Tujuh

1150 Kata
Tyaga membaca dalam diam, ekspresinya tidak terbaca. Aku menunggu dengan berdebar-debar. Ada sepuluh poin yang kutulis dengan rapi di kertas tersebut. 1. Pernikahan akan dilaksanakan setelah usiaku genap 19 tahun. Itu berarti masih ada waktu sekitar enam bulanan, siapa tahu dalam waktu tersebut tiba-tiba Tyaga jatuh cinta pada seorang wanita yang ditemuinya entah di mana dan membatalkan pernikahannya denganku. 2. Pernikahan ini bersifat sementara, hanya sampai aku selesai kuliah kedokteran. 3. Jika salah satu dari kita melakukan tindakan kekerasan fisik pada pasangannya, pihak yang dianiaya berhak menuntut dan mengajukan gugatan cerai. 4. Alasan pernikahan ini dilaksanakan adalah Arora, jadi tugasku hanya menjadi ibu bagi Arora. (Aku menggarisbawahi empat kata terakhir.) 5. Merujuk pada poin No. 4, aku tidak mempunyai kewajiban melayani Bang Tyaga. 6. Merujuk pada poin No. 5, sepakat tidak akan melakukan hubungan suami istri. 7. Aku bebas berteman dengan siapa saja. 8. Aku bebas bertemu dengan semua teman-temanku. 9. Bang Tyaga berjanji tidak akan mencampuri urusan pribadiku. 10. Aku boleh menambahkan daftar persyaratan kapan pun aku mau. Saat lembaran kertas itu diturunkan, Tyaga menatapku dengan alis yang terangkat tinggi, ekspresi wajahnya seolah berkata: Really? Aku meringis, aku tahu poin No. 10 sangat subjektif, tapi aku membutuhkannya. Namun anehnya Tyaga tidak mengucapkan apa-apa, dia hanya menghela napas sambil meletakkan kertas di atas meja, lalu kembali duduk bersandar. “Kamu keberatan kalau kuminta duduk?” tanyanya kalem. Aku menggeleng, dan langsung duduk di depannya. “Mari kita bahas satu demi satu persyaratan yang kamu tulis,” katanya sambil memandangku. “Poin No. 1, Pernikahan akan dilaksanakan setelah usia kamu 19 tahun. Oke, aku tidak keberatan, lagipula kamu butuh waktu untuk mendaftar kuliah dan mempersiapkan pesta pernikahan kita, kurasa enam bulan cukup adil.” “Aku tidak akan mempersiapkan pesta pernikahan, semua kuserahkan sama Bang Tyaga,” ucapku tandas. “Kamu yakin? Ini pesta pernikahan lho, sekali seumur hidup. Biasanya wanita suka mempersiapkan hal-hal remeh seperti itu.” “Bang Tyaga lupa poin No. 2? Pernikahan kita hanya sementara, jadi jelas ini enggak akan jadi pesta pernikahan yang terakhir buatku.” Aku tahu kata-kataku terdengar sinis, tapi Tyaga malah tersenyum geli. “Oke, oke,” katanya. “Mungkin iya, ini bukan pesta pernikahan terakhir buatmu, tapi pasti ini akan jadi pesta pernikahanmu yang paling meriah,” ujarnya sombong. Kamu yakin enggak mau menyiapkan sendiri pestanya?” sambungnya merayu. “Aku pikir-pikir lagi kayaknya enggak perlu ada pesta pernikahan deh, Bang. Menikah di catatan sipil saja sudah cukup.” “Oh, enggak!” sahut Tyaga cepat. “Harus ada pesta. Dan itu harus meriah,” ucapnya tegas. Aku menatapnya sebal. Ini yang antusias mengadakan pesta kok pihak cowok sih. “Oke, begini saja,” kata Tyaga mengambil dan membaca lagi kertas yang tadi ia letakkan di meja. “Kita enggak perlu bahas satu per satu persyaratan yang kamu buat, semuanya aku setujui, bahkan poin No. 10 yang paling enggak masuk akal.” Saat mengatakan kalimat terakhir, Tyaga melirikku tajam. Aku pura-pura tidak melihatnya. “Permintaanku cuma satu, kamu harus menyiapkan sendiri pesta pernikahan kita,” sambungnya. “Kenapa?” tanyaku. Rasa penasaran mendorongku menanyakan hal tersebut. “No question asked. Kamu cuma perlu jawab ya atau enggak.” Aku menyipitkan mata. “Kalau aku enggak mau?” tantangku. Tyaga menyeringai. “Kita tetap menikah, tapi tanpa surat perjanjian apa-apa,” ujarnya sambil mengibas-ngibaskan kertas di tangannya. Aku melotot. “Mana bisa kayak gitu,” sungutku kesal. “Percayalah, Moana. Itu bisa terjadi,” sahutnya mengancam, senyum tipis terulas di bibirnya. Aku menatapnya sebal. “Baiklah,” ucapku akhirnya. “Apa susahnya merencanakan pesta pernikahan,” sambungku dengan gumaman. “Ada satu syarat lagi.” “Bang Tyaga bilang tadi cuma satu,” protesku. “Ini masih berhubungan sama syarat yang tadi kok, jadi masih satu kesatuan,” kelitnya membuatku mencibir. “Pesta pernikahan kita harus benar-benar sesuai dengan pesta pernikahan impianmu. Setiap wanita mempunyai pesta pernikahan impian, kan?” “Aku enggak,” jawabku berbohong. Tyaga tersenyum lebar. “Kamu bukan pembohong yang baik, Moana. Jadi jangan pernah mencoba berbohong,” ujarnya santai. “Pokoknya aku bakal tahu kalau kamu enggak serius merencanakan pesta pernikahan kita,” lanjutnya yang entah kenapa ia ucapkan dengan wajah semringah. Raut mukaku langsung masam, di sini aku yang mengajukan persyaratan paling banyak, tapi kenapa Tyaga yang terlihat jauh lebih puas? “Kapan Bang Tyaga urus surat perjanjiannya?” “Secepatnya. Kamu enggak perlu khawatir, segera setelah semua beres, aku kabari kamu.” Tyaga mengambil map yang tersedia di rak samping sofa dan menyelipkan kertas berisi poin-poin perjanjian dariku ke dalamnya, lalu beranjak menuju pintu. “Maria, tolong kamu berikan ini pada Listu ya,” perintahnya. Setelah itu dia kembali duduk. “Habis ini kamu mau ke mana?” tanyanya padaku. “Pulang,” jawabku pendek. “Aku antar.” “Nggak usah, Bang, Aku naik motor kok.” “Biar aku antar.” Dia bersikeras. “Aku bawa motor, Bang,” tegasku mencoba bertahan. “Nggak masalah, kita pulang naik motormu, aku yang bawa.” Aku melotot tak percaya. “Tapi Bang Tyaga kan lagi kerja.” “Enggak apa-apa,” sahutnya ngotot. Kemudian tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu, dia meraih tanganku dan membantuku berdiri, mengajakku keluar. Aku tidak punya pilihan, kuikuti kemauannya. Aku berjalan di belakang Tyaga, sementara tanganku berada di genggamannya. Di tengah jalan kami berpapasan dengan pria yang usianya terlihat tidak berbeda jauh dengan Tyaga. Tyaga berhenti, berbicara sebentar dengannya. Pria itu tampak mencuri-curi pandang ke arahku sambil menahan senyum. Ketika aku melewatinya karena Tyaga kembali berjalan, dia tersenyum ramah padaku, aku hanya membalasnya dengan anggukan. Beberapa saat setelah kami agak jauh darinya, aku baru ingat dialah orang yang memberitahuku letak kantor Tyaga. “Tadi itu siapa, Bang?” tanyaku penasaran. “Listu, pengacaraku.” Oh, sekarang aku tahu siapa yang menelepon Tyaga saat dia menemukanku di lantai 57 tadi. Kami naik lift dan turun ke basemen, langsung menuju lokasi tempat motorku terparkir. Begitu berada di dekat motor, Tyaga meminta kuncinya dariku, kemudian dengan PD-nya menaiki kendaraan bermesin yang memiliki bodi mungil tersebut. Dia memintaku ikut naik. “Tanganmu mana?” tanya Tyaga saat kami sudah berada di atas motor yang masih berhenti. Aku merentangkan kedua tanganku, Tyaga meraih melalui bawah ketiaknya dan melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Napasku tertahan selama beberapa detik. Oh, Tuhan … sepertinya aku mau pingsan. “Pegangan yang erat,” intruksinya. “Jangan sampai kamu jatuh di jalan.” Jantungku berdegup kencang, perutku mendadak mulas dan tubuhku menjadi sangat kaku. Aku benar-benar tegang. “Relaks, Mo. Aku enggak akan gigit kamu,” kata Tyaga menepuk-nepuk punggung tanganku lembut. Lalu dia melajukan motor dengan perlahan. Di jalan raya kami menjadi pusat perhatian. Tubuh Tyaga yang besar terlihat lucu di atas motor matikku, belum lagi dengan stelan Armani-nya. Beberapa pasang mata memperhatikan kami dengan sorot mata geli, tapi dasar narsis, Tyaga malah melambai-lambaikan tangannya pada mereka sambil tersenyum lebar. Rasanya aku ingin menyimpan mukaku di dalam tas saja. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN