Nona Klary. Mungkin dia lagi galau, pengin nyari istri. Kesian sendirian terus di kolam, bosen kali tidak bisa cuci mata liat buaya betina." Biasanya Xio selalu aktif mengotori kolam, akan dikuras setiap akhir minggu. Tapi sekarang, satu minggu pun airnya masih tidak terlalu kotor. Xio punya wilayah sendiri, ada kolam yang luas dan tempat dia berjemur. Biasanya kalau Hole mendekat ke arah kolam, Xio aktif berkeliling dalam air. Seolah memberitahu jika seluruh area kolam adalah miliknya.
"Ngasal!" Klarybel memicingkan matanya. Lantas berpikir beberapa saat. "Tapi bener sih, kan sekarang lagi musimnya hewan kawin. Nanti deh bawa Xio ke tempat perkawinan buaya. Siapa tahu dia beneran gatal pengen kawin. Tapi aku khawatir kalau dia nginep di tempat orang, takut nggak dirawat dengan baik. Xio mati, kupukul kepala kamu Gema!"
"Kok saya yang kena imbasnya, Nona Klary?"
"Kan ini ide kamu buat kawinin Xio."
"Beli lagi satu buaya betina, Nona. Masukin ke dalam kandang Xio. Terserah mereka mau bercintanyaa kapan. Siang bisa, malam pun oke juga. Nanti kalau perlu kita intipin mereka bikin anaknya."
Klarybel mengangkat tangan ingin memukul Gema, hanya saja pria itu duluan beranjak menghindar. "Mulut kamu sialan banget! Sana periksa Xio dulu, tanya dia ... mau kawin nggak gitu. Awas aja kalau nggak berhasil dapat jawabannya!"
"Jangan gilaa, Nona. Xio nggak bisa ngomong, saya juga bukan Tarzan yang ngerti bahasa hewan. Ada-ada aja deh!"
"Nyahut terus mulutnya. Hole, terkam Gema!" Klarybel menepuk Hole, menyuruh hewan kesayangannya itu mendekati Gema yang sejak tadi nampak memancing emosinya.
Hole tentu saja menurut, dia mendekati Gema. "Kamu kalau nerkam saya, tidak saya kasih makan lagi kalau Nona Klary tidak ada di rumah. Dia sering berangkat kerja dan bepergian. Siapa lagi yang kasih makan kamu selain saya? Jangan macam-macam!" Hole langsung duduk, matanya mengerjap mengerti. Lalu diusap dan dimanja oleh Gema dengan sayang. "Pinter kamu ya, untung jantan. Kalau betina bahaya. Kamu baper, saya nggak bisa kawinin. Beda kehidupan dan takdir."
Klarybel memijat pelipisnya. "Ternyata kamu dan Jo sama saja. Sama-sama tidak waras. Ya sudahlah, aku mau melihat para ular dulu. Kamu tengokin dan urus Xio. Aku mau mandi setelah ini, sebentar lagi Mas Leon datang."
"Kok tumben di depan saya sering manggil Mas Leon. Udah baikan apa gimana, Nona? Saya juga tidak mendengar perang dunia tadi pagi. Adem ayem, Tuan Leon pun sarapan dengan lahap. Padahal ayam suir tadi tadi masakan Nona Klary."
"Bilang syukur dong kamu. Ini kan yang kita nantikan di rumah ini? Nggak akur-akur banget sih, tapi lumayan sedikit bersahabat. Ya, kira-kira udah ada kenaikan lima persen untuk sikap Leon."
"Cuman lima persen? Saya kira lima puluh persen." Gema melipat kedua tangannya di pinggang, geleng-geleng kepala menatap Klarybel. Seperti keheranan, tapi juga memberikan binar sedikit takjub.
"Heh, kamu ngeledek aku ya. Mulutnya emang minta ditipisin pakai golok!" Klarybel ingin melepas sendal, berniat melempar pada Gema. Namun urung, Klarybel hanya bercanda. Ternyata Gema sudah mengambil posisi ingin kabur. Dasar pria itu!
"Saya pikir akan ada acara sendal melayang tadi." Gema menghela napas, menaikkan bahunya cuek. "Sudahlah, Nona. Saya ke kandang Xio dulu. Saya akan periksa keadaan dia dan bertanya apakah dia mau kawin atau tidak. Nanti jika mau kawin, saya carikan istrinya. Yang cantik, seksi, dan bisa memberikan keturunan."
