Empat kali bertemu

2143 Kata
Jam istirahat makan siang akhirnya tiba. Audya yang sudah mati kebosanan, menghela nafas lega. Setidaknya bisa keluar sebentar untuk makan atau bermain ponsel. Sedari tadi duduk di kursi hanya diam sesekali menyanggupi permintaan tolong dari karyawan lain. Walau terdengar kurang masuk akal, namun Audya hanya bisa menyanggupi. Audya bisa apa kan selain hanya mengiyakan. Padahal tadi saat dijelaskan tugasnya oleh bu Lidia, tugas Audya itu bukan untuk melayani karyawan lainnya. Melainkan membantu mereka menyelesaikan pekerjaan. Katanya juga ada salah satu karyawan yang akan ditugaskan untuk membantunya, tapi ditunggu sedari tadi tidak datang juga. Entah memang lupa atau malah sengaja. Ingin membuka ponsel, nanti takut malah menimbulkan masalah. Yang biasa dilakukan menopang dagunya di hadapan layar komputer yang menyala. Tiga jam waktu menuju istirahat terasa sangat lama. Huh, memang benar ya. Waktu kalau ditunggu seperti memainkan seolah lambat berdetak. Sebaliknya, jika diharapkan jangan cepat berlalu malah berjalan dengan cepat. “Makan di kantin sini mahal enggak, ya?” gumam Audya. Inginnya tetap diam di kursinya tapi sayang, perut tidak bisa diajak kompromi. Bukannya diam malah berteriak minta diisi. Memberanikan diri mengunjungi kantin. Mungkin akan membeli roti saja. Untuk mengganjal perut. Sepertinya tidak mungkin jika menahan sampai pulang nanti. Takutnya malah pingsan. Bisa malulah, pingsan dengan alasan kelaparan. “Ramai banget.” Melihat kantin yang berada di lantai tujuh begitu ramai. Ingin turun ke kantin yang ada di lantai satu juga pasti akan sama ramainya. Memilih mengantre saja. Rasanya seperti anak hilang di tengah keramaian. Audya merasa asing di sini. Apalagi dengan kesendiriannya tanpa satu pun orang yang dikenal. Saat-saat seperti ini, Audya merindukan keberadaan Liam. Sahabat setianya. Mengantre lumayan lama, tiba juga bagian Audya untuk memesan. Ya Tuhan, padahal hanya membeli satu bungkus roti. Tapi antrenya lama sekali. “Saya mau roti ini satu ya, Bu. Jadinya berapa?” tanya Audya. Menunjukkan roti bertuliskan rasa coklat pada ibu penjaga stand. “Pegawai baru ya?” bukannya menjawab, ibu itu malah berbalik tanya. Menatap heran pada Audya. Audya yang ditatap melihat ke arah pakaiannya. Apa ada yang salah? Semua baik-baik saja kok. Lalu, apa arti tatapan itu? “Iya pegawai baru, Bu. Ah, anak magang lebih tepatnya, Bu. Ada apa ya?” Audya mengernyit heran. Si ibu malah buat penasaran saja. “Semua karyawan yang makan di sini itu gratis, neng. Perusahaan yang menanggung semuanya. Jadi mau makan apa saja juga gratis.” Audya melongo. Kalau tahu gratis mah tadi tidak hanya mengambil roti. Makan berat sekalian. Mau ganti pesanan juga malu. Sudah terlanjur. “Ah seperti itu ya, Bu? Anak magang juga gratis, Bu?” tanya Audya memastikan. Takut-takut kalau telinganya salah dengar. Semoga saja tidak. Mengangguk dua kali dan langsung memberikan tambahan satu bungkus roti pada Audya. “Gratis, neng. Ini ibu tambah satu ya. Atau mau yang lain?” Tersenyum menatap wajah cengo Audya. "Ah, ini saja sudah cukup, Bu. Terima kasih banyak." Mengerjap beberapa kali dan mengucapkan terima kasih. Audya berjalan kembali ke tempatnya. Akan makan di lantai sepuluh saja langsung. Duduk di antara karyawan juga hanya membuat dirinya merasa terasingkan. Kenapa harus Audya sendiri yang magang di kantor ini sih? Sedangkan teman-temannya yang lain termasuk Liam, tidak hanya sendiri melainkan dua atau tiga orang. Setidaknya jika ada teman yang satu dari universitas, Audya tidak akan kesepian seperti sekarang. Tiba di lantai sepuluh, melalui petunjuk arah, menuju dapur. Takut mengganggu jika makan di ruangan. Di dapur, ada beberapa office boy yang tengah beristirahat. Memutuskan masuk dan mendudukkan diri di kursi kosong yang ada. “Permisi, saya ikut duduk di sini apa boleh?” tanya Audya. Bagaimana pun juga, dirinya hanya pendatang di kantor ini. Apa pun yang dilakukan harus izin terlebih dahulu. Tiga orang itu menoleh dan menganggukkan kepalanya membiarkan Audya untuk makan di sini. “Silakan, Neng. Yang magang kan ya?” Audya mengangguk disertai senyum kecil. Oh sepertinya kabar kedatangan anak magang sudah tersebar. Dan wajah asing Audya langsung dikenali sebagai si magang itu. “Semoga betah ya, Neng. Kalau mau minum tinggal minta buatkan kita atau kalau mau buat sendiri, ke sini aja. Jangan sungkan-sungkan,” ucap salah satu dari mereka yang diangguki dua orang lainnya. Audya bersyukur dalam hati kala mereka menerima keberadaannya. Setidaknya Audya mempunyai orang yang dianggap baik di sini. “Amiin. Silakan dilanjut lagi makannya,” ringis Audya. Gara-gara kedatangannya, mereka yang sedang makan terpaksa menghentikan makannya demi basa-basi. Selesai memakan satu bungkus roti dan meminum teh yang dibuatnya sendiri, Audya kembali ke tempatnya. Masih ada sisa sekitar lima menit lagi menuju jam masuk. Tapi tidak ada salahnya kan datang lebih dahulu. Membuka komputer, sekedar melihat-lihat halaman di layar laman pencarian yang terbuka. Audya tadi sempat mengirim pesan pada Liam. Tapi sayangnya balasan yang diharapkan tidak kunjung datang. Padahal ingin sekali mendengar cerita pria itu di tempat magangnya dan untuk menghilangkan jenuh hanya diam sedari tadi. “Eh, nama lu Audya, 'kan?” Audya yang merasa namanya di sebut menoleh pada wanita yang tadi sempat dilihatnya. Menghuni satu ruangan yang sama. Dengan sopan mengangguk menjawab. “Ini, tolong fotokopi ini ya. Tiga lembar aja. Mesin fotokopi ada di dekat dapur.” Masih dengan senyum, menerima kertas lumayan tebal itu. Dalam hati mencoba menerima jika tugas seperti ini yang akan menemaninya selama tiga bulan ke depan. “Baik kak.” Bahu Audya terkulai saat melihat tulisan yang menyatakan bahwa mesin fotokopi tengah dalam keadaan rusak. Lalu, apa langkah yang harus Audya ambil setelah ini? Kembali dengan tangan kosong atau mencari mesin fotokopi lain? Tidak mungkin kan hanya ada satu di perusahaan besar seperti ini. Tapi, di mana? Baru saja satu hari ini magang. Mana tahu tempat-tempat lain? Menengok ke segala arah. Tersenyum mendapati salah satu office boy tadi yang entah siapa namanya. Mendekat dengan harapan besar. “Maaf Kak atau Bang, apa ada mesin fotokopi lain? Yang di dekat dapur sedang rusak,” tanya Audya. Ah, Audya bingung harus memanggil dengan sebutan apa. “Di setiap lantai ada, kok. Aduh saya juga bingung harus panggil siapa. Panggil saya Jaka saja seperti yang lain.” Jaka mengusap kepalanya yang tidak gatal. Mau panggil ibu juga Audya masih terlalu muda. Panggil nama, tidak sopan. Lagi pula Jaka belum mengenal nama Audya. “Panggil Audya saja. Aduh kalau panggil nama rasanya saya kurang sopan. Saya panggil bang saja bagaimana?” tolak Audya halus. Bagaimanapun, usianya terpaut jauh dari pria di hadapannya. Tidak sopan kalau hanya memanggil nama saja. Audya memutuskan untuk naik ke lantai sebelas. Entah lah, tanpa alasan dirinya melakukan. Pilihan paling dekat, lantai sembilan atau sebelas. Namun keyakinan menuntunnya ke lantai sebelas. Tidak ada bedanya juga kan. Tiba di lantai sebelas, Audya merutuki pilihannya. Sepertinya lantai ini bukan lantai yang diperuntukkan untuk pegawai biasa. Dilihat tidak ada kubikel di tengah ruangan. Harusnya tadi bertanya lebih mendetail. Jadi tidak akan terjadi seperti ini. “Permisi, maaf saya dari lantai sepuluh bermaksud untuk menggunakan mesin fotokopi di lantai sebelas dikarenakan mesin fotokopi lantai sepuluh sedang bermasalah. Kalau boleh tahu, di mana letak mesin fotokopinya ya, Bu?” tanya Audya pada wanita dengan pakaian modis yang tengah duduk di depan ruangan bertuliskan CEO. Benar kan, Audya salah memilih lantai sebelas. Lantai ini sudah dipastikan ditempati oleh petinggi perusahaan. Dibuktikan dengan pintu bertuliskan CEO itu. Wanita yang tengah bermain ponsel itu mengalihkan perhatiannya pada Audya. Menatap gadis muda di hadapannya dengan pandangan menelisik. “Sepertinya saya tidak pernah melihat wajah kamu?” Matanya tidak putus memandangi wajah Audya. Audya menghela nafas pelan. Ah, sepertinya wanita di hadapannya ini bukan tipe ramah. Sekali lihat saja bisa langsung menilai. “Saya mahasiswi magang, Bu. Baru hari ini mulai magang,” jawab Audya. Harus berapa kali menjelaskan? Apa sampai seluruh penghuni kantor tahu jika dirinya adalah anak magang? Bosan juga harus menjawab pertanyaan yang sama berulang kali. Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. “Mesin fotokopi ada di ujung kanan. Dekat dengan dapur,” ucapnya memberi tahu. Audya mengucapkan terima kasih dan meninggalkan menuju mesin fotokopi yang tadi ditunjukkan. Setelah mendengar jika mesin fotokopi terletak dengan dapur juga, Audya jadi penasaran, apa di lantai lain juga sama? Pemikiran yang tidak penting. “Syukurlah tugasnya selesai juga,” gumam Audya. Saat ini sedang menunggu lift terbuka. Sedari tadi sudah menekan lift namun tidak juga terbuka. Sepertinya baru saja digunakan untuk turun atau sedang naik tapi masih di lantai bawah. Audya yang akan langsung masuk terhenti. Pandangannya terkunci dengan sepasang mata tajam berwarna coklat terang itu. Dengan segera memutus tatap. Menunduk dan memberi pria yang entah siapa itu jalan. Baru setelahnya memasuki lift. Audya tidak tahu siapa pria itu. Pria dengan jas yang ditemuinya tadi. Di ruang bu Vina dan pertama kali menginjakkan kaki di lantai sepuluh. “Cuman lihat matanya saja langsung merasa terintimidasi. Gila sih, aura kepemimpinannya terasa banget! Siapa ya?” gumam Audya. Mengusap bagian dadanya. Audya penasaran. Siapa gerangan pria yang sudah ditemuinya tiga kali itu. Kalu dilihat sih, sepertinya bagian dari petinggi perusahaan ini. Buktinya sampai naik ke lantai sebelas. Eh, tapi kan Audya juga sekarang tengah menginjak lantai sebelas, dan nyatanya hanya untuk menggunakan mesin fotokopi, bukan salah satu dari bagian petinggi perusahaan. Mungkin saja, pria tadi juga memiliki tujuan yang sama dengan Audya. Kan tidak ada yang tahu. "Mana wangi banget, lagi." “Iya. Taruh saja di meja. Lama banget cuman disuruh fotokopi. Padahal tinggal ke ujung saja,” gerutu wanita yang tadi meminta tolong pada Audya. Audya sudah membuka mulut untuk mengatakan alasannya. Namun urung. Daripada masalah makin panjang, mending diam saja. Diam bukan berarti pasrah karena disalahkan. Tapi kalau diam bisa menyelesaikan masalah, bukankah itu bagus? Kembali menuju kursinya. Menopang dagu bingung harus melakukan apa lagi. Matanya menatap handphone yang diletakkan di atas meja. Menyala menunjukkan adanya pesan baru. Mungkin tidak apa membuka handphone. Melihat sekelilingnya banyak juga yang memainkan ponsel mereka masing-masing. Audya tersenyum mendapati pesan balasan dari Liam. Ah beruntungnya teman lelakinya yang baru sempat membalas karena diberi pekerjaan yang banyak. Mengerjakan laporan-laporan. “Bagus banget. Baru hari pertama magang malah sibuk main handphone di jam kerja,” sindir wanita yang tadi memintanya untuk menggandakan kertas. Audya tersentak kaget. Menatap wanita itu dengan alis dinaikkan. Mau berkelit juga tidak bisa. Kenyataannya memang Audya tengah menggenggam ponsel di tangannya. Menunduk dalam seperti maling yang tertangkap basah. Padahal membuka ponsel juga baru saja. Berani melakukan karena selain tidak ada kerjaan juga melihat yang laun dengan bebas memainkan ponsel. “Ma ... maaf, Kak, saya bersalah,” ucap Audya mengakui. Bagaimanapun juga memang Audya yang salah. Harusnya mengetahui bahwa memainkan ponsel saat jam kerja tidak diperkenankan. Apa pun alasannya, tidak akan dibenarkan. “Dasar enggak tahu diri! Harusnya lu itu ngaca. Perusahaan dengan baik mau menerima anak magang kaya lu. Bukannya bersyukur dengan menjalankan tugas dengan baik malah cuman main handphone. Jangan-jangan lu tadi lama mengerjakan tugas gua karena main handphone ya?” Audya menggeleng cepat. Audya sudah bersyukur dan berusaha bekerja dengan baik. Tapi memang tidak ada pekerjaan sama sekali yang diberikan padanya. Audya bisa apa? “Maaf, Mbak. Tadi mbak Audya ke lantai lain buat fotokopi. Di lantai ini sedang rusak,” sela Jaka yang menjadi saksi akan peristiwa yang menyebabkan lamanya Audya mengerjakan tugas. “Diam lu! Enggak usah ceramahi gua,” sentak wanita dengan nama Andin itu. Tidak ada yang bisa menahannya untuk terus berbicara. Apalagi Jaka si office boy. Mendengus ke arah Jaka dan menuding wajah Audya. Dengan isyarat mata, Audya meminta agar Jaka diam tidak meladeni ucapan Andin lagi. Atau yang ada malah akan makin melebar ke mana-mana masalahnya. “Iya kok, Ndin. Tadi dia ke lantai sebelas buat ikut fotokopi,” sela wanita yang Audya temui di lantai sebelas. Wanita yang dinilainya memiliki sifat buruk. Audya menyesal sudah menyimpulkan dengan sepihak. Apalagi saat melihat wajah wanita berpakaian modis itu melemparkan senyum kecil ke arahnya. Membalas senyum itu dan bergumam terima kasih. Huh, bukti dirinya tidak melalaikan tugas makin kuat. Dari sudut mata, Audya dapat melihat pria dengan jas dan bermata coklat itu mendekat. “Ada apa ini?” tanyanya dengan suara berat khas lelaki dewasa. “Hanya kesalahpahaman kecil, Pak. Apa akan kembali sekarang? Setengah jam lagi ada pertemuan dengan calon investor baru,” jawab wanita yang tidak lain sekretaris sang pria. Wanita yang sama dengan yang tadi secara tidak sengaja membelanya. Pria itu mengangguk singkat. Mulai berjalan meninggalkan Audya. Ya Tuhan, hanya berdiri berhadapan saja rasanya sudah luar biasa. Perasaan Audya sungguh membuncah. Audya bisa bernafas lega begitu orang-orang kembali ke tempat masing-masing. Memulai fokus pada pekerjaan. Audya? Ya melanjutkan menopang dagu tanpa melakukan apa-apa. Gawainya bahkan sekarang sudah entah di mana. “Dia siapa? Hari ini sudah bertemu sebanyak empat kali. Lah wajahlah. Orang satu kantor.” Audya menyadarkan bahwa yang ada dibayangkannya tidak akan pernah bisa terwujud. “Kita bertemu lagi, gadis kecil,” gumam seorang pria. Duduk di kursi kebesarannya. "Padahal baru pisah satu hari. Tapi rasanya udah kangen aja. Efek terlalu lama bareng ya jadi begini. Giliran dipisah bakal cepat kangen. Huft," gumam seorang pria yang dengan malas, merebahkan kepalanya di atas meja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN