Delapan

1288 Kata
Tyaga menepati janjinya, dua hari kemudian dia memintaku datang ke kantornya dan kami menandatangani surat perjanjian di depan Listu. Agar tidak berbuntut panjang, kami sepakat tidak memberitahukan tentang perjanjian pernikahan kami pada Bunda maupun Tante Irene dan Om William. Aku hanya memberi tahu Bunda jika aku sudah mantap mau menikah dengan Bang Tyaga. Setelah menandatangani surat perjanjian, aku disibukkan dengan urusan mendaftar kuliah, dari melengkapi berkas-berkas pendaftaran sampai akhirnya menghadiri pelaksanaan ujian. Di waktu-waktu itu aku sering mendapat bantuan dari Kak Arka, dia yang sudah memasuki tahun terakhirnya di Fakultas Kedokteran banyak memberikan arahan padaku. Kebetulan aku memilih Universitas yang sama dengannya, bukan karena ada Kak Arka, tapi karena Universitas itulah yang menurutku terbaik. Aku baru saja menyelesaikan tes tertulis di gedung kampus Perguruan Tinggi, dan sekarang berjalan sendirian di jalan setapak yang diapit oleh deretan pohon-pohon yang rindang. “Milena!” Aku menoleh, melihat Kak Arka setengah berlari menghampiriku. “Gimana tadi?” tanyanya saat dia sudah berjalan di sisiku. “Lumayan sih,” jawabku tersenyum lebar, senang sekali bertemu Kak Arka di sini. Kalau aku diterima, pasti akan semakin sering bertemu dengannya. “Semoga lancar sampai kamu diterima ya,” ucapnya menepuk bahuku ringan. Begitu saja jantungku sudah berdegup kencang. “Aamiin, terima kasih, Kak.” Kak Arka tersenyum mempertontonkan lesung pipinya. Ya, ampuun … ada ya orang yang gantengnya over dosis seperti Kak Arka. Kalau adegan ini ada di film kartun, pasti mataku sudah berbentuk hati, plus air liur yang menetes di sudut bibir. “Habis ini mau ke mana? Pulang?” Aku mengangguk. “Kita jalan dulu, yuk! Aku tahu tempat yang asyik buat nongkrong, kamu pasti suka.” Duh, mau enggak ya…, batinku bimbang. Antara ingin ikut dan tidak enak dengan statusku sekarang sebagai calon istri Tyaga. Aku memandang Kak Arka ragu-ragu, dia menatapku dengan antusias, aku jadi tidak tega menolaknya. “Oke,” sahutku mengangguk. Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir. “Kamu bonceng aku saja,” kata Kak Arka ketika aku menghampiri motorku. “Nanti kita balik lagi ambil motor kamu.” Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk meski agak khawatir karena tidak pernah membonceng motor sport seperti milik Kak Arka. Akan tetapi begitu melihat jok belakang yang tinggi dan kelihatan sulit dinaiki aku meringis. “Maaf, Kak. Kayaknya aku enggak bisa bonceng motor Kakak,” kataku, rasa panas menjalar di pipiku karena malu. “Aku enggak bisa naiknya, joknya terlalu tinggi,” sambungku. “Oh, maaf.” Seolah baru menyadari kondisi fisikku, Kak Arka melontarkan permintaan maafnya secara spontan. “Kita naik motor kamu saja kalau begitu,” ujarnya. Dia mengambil helmnya dan menggandengku kembali ke tempat aku memarkirkan motor. Sementara aku berjalan di belakangnya, mataku terpaku pada tangan Kak Arka yang menggenggam tanganku. Suara detak jantungku seakan bertambah berkali-kali lipat, sampai-sampai aku takut Kak Arka bisa ikut mendengarnya. Untungnya jarak dari motornya ke motorku tidak sampai menghabiskan waktu dua menit, begitu kami berada di dekat motorku aku buru-buru melepas gandengan tangannya dengan berpura-pura mengambil helm. Ternyata cobaan tidak berhenti sampai di situ, segera setelah helm terpasang di kepalaku, tangan Kak Arka terulur untuk mengancing gesper helm. Jujur itu membuatku kikuk. Selesai mengancingkan gesper, Kak Arka menadahkan tangan di depanku, aku menatapnya bingung. “Kunci motormu mana?” tanyanya geli. Aku tersipu, buru-buru mengeluarkan kunci dari dalam tas dan menyerahkannya pada cowok yang telah membuat hatiku kebat-kebit itu. Beberapa saat kemudian kami sudah berada di jalan. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Selama di perjalanan Kak Arka mengajakku mengobrol, hingga mau tidak mau aku harus mendekatkan telingaku ke kepalanya agar bisa mendengar apa yang dia katakan. Meski aku berusaha tidak merapat pada punggungnya, tetap saja posisi tubuh kami jadi berdekatan. Dan itu memberikan efek yang sedikit memabukkan buatku. Tubuh Kak Arka tidak sebesar Tyaga dan pakaiannya pun wajar, kaos berkerah yang dipadukan dengan celana jin. Otomatis perasaan ketika membonceng Tyaga dengan membonceng Kak Arka sangat berbeda, meski kami sama-sama menaiki motor matik. Aku tidak perlu merasa khawatir menjadi pusat perhatian orang. Kurang lebih selama setengah jam kami berada di atas motor sampai Kak Arka berhenti di sebuah café mungil yang dari luar sudah terlihat menarik. Mengingatkanku akan cafe-café yang berada di luar negeri. Café itu terletak tepat di sudut persimpangan, kedua sisi bangunan yang sebagian besar dari kaca menghadap ke arah jalan satu jalur didepannya. Bagian depan café dinaungi kanopi kain bermotif garis-garis merah dan coklat. Sementara pada dinding kacanya, nama café ditulis dengan cat coklat gelap. BUKU DAN KOPIKU CAFÉ “Aku baru tahu di sini ada café lho, Kak,” kataku memandangi bangunan di depanku sambil melepas helm. “Café ini baru buka beberapa minggu,” jelas Kak Arka. Dia membuka pintu café, suara gemerincing dream catcher yang digantung di atas pintu pun mengisi ruangan, menarik perhatian sebagian orang yang ada di dalam café pada kami. “Hai, Bro!” Aku mendengar satu dari sekumpulan pemuda menyapa Kak Arka. Kak Arka malambaikan tangan ke arah mereka dan membawaku ke sana. Sampai di dekat mereka aku baru menyadari ada satu cewek di antara para cowok yang berkerumun, dan aku mengenalinya sebagai Lila. Ada lima orang termasuk Kak Lila yang duduk di sekitar meja bar, walau tidak semua kuketahui namanya, tapi aku mengenali wajah mereka. Cowok yang duduk di dekat Lila bernama Andra, dia yang mendirikan rumah singgah bersama Kak Arka dan Lila. Satu lagi yang tadi menyapa Kak Arka bernama Ringgo, sedangkan dua cowok yang lain, aku tidak tahu namanya. “Hai, Milena!” Andra menyapa, cengiran lebar terpasang di wajahnya. “Wah, Milena lama enggak kelihatan makin cantik saja nih.” Ringgo memang perayu, baginya, monyet dibedakin pun terlihat cantik. “Arka beneran deh, enggak bisa lihat cewek cakep langsung dipepet terus.” Salah satu cowok yang tidak kuketahui namanya tertawa meledek Kak Arka. “Masih mending Arka, lha elo kalau lihat cewek cantik langsung main tubruk aja.” Cowok yang satunya menimpali. Riuh derai tawa membahana, kecuali Lila yang hanya memutar bola mata dengan wajah kesal. “Kalian sudah lama di sini?” tanya Arka begitu tawa mereda. “Lumayan sih,” jawab Andra santai. Sementara Kak Arka berbincang dengan teman-temannya, aku memperhatikan bagian dalam café dan menyadari jika tempat ini bukan hanya menarik, tapi benar-benar asyik. Salah satu hal yang paling memukauku adalah rak buku yang membentuk spiral di tengah ruangan, menjulang sampai ke lantai dua. Di sekitar meja bar tertata beberapa set meja dan kursi yang tinggi. Sedangkan di samping jendela, sofa-sofa pendek ditata saling menghadap dengan memberikan jarak antara set sofa yang satu dengan yang lain sehingga menjaga privasi para pengunjungnya. Di salah satu sudut ruangan terdapat rak yang dipenuhi buku, ditata sedemikian rupa hingga keberadaan rak buku tersebut sama sekali tidak mengganggu kenyamanan café. “Di lantai dua ada apa?” tanyaku menatap tangga yang menuju lantai dua. “Rooftop, mau coba ke atas?” tanya Kak Arka. Aku mengangguk antusias. Kak Arka berpamitan pada teman-temannya, lalu menggandengku ke atas. Aku agak merasa tidak enak pada Lila yang menatapku tajam, tapi berusaha mengabaikannya. Tangga yang kami naiki melingkari rak buku yang berbentuk spiral sehingga jika mau, kita bisa mengambil buku yang terletak di rak tersebut. Setengah bagian rooftop café diberi atap, sementara setengah bagian yang lain dibiarkan terbuka. Pengunjung bisa memilih mau duduk di bawah atap atau di luar dan bisa melihat langit dengan leluasa. Meski siang hari, keadaan rooftop tetap sejuk karena banyaknya tanaman di sekitar kami. Kak Arka mengajakku ke salah satu kursi di bawah pohon di bagian yang terbuka. “Kamu mau pesan apa?” tanya Kak Arka. Belum sempat aku menjawab, pandangan mataku tertuju pada dua orang pria berjas yang berdiri tidak terlalu jauh dariku. Kedua bola mataku terasa seakan hampir melompat keluar begitu menyadari siapa salah satu pria itu. Tyaga! Sedang apa dia di sini? Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN