Tepat pukul enam pagi, Zulla sudah bangun dari tidurnya. Dia merasa badannya lebih segar setelah beristirahat. Lima belas menit waktunya dipakai untuk melihat ponselnya. Bermain gim dan melihat beberapa akun sosial medianya. Wajahnya terus memancarkan senyuman cantik.
Ada banyak sekali chat dari beberapa orang. Ada yang menanyakan kabar, memberi ucapan selamat, ada pula yang menanyakan tugas dan masih ada beberapa pertanyaan atau chat lainnya. Kebiasaannya, dia akan lebih memilih bermain gim sebentar setelah memastikan ada chat masuk dari siapa saja. Setelah bermain gim, Zulla akan mandi dan melakukan kegiatan selanjutnya. Seperti kalau dia akan pergi, maka akan bersiap-siap seperti sekarang ini.
Selesai bersiap-siap dan mempercantik diri, Zulla langsung keluar dari kamar hotel sembari menatap ponselnya. Baru sekarang dia akan memilih chat mana dulu yang menurutnya lebih urgent. Dia akan mengurutkannya dari yang paling darurat ke yang paling biasa. Bukan yang dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas, melainkan dari yang paling darurat terlebih dulu.
Saat sampai di depan kamar Yudha, dia berhenti sebentar dan menoleh ke arahnya. Zulla berniat menelepon Yudha tapi ponselnya tidak aktif.
"Cis... Jam segini masih tidur dia? Ya maaf, gue nyari sarapan duluan." cengir Zulla sambil lanjut berjalan.
Tak lama, Zulla merasa ponselnya berdering. Ternyata Alexa yang meneleponnya. Segera Zulla menerima panggilan dari bundanya yang pasti akan merasa cemas selama dia dan Yudha masih di Singapura.
"Hallo, Bundaku sayang. Kakak kangen." rengeknya manja pada Alexa.
"Bunda juga kangen sama Kak Zulla, sama Yudha." balas Alexa.
"Kalian gimana di sana? Seru? Enggak terjadi apa-apa 'kan?" tanya Alexa memberondong karena memang benar-benar mencemaskan kedua anaknya yang sedang jauh dari pelupuk matanya.
"Aku sama Yudha baik-baik aja kok, Bun. Jangan khawatir. Kami nanti pulang besok lusa." jelas Zulla.
Belum lama mereka bertelepon, Alexa bilang sudah harus masuk kantor. Panggilan pun berakhir di sana dan Zulla lanjut keluar hotel mencari tempat makan yang sekiranya enak dan murah.
"Oke, sarapan apa kira-kira hari ini?" tanyanya entah pada siapa.
Zulla langsung menaiki lift dan menekan angka paling bawah. Tangannya masih memegang ponselnya. Hatinya meronta ingin melihat Alfa. Di saat rindu begini dan jauh dari rumah, Zulla hanya bisa memandangi wajah Alfa dari media sosial yang dimiliki lelaki itu.
"Aku enggak salah suka sama orang." senyumnya sambil memandangi wajah Alfa di layar ponselnya.
Kebetulan, di dalam lift tidak ada orang selain Zulla. Hanya dia seorang diri, jadi dia bebas mau melihat Alfa sepuasnya. Pintu lift terbuka, tapi ini masih di lantai tiga.
"Loh... Kamu ada di sini?"
Sebuah suara yang begitu Zulla kenal mengagetkannya. Saat mendongak, Zulla merasa terkena serangan jantung dadakan.
Brak!
Alfa tepat ada di depannya sambil tersenyum tampan. Tentunya hal ini membuat Zulla yang sedang memandangi wajah Alfa jadi kaget hingga ponselnya terjatuh begitu saja.
"Saya ngagetin kamu banget? Sampai HP kamu jatuh begitu?" heran Alfa sambil membungkuk buat mengambilkan ponsel Zulla yang tergeletak tak berdaya.
"Jangan!" teriak Zulla refleks sambil meraih ponselnya tiba-tiba dan langsung memasukkan ke dalam tas.
Tingkah Zulla barusan membuat Alfa mengerutkan keningnya. Dia bingung kenapa sikap Zulla harus sampai sebegitunya. Padahal Alfa hanya bermaksud membantunya saja. Bukan hal-hal aneh.
"Maksud aku, Om dokter enggak perlu repot-repot ngambilin HP-ku." katanya mencoba mencari alibi agar Alfa tidak curiga.
Semoga Om dokter enggak lihat kalau tadi aku ngelihatin fotonya di HP. Pinta Zulla di dalam hati.
Alfa berdiri di samping Zulla, dia masih saja tersenyum sambil menatap pintu lift. Dalam kondisi begini, Zulla semakin dibuat gugup. Jantungnya berdetak tiga kali lipat lebih cepat.
"Kamu enggak lagi nonton yang aneh-aneh 'kan tadi?" bisik Alfa di samping telinga Zulla.
"Aneh-aneh? Enggaklah, Om." gelengnya berulang kali.
"Terus kenapa kamu sampai segugup ini?"
Ya karena Om dokterlah penyebabnya, siapa lagi coba? Pekik Zulla dalam hati.
"Om dokter ngagetin, masuk tiba-tiba. Aku kira tadi hantunya Om dokter di sini." katanya bersungut-sungut agar Alfa tidak curiga lagi.
Alfa tertawa, lucu dia melihat tingkah Zulla sekarang. Tapi tanpa Alfa tahu, bahwa Zulla begitu menikmati tawanya sekarang.
Jangan ngaco dan jangan ngomong macem-macem, Zul. Kalau Om dokter jadi hantu, berarti Om dokter harus mati dulu. Enggak boleh. Om dokter enggak boleh mati sebelum jadi suami gue. Zulla merutuki kebodohannya sendiri, tapi setelah dipikir-pikir hanya itu yang terlintas dalam otaknya.
"Saya belum mati berarti saya bukan hantu. Mana ada hantu setampan saya." katanya lagi.
"Om dokter PD banget sih ganteng." balas Zulla masih dalam usaha menutupi kesaltingannya.
Tapi emang ganteng sih, makanya gue suka. Lanjut Zulla di hatinya lagi.
"Yakin saya tidak ganteng? Memangnya kamu tidak suka sama saya?" goda Alfa tiba-tiba membuat Zulla hampir saja kehilangan napas.
Mata Zulla melebar. Dia seolah tuli sejenak, tubuhnya bagaikan melayang mendengar pertanyaan Alfa. Apa barusan dia tidak salah dengar? Apa Alfa memang bertanya seperti itu? Zulla benar-benar kaget dan tak tahu harus menjawab apa.
Suara tawa menggelar membuat Zulla semakin kebingungan. Dia bingung harus bersikap bagaimana pada Alfa sekarang. Akhirnya, Zulla hanya bisa nyengkir kuda.
Ting!
Lift terbuka, mereka perlahan keluar dan berjalan tanpa tujuan. Zulla hanya mengikuti ke mana langkah kaki Alfa tanpa tahu tujuan lelaki itu.
"Saya bercanda tadi." kata Alfa lagi membuat Zulla sedikit lega.
"Oh... Hehehe... Om dokter bisa aja bercandanya." cengirnya.
Padahal, terlihat jelas kalau wajah Zulla memerah sekarang. Gadis itu bahkan merasakan mukanya panas bagaikan terbakar.
"Oh ya, kamu mau ke mana?"
Zulla baru ingat, tujuan awalnya tadi mencari sarapan. Tapi setelah bertemu dengan Alfa, Zulla berharap bisa makan bersama Alfa. Tapi Zulla terlalu malu kalau harus mengajak Alfa makan duluan.
"Aku tadi mau nyari sarapan, Om." jawabnya pelan.
"Kebetulan, gimana kalau kita sarapan bareng?" tawar Alfa enteng.
Yes! Om dokter nawarin buat sarapan bareng. Jelas gue mau lah. Pekik hati Zulla kegirangan tanpa batas.
"Emangnya enggak ngerepotin Om dokter?"
Mantap. Basa-basi tetap harus dilakukan agar tidak terlihat gampangan. Paling tidak bertanya saja seperti di atas. Kini Zulla melihat Alfa menggelengkan kepalanya.
"Tidak sama sekali. Saya juga makan sendiri, lagi pula kita kenal 'kan. Itu juga kalau kamu tidak keberatan." angguk Alfa.
Zulla mengedipkan matanya berulang kali. Dia ganti nyengir sekarang dan membuat Alfa menaikkan sebelah alisnya karena tak paham maksud Zulla.
"Ditraktir ya sama Om dokter?" bisik Zulla.
Pertanyaan Zulla berhasil membuat Alfa tertawa terbahak-bahak. Melihatnya, membuat Zulla merasa bagaikan diterpa angin segar dia sekarang. Tawa itu yang selalu Zulla nantikan setiap tidak sengaja bertemu dengan Alfa.
"Iya, nanti saya traktir. Tapi dengan satu syarat." katanya sambil menunjukkan jari telunjuknya mengisyaratkan angka satu.
Keduanya sudah keluar dari hotel. Mereka kini berjalan ke arah jalan raya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari hotel mereka menginap. Bukan jalan yang buru-buru, tapi lebih ke arah jalan santai agar pagi ini tidak terlalu berkeringat.
"Apa syaratnya, Om?"
"Saya yang pilih tempat makannya."
"Siap!"
Tingkah lucu Zulla mampu membuat Alfa tertawa lagi. Apalagi sekarang gadis itu sedang hormat padanya. Membuat Alfa semakin tertawa.
"Tapi aku juga punya syarat."
"Kalau saya bisa penuhi, mungkin boleh."
Wajah Marsel terus berkelebat di ingatan Zulla sedari tadi. Dia teringat ayahnya tanpa henti. Ketakutannya pada Marsel kalau ayahnya tahu dia sering diantar pulang atau berinteraksi dengan Alfa, membuat Zulla tak bisa tenang. Dia menoleh ke sekitar, memastikan kalau tidak ada paparazi yang dikirim Marsel ke sini untuk mengawasinya. Tapi sepertinya tidak ada.
"Jangan bilang-bilang ke Ayah ya, Om. Kalau kita enggak sengaja ketemu di sini." katanya pelan.
"Siap!"
Kali ini Zulla yang tertawa melihat tingkah Alfa. Lelaki itu mengacungkan jempol kirinya ke arah Zulla. Kalau sudah begini, Zulla bisa sedikit tenang.
"Ngomong-ngomong, kamu ngapain di sini?" heran Alfa.
Sebelum Zulla menjawab, mereka lebih dulu mengantre dengan beberapa orang lainnya buat naik bus menuju tempat yang Alfa maksudkan. Tentunya mereka berdua duduk bersebelahan.
"Aku sebenarnya kemarin ada lomba nyanyi di sini. Tapi aku bilang ke Ayah kalau aku lagi jalan-jalan aja." katanya jujur.
"Huwahh... Lomba nyanyi? Berapa hari?"
"Cuma sehari doang, Om. Kemarin doang dan sudah selesai."
"Yah..."
Wajah tampan itu, Zulla melihatnya seperti sedang menyesali karena tidak bisa melihatnya lomba.
"Terus kamu menang?"
"Juara tiga sih hehehe..." cengirnya.
Lagi-lagi, Alfa memberikan dua jempolnya pada Zulla. Alfa akui, suara gadis yang duduk di sampingnya itu begitu merdu.
"Tidak apa-apa meski juara tiga. Yang terpenting sudah usaha. Kamu hebat." pujinya lagi.
Dua kali ini Zulla mendapat pujian dengan kata-kata yang sama dari Alfa. Namun tetap saja, rasanya tetap sama. Mampu membuat Zulla berbunga-bunga dan tersenyum bahagia.
"Om sendiri ada urusan kerjaan di sini?"
"Oh... Enggak. Saya lagi berkunjung ke sepupu saya yang kakaknya Lidya itu. Yang dulu pernah saya ceritakan ke kamu. Saya sudah ada di sini dari kemarin dan seharian jalan-jalan sama dia. Niatnya tadi, hari ini mau jalan-jalan lagi tapi tiba-tiba dia ada kelas dan jadwal kuliahnya padat." jelas Alfa serinci mungkin membuat Zulla langsung memahami.
"Oh begitu."
Zulla menganggukkan kepalanya paham. Entah memang takdir atau nasib atau jodoh, Zulla sama sekali tidak menyangka kalau dirinya akan bertemu secara tidak sengaja dengan Alfa di negara orang begini.
Gue seneng kok, meski bolak-balik enggak sengaja ketemu sama Om dokter kayak begini. Batinnya sambil sesekali mencuri pandang ke Alfa.
***
Next...