Saat Gema melangkah meninggalkan Klarybel, sendal melayang pun terjadi. Gema mengaduh kesakitan, sementara Jo hanya bisa menertawakan dari kejauhan sambil memegangi perut.
"Nona Klary, apa-apaan ini? Kenapa melempari saya sendal?" Untung sendalnya dari bahan yang lemah, tidak sepatu heels yang berat dan runcing. Kalau tidak bisa bolong kepala Gema. Jangan sampai ada judul meninggal gara-gara dilempar heels, dia belum menikah. Masa udah apes nasibnya?
"Ucapan terakhir kamu seperti menyindir aku. Nyebelin banget!"
"Yang mana? Astaga ... perasaan saya salah mulu. Ah, begitulah. Wanita kan memang selalu menang dalam kamus kehidupannya. Iya kan, Nona?"
"Bacott ih, Gema. Sana gih pergi, aku kesal melihat wajah kamu. Awas aja kalau membahas keturunan lagi, aku habisi kamu. Aku juga bakal hamil secepatnya. Aku pengen punya anak!" Setelah itu Klarybel meninggalkan halaman, berlarian kecil dengan raut mendung.
Gema mengusap wajahnya, ternyata hal itu yang membuat Klarybel bersedih. Sungguh, tadinya Gema hanya bercanda. Sama sekali tidak serius dan menganggap ini ejekan untuk Nonanya. Tidak pernah terbesit dalam hati Gema untuk menyakiti hati Klarybel, apalagi pada masalah yang begitu sensitif seperti ini.
"Minta maaf, Gem. Hayoloh Nona Klary nangis!"
"Sialan, jangan bikin saya merasa bersalah lebih banyak. Saya lempar kamu pakai sendal yang sama!"
Jo menaikkan bahu. "Nona Klary emang nangis. Saya melihat dia mengusap pipi. Sensitif sih ucapan kamu, pakai ngomong soal keturunan. Nona kan tidak senang membahas itu, karena keadaan dia dan Tuan Leon belum benar-benar membaik. Sana minta maaf dulu!"
Mau tidak mau, akhirnya Gema menyusul Klarybel. Dia sama sekali tidak bermaksud. Tidak menyangka jika ucapannya begitu menyinggung Nonanya.
"Bibi Giona, di mana Nona Klary?"
"Baru saja ambil air putih, terus ke kamar. Kayaknya mau bersih-bersih, soalnya jam segini Tuan Leon akan segera pulang. Kenapa Mas Gema?"
Gema mengusap mulut dan rahangnya, memajam beberapa saat begitu menyesal. "Tidak, Bibi. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan. Mungkin nanti setelah makan malam saja. Saya permisi ke halaman lagi."
Bibi Giona tersenyum, mengangguk dan mempersilakan dengan sopan.
****
"Bunga tulip siapa ini?" Klarybel menganga kaget, menatap Leon yang sibuk melepaskan kancing kemejanya.
"Menurut kamu?"
"Bunga untukku dari kamu, gitu?" Leon tidak menjawab, malah memalingkan wajah datar. Klarybel berdecak senang, lalu menghampiri Leon dan duduk di pangkuannya. "Terima kasih. Aku suka. Kok tumben beli warna merah. Biasanya kalau aku sering beli warna putih. Maknanya nggak jauh beda. Sama-sama berisi kasih sayang dan cinta."
"Jadi nggak suka? Buang aja!"
Klarybel menganga, menggeleng cepat dan menjauhkan bunganya dari Leon. "Enggak, bukan gitu. Aku suka, tapi kan lebih sering beli yang putih. Yang merah ini melambangkan cinta yang sempurna. Baru kali ini kamu kasih bunga tulip. Tumben. Haa, wanginya segar!"
"Menjauh dari pangkuanku, Klary. Kamu berat!" Leon mengangkat pinggang Klarybel, lalu menyuruhnya duduk dengan benar di sofa. "Jangan kesenangan dan mengambil perasaan secara berlebihan. Aku beli buat ganti bunga yang kemarin. Nggak lebih dari rasa itu."
"Nggak pa-pa, setidaknya kamu peduli dengan perasaan aku. Kamu tahu kalau aku ngambek sepanjang malam kemarin kan? Makanya sore ini belikan aku bunga sebagai permintaan maaf dan biar aku nggak sedih lagi."
"Enggak, biasa saja. Aku tidur nyenyak semalam, sama sekali nggak mikirin kamu. Aku juga nggak merasa bersalah. Dibilang jangan berlebihan, malah kelewatan baper. Dasar wanita!"
Klarybel mencebikkan bibirnya. "Ngeselinnya. Untung kamu suami aku, kalau nggak sudah aku tembak hidup-hidup." Leon beranjak, tidak lagi menyahuti ucapan Klarybel. "Leon, kenapa punggung kamu ada bekas cakaran? Kamu habis ngapain?!" Secepat kilat wanita itu mendekati Leon, berusaha melihat luka cakarnya.
"Menjauh dariku!" Leon menolak, mendorong Klarybel agar tidak mendekat padanya. "Bukan urusan kamu."
Mata Klarybel berkaca-kaca. Jantungnya langsung berdebar dua kali lebih cepat. Baru saja dia merasa senang, tapi Leon sudah menciptakan pesakitan lain. Apa Leon sudah tidak waras, huh?
"Kayak gitu kelakuan kamu di luar sana?" tanyanya dengan bibir bergetar. Tapi Leon tidak berniat menjawab, malah memilih meninggalkan Klarybel. "Mau main-main sejauh apalagi, Leon? Apa nggak capek gini terus hubungan kita? Kamu jadikan aku apa di rumah ini? Patung gitu? Kenapa harus nyari kesenangan di luar, aku bisa ngasih buat kamu. Kurang aku apa, Leon? Jangan giniin aku! Aku capek banget, sumpah. Aku juga bisa nyerah, Leon." Mengepalkan kedua tangannya, terlihat jika Klarybel begitu marah. Napasnya dihela tidak beraturan, siap meledak jika Leon beneran melakukannya.
"Makanya jangan bodohh."
Klarybel tertawa renyah. "Bodohh? Segampang itu kamu bilang aku nggak pinter? Baguslah. Terserah kamu sekarang. Jujur aja, aku kecewa. Aku pikir hubungan kita akan membaik setelah malam itu. Ternyata kamu malah menghinaku sebagai istri. Menjijikan, Leon. Nggak pantas kamu kusebut suami yang baikkan setelah ini?"
Tidak ada sahutan, Leon sibuk mengecek kerjaannya dari sebuah tablet. Duduk di sofa pijat.
"Ya, ya. Cuman aku wanita paling bodohh di dunia ini. Buktinya aku masih di sini mempertahankan hubungan kita padahal tahu kalau kamu sudah nggak mencintai aku lagi." Dia tersenyum miring, menahan air mata dengan perasaan campur aduk. Sedih dan kecewa paling mendominasi. Klarybel ingin berteriak pada dunia jika dia tidak tahan lagi.
Merasa diabaikan, Klarybel merebut paksa tablet itu, lalu melemparnya hingga rusak.
Leon memejamkan matanya dengan rahang mengetat. "Diam dan keluar sekarang juga, Klary!" bentak Leon marah. Kerjaannya ada di tablet itu semua. Tapi Klarybel dengan gampang menghancurkan semuanya.
"Kamu yang keluar. Ini kamar aku!" teriaknya tidak mau kalah dengan tubuh bergetar. Klarybel menangis hebat. "Kenapa jahat banget. Bilang siapa wanita itu. Biar kuhabisi dia, Leon! Siapa yang nggak tahu kalau kamu adalah suamiku? Kenapa masih aja dia nekat deketin dan nyentuh kamu? Harusnya cuman aku, Leon!" Nada bicara Klarybel meninggi, mata elangnya menggelap murka. Dia persis sekali Devano ketika marah begini.
"Diam. Kamu pikir aku betah di rumah melihat kelakuan kamu begini?"
Klarybel mengambil bunga tulip pemberian Leon, menginjak-injaknya di hadapan pria itu. "Aku benci kamu! Mau saling membalas perlakuan? Liat aja, setelah ini akan kukirimkan video aku melakukannya dengan pria lain. Persetann jika kamu nggak peduli, aku melakukannya untuk kesenanganku juga. Kalau kamu bisa, kenapa aku enggak!"
Klarybel berniat pergi, tapi Leon duluan mencekal lengannya. "Berani?"
"Iya! Kenapa enggak? Kamu yang memulai duluan kan? Jangan pegang aku, menjijikan!" Mendorong Leon, berontak dalam rengkuhan pria itu yang mencoba menenangkan Klarybel agar tidak keluar kamar. Jika sampai pintu terbuka, maka kedengaran hingga keluar pertengkaran mereka. Semua orang rumah akan mendengar berdebatan tidak senonoh ini.
Leon melempar Klarybel hingga terjerembab di sofa. "Jangan ke mana-mana!"
Klarybel berusaha menendang Leon, ingin meloloskan diri sekuat yang dia bisa. Saat Klarybel berhasil lari, dia langsung mengambil pistol di dalam laci rahasia miliknya tanpa sepengetahuan Leon. "Mau kubunuh kamu? Jangan mendekatiku, menjauh!" Menarik pelatuk dengan cepat, menodongkannya ke arah Leon yang langsung membatu di tempat. "Akan kuadukan Daddy semua perlakuan setann kamu. Kamu jahat, keteraluan!"
"Aku nggak pernah marah sebesar ini, meski kamu pulang mabuk dan dirangkul wanita lain. Tapi tidak dengan hal lebih jauh, Leon. Kamu tahu aturan dalam hubungan ini saat berjanji di hadapan Tuhan waktu itu kan? Kamu melanggar janji suci kita!"
"Turunkan pistolnya Klarybel!" Leon awalnya ingin bergerak, tapi urung saat Klarybel berteriak 'stop' dengan pistol yang dihentakkan kasar kepadanya. Takut jika pelurunya beneran melesat membolongi dadaa atau kepalanya. "Tidak ada apa pun."
"Nggak, kamu bohong!"
"Tidak ada apa pun, Klarybel!"
"Kamu bohong!"
Leon diam sebentar, membaca setiap gerakan Klarybel. Wanita itu diselimuti amarah, bisa saja refleks menembak Leon dalam hitungan jari. Apa pun yang Klarybel lakukan saat ini sudah di luar kontrol dirinya. Dia hanya meluapkan rasa yang meledak seketika.
Sedetik kemudian, Leon bergerak secepat kilat, memukul tangan Klarybel hingga pistol itu jatuh ke lantai. Leon menarik wanitanya hingga sama-sama jatuh. Dengan sekali gerakan lagi, pistol itu Leon sepak hingga masuk ke kolong lemari. "Jangan bermain-main dengan senjata, Klary. Sudah berapa kali kubilang? Itu berbahaya sekali. Bisa menghabisi nyawa seseorang. Kamu terlalu nekat."
Klarybel berusaha melepaskan diri, tapi tidak bisa. Tubuhnya bergetar hebat, tidak kuasa menahan tangis. Dia selemah itu, tidak pernah rela jika mengetahui suaminya beneran berselingkuh. Apa kurangnya dia? Padahal Klarybel selalu berusaha memberikan yang terbaik saat bersama Leon. Apa masih belum cukup juga? Semaruk apa sebenarnya Leon Wilbert ini?
"Terlalu cengeng!" Setelah itu makin mengecil suara Klarybel, hingga lama kelamaan hilang dengan sendirinya. "Hei, kamu pingsan? Klary, bangun! Jangan bercanda, aku akan marah beneran." Leon menepuk-nepuk pipi wanita itu, lalu mengernyit kebingungan.
Tubuh Klarybel melemah, wajahnya memucat akibat tangis yang membanjir. Belum lagi karena syok. Tekanan darahnya pasti meninggi dalam sekejap.
"Kucing Nando sialan!" umpat Leon saat berhasil membawa Klarybel ke tempat tidur. Berusaha menghibungi dokter untuk memeriksakan keadaan istrinya. "Kamu beneran bodohh ... apa tidak bisakah membedakan ini cakaran manusia atau kucing? Cih, dasar wanita emosian!" Leon mendengkus jengkel, menyentil kening Klarybel dengan helaan napas berat. Nyawanya dipertaruhkan beberapa saat lalu, hampir saja tinggal nama.
Tadi siang sahabat Leon yang bernama Nando Elfathan membawa kucing peliharaan ibunya ke ruangan pribadi Leon. Kucing itu baru saja dijemput dari klinik dokter hewan akibat mencrett beberapa hari terakhir. Dia dirawat di sana tiga hari.
Baru saja Leon ingin melarang Nando mengeluarkan Chika dari kurungannya, ternyata kucing itu sudah berulah. Selain mencakar sofa dan bergelantungan di gorden, Chika juga berhasil mencakar punggung Leon saat pria itu baru saja habis mandi. Leon keringetan habis terjun lapangan mengecek proyek pembangunan, tidak nyaman memulai meeting setelah makan siang dengan keadaan penuh keringat dan bau asap pembakaran.
Bukannya dapat untung sesampainya di rumah dengan membawakan Klarybel bunga tulip merah, Leon malah dua kali kena sial. Merasakan luka perih selama meeting, lalu hampir mati karena ditembak Klarybel. Malang sekali nasibnya bukan?