Bagian 1
"Bagaimana, Dok? Jenis kelamin anak saya laki-laki, kan?"
Mas Mulya yang sedang menemaniku kontrol kandungan, tidak sabar ingin mengetahui jenis kelamin bayi yang ada di dalam kandunganku.
Sebuah alat yang tidak kuketahui apa namanya tersebut, digerak-gerakkan oleh dokter di atas perutku setelah dioles gel terlebih dahulu.
Kami sama-sama melihat ke layar monitor untuk mengetahui kondisi bayi di dalam kandunganku.
"Lihat lah Pak, Bu, bayinya lagi gerak. Usia kandungan sudah memasuki 28 minggu. Posisinya bagus. Kepalanya sudah berada di bawah, letak plasenta bagus dan air ketuban juga cukup. Berat janin 1000 gram dan jenis kelaminnya perempuan," jelas Pak Dokter.
"Coba periksa lagi, Dok. Dokter pasti salah. Ini kehamilan istriku yang keempat. Masa iya, perempuan lagi? Periksa sekali lagi, Dok," ucap suamiku. Ia tidak percaya dengan jawaban dokter barusan.
Degh!
Jantungku langsung berdetak kencang. Ada rasa takut yang seketika menyerangku. Aku takut jika setelah mengetahui jenis kelamin bayi yang ada dalam kandunganku ini, Mas Mulya tidak akan mau menerimanya. Seperti kakak-kakaknya sebelumnya.
"Hasil keakuratan USG ini hanya delapan puluh persen, Pak. Ini baru kemungkinan. Selebihnya, serahkan saja kepada Allah," jelas Pak Dokter lagi.
"Aku tidak menginginkan anak perempuan, Dok. Aku maunya anak laki-laki. Aku sudah memiliki tiga orang anak perempuan. Masa calon anak keempat perempuan lagi?" protes Mas Mulya.
Aku hanya bisa menangis mendengar kata-kata suamiku. Air mata mengalir deras, tanpa bisa ditahan. Tega sekali suamiku berkata seperti itu tanpa memikirkan perasaanku sedikitpun.
Ia tidak menginginkan bayi yang ada di dalam kandunganku ini. Sakit sekali rasanya mendengar ucapannya. Jika seandainya bayi yang berada dalam kandunganku ini bisa mendengar, pasti ia akan sedih.
"Istighfar, Pak. Anak laki-laki dan perempuan itu sama saja. Anak adalah anugerah dari Allah, yang harus kita jaga. Banyak pasangan suami istri di luar sana yang mendambakan kehadiran seorang anak. Seharusnya Bapak bersyukur sudah dikasih kepercayaan oleh Allah untuk menjaga titipannya." Kelihatannya dokter mulai kesal melihat sikap Mas Mulya.
Asisten dokter yang sedang mengelap gel di perutku pun menatap sinis ke arah Mas Mulyo. Mungkin ia juga kesal mendengar ucapan suamiku.
"Bahkan Bapak tidak ingin mengetahui kondisi bayi yang ada di dalam kandungan istri Bapak? Apakah ia sehat atau tidak? Hanya jenis kelamin kah yang ingin Bapak ketahui dari hasil USG ini?" Pak Dokter mulai geram melihat tingkah suamiku.
"Seharusnya Bapak bersyukur, kondisi bayi di dalam kandungan istri Bapak baik-baik saja. Semuanya normal. Jadi, jangan buat istri anda stress, karena jika ibunya stress maka bayinya pun akan ikut stress. Jagalah kesehatan istri Bapak dengan baik." Pak Dokter tersebut sambil memberikan resep obat kepada suamiku.
"Ayo pulang!"
Mas Mulya menarik tanganku dengan kasar. Bahkan belum sempat kuucapkan terimakasih kepada dokter tersebut, Mas Mulya sudah menarik tanganku terlebih dahulu.
Sesampainya di mobil, hinaan dan cacian pun ia lontarkan padaku.
"Mas 'kan sudah bilang, Mas tidak mau anak perempuan lagi! Kenapa kamu tidak berusaha, sih?" Mas Mulya berucap dengan nada tinggi. Padahal biarpun ia mengatakannya dengan pelan, aku bisa dengarnya.
"Yang menentukan jenis kelamin itu Allah, Mas. Bukan aku," jawabku kesal.
"Kalau orang lain bisa, kenapa kamu nggak? Mas kecewa padamu. Impian Mas untuk memiliki anak laki-laki kandas sudah!" bentaknya. Membuat hatiku semakin sakit.
Ini bukan kali pertama Mas Mulya seperti ini. Di kehamilanku yang kedua, ketiga dan yang sekarang di kehamilan yang keempat, sikap Mas Mulya tetap sama.
Selama ini, aku selalu bersabar dengan sikapnya. Berharap Mas Mulya bisa berubah. Ternyata aku salah, Mas Mulya tidak akan pernah berubah.
"Bukan salahku jika tidak bisa melahirkan anak laki-laki, Mas. Itu murni kuasa Allah."
Aku mencoba menjelaskan kepadanya, tetapi Mas Mulya tetap tidak mau mendengarku.
"Tak bisakah kamu berusaha? Bukankah sekarang sudah banyak rumah sakit yang bisa untuk program anak? Kita bisa memilih, mau anak laki-laki atau perempuan. Tinggal bilang saja sama dokternya," ucapnya dengan entengnya.
Padahal, dokter hanya manusia biasa. Yang menentukan jenis kelamin itu mutlak kuasa Allah.
"Tolong jangan salahkan aku terus-menerus, Mas! Aku cuma menerima benihmu saja. Selanjutnya, Allah lah yang menentukan." Aku kemudian memalingkan wajah, malas menatap wajahnya yang sok paling benar itu.
"Kamu sudah berani menjawabku, Aira?" Mas Mulya menatapku tajam.
"Maaf, Mas. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya biar kamu tahu!"
Mas Mulya masih saja bicara panjang lebar seolah ia lah yang paling benar. Aku memilih untuk tidak menjawab lagi karena malas berdebat dengannya.
***
"Bagaimana hasilnya Aira? Apakah bayi yang ada dalam kandunganmu ini berjenis kelamin laki-laki?" tanya ibu mertuaku ketika kami tiba di rumah.
Mas Mulya langsung melemparkan amplop putih yang berisi hasil USG tersebut ke atas meja.
"Silakan Ibu buka sendiri," ujar Mas Mulya.
Ibu mertua segera membuka amplop warna putih tersebut dan langsung membaca isinya.
"Apa-apaan ini? Perempuan lagi? Aduh!
Memang dasar ya, istrimu ini tidak bisa memberimu anak laki-laki." Ibu melemparkan kertas hasil USG tadi. Bukan cuma melemparkannya saja, tetapi ibu juga menginjaknya karena hasilnya tidak sesuai dengan apa yang beliau harapkan.
"Sebaiknya kamu menikah lagi, Mulya! Biar ibu carikan perempuan yang bisa memberikanmu keturunan anak laki-laki." Ibu mertua berucap tanpa memerdulikan perasaanku sedikitpun.
"Kok' Ibu ngomongnya gitu, sih? bagaimanapun juga, anak yang ada di dalam kandungan Aira ini adalah cucu Ibu. Darah dagingnya Mas Mulya, Bu!"
"Ibu tahu, tetapi Ibu tidak mau cucu perempuan lagi. Sama dengan Mulya, Ibu juga menginginkan cucu laki-laki, Aira!"
"Betul, Bu. Aku maunya anak laki-laki. Aku tidak butuh anak perempuan. Ini kehamilanmu yang keempat, perempuan lagi. Aku malu sama teman-temanku, Aira! Mereka selalu mengejekku karena tidak kunjung memiliki anak laki-laki," sahut Mas Mulya.
"Memangnya kenapa kalau calon bayi kita ini perempuan lagi, Mas? Apa yang salah jika yang akan lahir perempuan lagi?"
Aku tidak habis pikir, kenapa mertua dan suamiku tidak menyukai anak perempuan. Padahal, perempuan dan laki-laki itu sama. Sama-sama anugrah dari Tuhan.
"Jelas beda, dong! Kamu seharusnya bisa melahirkan anak laki-laki, calon pewaris di keluarga kita," sambung Ibu.
"Udah ah, capek. Lebih baik aku pergi saja. Malas berlama-lama di rumah ini." Mas Mulya kemudian berlalu meninggalkanku dan Ibu yang masih berada di ruang tamu.
"Bu, maaf jika Aira lancang. Seharusnya Ibu menasehati Mas Mulya untuk belajar menerima apa yang sudah Allah tentukan, bukannya malah mendukung dan menyuruhnya menikah lagi, Bu. Aira tidak mau dimadu. Aira mohon padamu, Bu!"
"Lancang kamu ya!"
Plak!
Ibu mertua melayangkan tamparan ke pipi kiriku.
"Kenapa ibu menampar Aira? Apa salah Aira?" protesku pada Ibu dengan air mata yang berderai. Tak kusangka, ibu mertua akan memperlakukanku seperti ini.
"Kamu bertanya salahmu apa? Kamu sudah berani memerintahku. Dasar menantu tak tahu diri." Ibu murka. Padahal menurutku tidak ada yang salah dengan ucapanku barusan.
"Apa yang salah dengan ucapan Aira, Bu? Seharusnya ibu sebagai orang tua menasehati Mas Mulya agar tidak bersikap seperti itu. Mau bagaimanapun juga, suka atau tidak suka, ini adalah darah dagingnya, cucu Ibu juga."
"Sudah berani kamu, ya? Siap-siap saja, tidak lama lagi posisimu akan tergantikan oleh perempuan lain." Ibu sempat mengancam sebelum akhirnya beliau meninggalkanku.
Aku mengambil hasil USG tersebut, kemudian masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan semua kesedihanku. Sungguh, aku tidak menyangka jika suami dan ibu mertuaku begitu tega.
Bukannya tidak mau berusaha. Aku selalu berdoa kepada Allah, agar menitipkan bayi laki-laki di dalam rahimku ini.
Ya Allah, jika engkau hendak menciptakan manusia di dalam rahimku ini, maka jadikanlah ia laki-laki.
Aku tak pernah lupa membaca doa tersebut setiap hari. Saat sujud terakhir dalam sholat. Setelah selesai sholat, bahkan ketika sedang turun hujan, aku tidak lupa melafalkan doa tersebut. Karena saat turun hujan adalah waktu yang mustajab untuk berdoa. Tetapi, apa boleh buat, Allah belum mengabulkan doaku. Jika Allah memberikan anak perempuan lagi, berarti aku harus menerimanya dengan ikhlas.
Aku sudah memakan makanan yang dianjurkan dokter, sebagai penunjang untuk membantu proses program bayi laki-laki. Memakan pisang setiap hari sampai bosan. Menghitung masa subur juga telah kulakukan. Namun Mas Mulya selalu menggagalkan usahaku. Ia selalu meminta haknya sebagai suami, kapanpun ia mau. Mas Mulya tidak mau tahu tentang masa ovulasiku, biarpun sudah kujelaskan padanya.
Aku selalu mengatakan kepada Mas Mulya agar ia mendatangiku pada saat masa ovulasi atau saat puncak masa suburku, yang hanya terjadi satu bulan sekali. Tetapi Mas Mulya tidak mau mendengarnya. Alhasil, semua usaha yang kulakukan pun sia-sia.
Sekarang, tega-teganya Mas Mulya dan ibu mertua menyalahkanku. Aku tidak tahu terbuat dari apakah hati mereka. Sampai hati mengatakan kalau aku yang tidak mau berusaha.
Selama ini, aku selalu diam dan tidak pernah melawan atas perlakuan suami dan ibu mertua terhadapku dan anak-anak.
Sekarang, aku tidak akan tinggal diam jika suamiku menjadikan kehamilanku yang lagi-lagi mengandung bayi berjenis kelamin perempuan, sebagai alasan untuk berpoligami. Karena sampai kapanpun, aku tidak akan sudi dimadu.
Bersambung