Meneguk ludahnya kasar begitu menyadari bahwa Argantara tidak menggunakan jasa sopir. Jadi, di dalam mobil mereka benar-benar hanya berdua. Audya hanya diam sambil menatap ke arah kirinya. Memandangi jalanan yang dilewati sambil tangannya saling meremas gugup. Jika tadi di restoran duduk berdampingan namun dengan adanya orang lain, sekarang sudah berdampingan hanya berdua lagi. Mimpi apa Audya semalam bisa sedekat ini dengan pimpinan tertinggi perusahaan tempat dia magang. Ah, Audya tidak tahu harus senang atau bagaimana. Senang ya karena bisa duduk dengan pria hebat dan tampan seperti Argantara. Atau takut karena dirinya bisa saja jatuh pada pesona pria itu. Pria matang yang kemungkinan sudah memiliki istri dan anak.
"Ingat ya Au, lu itu magang buat memenuhi tugas kuliah saja. Bukan buat cinta sama bos lu sendiri. Sadar diri sedikitlah. Gua sama dia itu bagaikan langit dan bumi. Jauh banget," bisik Audya dalam hati. Sepertinya mulai sekarang Audya harus makin sering mengingatkan dirinya akan posisinya.
"Barangkali mau menyalakan musik." Saking sepinya mobil, Audya sampai tersentak kaget saat Argantara menawarinya menyetel musik. Padahal Argantara menggunakan nada bicara yang seperti biasa.
Memegangi jantungnya. "Eh iya pak. Eh tidak usah. Aduh, terserah bapak saja." Tersenyum kecil dengan hati yang menggerutu. Kinerja jantungnya saja yang lebih cepat, namun kinerja otak dan mulutnya melambat. Audya malu kenapa sampai gagap seperti ini.
Argantara mengabaikan. Fokus pada jalanan di depannya. Keadaan tetap hening sampai mobil mewah dengan harga ratusan juta milik Argantara berhenti di tempat parkir kantor. Tempat parkir khusu petinggi perusahaan. Di mana kendaraan tidak akan kepanasan atau kehujanan. Audya masih bergelut dengan pikirannya. Kalau mobil sudah berhenti, dia mengucapkan terima kasih dan langsung pergi saja atau bagaimana? Sepertinya memang seperti itu saja. Memang apa yang akan dilakukannya lagi? Tapi, Audya harus berjalan lebih dulu atau berjajaran dengan Argantara atau malah di belakang saja?
"Mm... terima kasih pak, atas tumpangannya. Saya permisi dulu," pamit Audya. Setelah menimbang, Audya memilih turun dan berjalan terlebih dahulu. Bodo amat dengan sopan. Sudah tidak kuat berlama berdekatan dengan Argantara.
"Kamu kalau berbicara memang seperti itu terus ya?" tanya Argantara menghentikan niat Audya yang hendak keluar.
Mengernyitkan keningnya bingung. Maksudnya? "Seperti itu bagaimana ya pak?" cicitnya pelan. Perasaan Audya memang bicara seperti biasanya kok. Memangnya ada yang aneh? Berpikir keras kali saja sedari tadi berbicara ada yang kurang pas. Tidak ada.
"Kamu seperti selalu terbata," jawab Argantara. Entah dirinya yang belum terlalu mengenal gadis di sampingnya sehingga membuatnya tidak tahu apa-apa atau memang pegawai magangnya yang memang seperti itu?
Audya menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Inginnya sih menjawab, "saya seperti ini ya karena bapak. Keberadaan bapak buat saya gugup sampai ngomong saja gagap. Bapak itu apa tidak sadar bahwa pengaruh yang bapak timbulkan begitu luar biasa? Saya sampai kehabisan kata buat menjawab ucapan bapak. Harus berpikir terlebih dulu. Kalau sama yang lain sih ya enggak bakal kaya begini pak." Sayangnya, itu hanya bisa tertahan di otaknya tanpa berani mengungkapkan. Ya kali. Bisa malu lah Audya.
"Kadang saya memang seperti itu pak. Tapi tidak selalu juga," jawab Audya. Memang apalagi yang bisa dia katakan?
Hening. Melirik ke arah Argantara yang sepertinya sudah tidak ada yang akan disampaikan. Apa Audya harus izin keluar lagi? Ish.
"Mm... pak, saya permisi," pamitnya lagi. Kali ini mendapat anggukkan dari Argantara. Menarik hendel pintu dan membuka ya perlahan. Audya tidak mau merusak sedikit saja mobil ini. Tidak sanggup jika harus bertanggung jawab. Mau duit dari mana kan ya?
Berjalan pelan sambil sesekali menengok ke sekitarnya. Memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya. Bernafas lega saat tidak ada satu orang pun yang melihat. Setidaknya itu yang Audya tahu. Untung saja tiba di kantor begitu jam istirahat telah usai. Kalau pas istirahat, meding Audya turun di halte depan saja dan akan berjalan sampai sini. Mending kakinya lelah dari oada jadi bahan gosip karyawan kantor. Makin sakit telinga Audya nantinya mendengar bisikan-bisikan ghoib itu.
Sebelum memasuki ruangannya, Audya memilih menuju kamar mandi terlebih dahulu. Memperbaiki penampilannya yang mungkin saja berantakkan.
"Wah, si anak emas. Habis dari mana nih?" Nasib buruk bertemu dengan si biang gosip yang sangat penasaran dengan kehidupan orang lain. Tahu begini, mending tidak usah mampir dulu.
Menghela nafas mencoba mengabaikan wanita berambut panjang itu. Jika bisa, Audya akan langsung pergi saja. Menghadapi orang seperti dia, bisa-bisa membuat Audya kehilangan kesabarannya. Dan berakhir dengan dirinya yang berbalik menyakiti. Membasuh mukanya tanpa menoleh sedikit pun. Menyegerakan tujuannya agar bisa dengan segera meninggalkan kamar mandi yang tiba-tiba saja menjadi horor. Karena kehadiran wanita itu. Ha ha.
"Punya kuping kan lu? Sok banget padahal cuman magang di sini. Dasar penjilat," cibir wanita itu yang kesal diabaikan. Audya keluar dari kamar mandi khusus wanita yang ada di lantai sepuluh itu dengan cepat. Ah masa bodoh dengan wanita itu. Pasti sebentar lagi akan makin membencinya. Aidya tidak peduli. Waktunya magang juga tinggal dua bulan lagi kok. Sebentar lagi, akan terbebas dari semua orang yang menganggap dirinya tinggi.
Memasuki ruang dengan berjalan pelan. Mendudukkan diri di kursi yang sudah menemaninya hampir satu bulan ini. Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Perasaan baru kemarin ya masuk. Karena tidak ada tugas yang diberikan padanya, Audya hanya melihat-lihat laporan yang sudah selesai dikerjakan. Menelitinya lagi. Bukan untuk membenarkan, hanya mencari kesibukan saja. Kalau hanya diam juga nanti ujungnya salah lagi.
Waktu yang Audya tunggu tiba juga. Waktu pulang. Seperti biasa, menunggu sepi baru dirinya keluar. Lima belas berlalu, Audya bangkit dan menuju lift. Semua masih baik-baik saja. Namun berubah saat lift sudah tiba di lantai dasar. Ada beberpa wanita yang bergerombol dan berbisik. Audya mencoba mengabaikan. Itu, bukan bagian dari urusannya. Matanya membola begitu namanya ternyata yang menjadi bahan obrolan wanita-wanita itu. Menajamkan telinga untuk mengetahui apa lagi yang mereka bicarakan. Apa tidak bosan selalu Audya yang jadi bahan pembicaraan?
"Iya, gua lihat sendiri kalau dia turun dari mobil pak Argantara."
Bahu Audya terkulai lemas. Ternyata yang tadi sempat ditakutkan sudah terjadi. Ada satu mata yang melihat Audya turun dari mobil milik Argantara dan dengan baik hatinya memberi tahu yang lain. Sungguh mulia perbuatannya. Berbagi dengan orang yang belum tahu. Sebelum keberadaan dirinya di sadari, Audya melenjutkan langkahnya dengan langkah lebar. Menuju halte dan duduk diam menunggu angkutan umum yang lewat. Sebisa mungkin menutupi wajahnya. Setidaknya, untuk hari ini saja, Audya tidak mau bertemu dengan salah satu dari mereka.
Untunglah angkutan umum datang tidak lama kemudian. Kali ini, Audya berdiri. Tidak kebagian tempat duduk yang semuanya sudah terisi. Berpegangan pada besi yang menggantung horizontal di atas kepala. Menghela nafas begitu menyadari ternyata belakangan ini, banyak kejadian buruk yang terjadi. Dimulai dengan keberadaan dirinya yang kurang diterima di kantor. Tidak semua orang demikian, namun kebanyakan orang seperti itu. Lalu, perselisihannya dengan Andira. Padahal dari dulu tidak pernah terjadi. Jika pun marah, hanya dua atau tiga hari saja. Ini sejarah pertengkaran erparah selama mereka menjabat sebagai adik dan kakak. Sudah lebih dari satu minggu saling diam dan tidak menyapa. Audya tahu jika ini tidaklah baik. Tapi ya, malas juga dirinya yang harus berbicara dentan Andora dulu sedangkan letak kesalahan ada pada diri Andira sendiri. Harusnya kan dia yang meminta maaf. Selanjutnya, ada ibunya yang kena maki pembeli dengan tuduhan menjual barang kadaluwarsa. Entah akan ada apa lagi berikutnya. Semoga tinggal yang baik-baik saja.
"Silakan duduk kak," ucap seorang pria yang ditaksir usianya lebih muda beberapa tahun dari Audya. Berdiri dan mempersilakan Audya duduk di tempat yang sebelumnya lelaki itu duduki.
Tersenyum kecil dan menjawab, "terima kasih ya." Audya tidak munafik jika berdiri membuatnya merasakan sakit pada kaki. Dari pada dipaksakan malah makin buruk, mending menuruti saja. Audya tidak ambil pusing kali saja si anak itu sekedar basa-basi. Baginya, jika ada kesempatan ya trabas saja.
Lima menit duduk, angkutan berhenti setelah Audya meneriaki kata kiri. Menuruni kendaraan roda empat itu dan mulai berjalan menyusuri gang kecil yang hanya bisa dilewati satu mobil. Kalau ada mobil lagi di hadapannya, salah satu harus mebgalah dan mundur teratur. Menghela nafas lega begitu rumah sederhara berlantai satu itu sudah terlihat oleh mata. Sebentar lagi, akan sampai. Audya sudah tidak sabar untuk membersihkan tubuhnya. Sudah lengket.
"Assalamualaikum," sapa audya. Memasuki rumah langsung. Toko kelontong milik ibunya kenapa sudah tutup jam sekarang? Bukankah akan Apa ada masalah lagi? Audya yang khawatir, menerobos kerumunan yang ada.
Tidak ada jawaban. Dengan tergesa mencari keberadaan ibunya. Memanggil dan memberi tahu bahwa dirinya sudah pulang sekarang. Mengernyit begitu rumah terasa sangat sepi. Ke mana perginya orang-orang. Tidak seperti biasanya. Pintu tidak di kunci namun tidak ada orang di dalam rumah. Walau memang tidak ada barang seberharga itu, tapi ibunya tetap mengunci. Memasuki rumah makin dalam dengan memanggil ibunya beberapa kali.
"Ibu. Aku pulang. Bu, Yah, Dek." Nihil. Tidak ada yang menjawab panggilannya. Memasuki kamar satu persatu dan tidak ada orang sama sekali. Sepuluh menit, semua ruangan sudah Audya cek. Dan tidak ada keberadaan keluarganya.
Dengan panik mengambil ponsel dan menghubungi adiknya. Hanya Andira yang memiliki ponsel di antara tiga orang yang entah di mana itu. Deringan pertama, tidak ada jawaban. Begitu juga yang kedua dan ketiga. Audya panik. Perasaan buruk tiba-tiba menghampiri. Keluar dari rumah berniat untuk bertanya pada tetangganya. Semoga saja ada yang mengetahui.
Menengok kanan kiri, menjelang maghrib, suasana di sini begitu sepi. Hampir tidak ada orang di luar rumah. Mengetuk pintu tetangga yang rumahnya tepat di samping kanan.
Tok tok
"Ibu, maaf mengganggu. Apa melihat keluarga saya ke mana?" tanya Audya langsung.
Wanita berdaster itu menghela nafas dalam. "Tadi, adik kamu pulang dan entah apa yang diributkan. Ibu juga enggak tahu. Adik kamu berteriak dan memaki Dina. Enggak lama, Andira pergi. Dan enggak lama kemudian, Dina keluar sambil menangis. Meminta tolong kalau ayah kamu jatuh dari kursi rodanya. Dan sekarang sudah berada di rumah sakit Harapan."
Mata Audya membola. Hatinya mencelus. Ya Tuhan, ada saja masalah yang datang di hidupnya. "Terima kasih ya Bu. Audya mau nyusul ke rumah sakit dulu," ucapnya tulus. Dengan segera memasuki rumah. Mengambil uang simpanannya yang diletakkan di bawah baju. Mengunci pintu rumah dan bergegas ke rumah sakit tanpa repot mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Keadaan ayahnya yang paling penting sekarang. Audya bahkan tidak sadar sejak kapan pipinya dibasahi air mata. Berjalan lagi sampai halte dan duduk diam menunggu angkutan datang. Di saat seperti ini, Audya bingung. Sebagai anak tertua, dia yang sudah sepantasnya bertanggung jawab di sini. Tentang semuanya. Begitu juga biaya yang nanti dibutuhkan. Audya realistis saja. Jika masuj rumah sakit tentu membutuhkan biaya. Bukan berniat hitung-hitungan. Tapi, kalau memang tidak ada, mau bagaimana? Tabungannya yang tersisa juga tinggal sedikit. Tidak mungkin akan menutup biaya perawatan.
"Neng, rumah sakit kan? Sudah sampai." Tersentak saat melihat sebelah kanannya memang bangunan rumah sakit yang dituju. Audya melamun sampai tidak menyadarinya. Untung tadi sempat menyebutkan tujuannya dan dengan baik hati sopir angkutan mengingatkan. Memberikan uang lima ribuan dan mengucapkan terima kasih. Kakinya melangkah dengan perlahan menyusuri jalanan setapak yang menghubungkan jalan raya dengan rumah sakit. Menuju pusat informasi untuk menanyakan di mana ayahnya berada. Kembali berjalan saat sudah mengetahuinya. Suasana rumah sakit yang mulai sepi seiring bergantinya terang menjadi malam membuat suasana hati Audya makin kacau.
Sebelum tiba di ruangan sang ayah, Audya memilih untuk menuju masjid yang ada di dalam bangunan rumah sakit. Sepertinya Audya sudah berjalan terlalu jauh dari sang penciptanya. Dia sudah lalai menjalankan kewajibannya. Mungkin memang ini cara Tuhannya untuk menegur. Mengingatkan bahwa dia sebagai hamba, masih memiliki Dia, Tuhan yang segalanya.
"Ya Allah, sepertinya memang hamba sudah terlalu jauh dan lalai. Hamba mohon maafkan hamba. Hamba bingung," lirih Audya. Mengangkat tangan setelah menyelesaikan ibadah salat maghribnya.
Audya terlalu sombong karena tidak pernah memohon apa pun selama ini. Sering lalai dengan kewajibannya dan melanggar larangannya. Audya merasa sangat berdosa. Saat dalam keadaan terjepit seperti ini, baru dirinya datang. Audya malu.
Melipat kembali mukena yang dipakai. Menarik nafas panjang dan berjalan menuju ruangan di mana sekarang ayah dan ibunya berada. Selama berjalan, hati Audya memang lebih tenang, tapi pikirannya tetap kosong. Sampai tidak menyadari adanya seseorang yang mendekat ke arahnya.
"Kamu, di sini juga?" pria itu mengernyit melihat Audya yang malah berjalan terus tanpa merespons.
"Audya, saya tanya. Kamu di sini juga?" tanyanya sekali lagi. Kali ini mencekal pergelangan tangan Audya pelan.
Mengerjap beberapa kali dan memandang bingunh wajah pria di hadapannya. "Bapak di sini juga?" tanyanya.
"Saya sudah dua kali bertanya seperti itu pada kamu. Kamu melamun?"
"Ah eh mm... iya pak. Maaf karena tidak menyadarinya. Saya permisi ya pak," pamit Audya meninggalkan. Sekarang bukan waktunya untuk basa basi.
Pria yang ditinggalkan mengedikkan bahunya acuh. Mungkin memang Audya sedang ada urusan yang penting.