Chapter 6

1539 Kata
Emily terdiam bahkan saat tiba waktu jam makan siang tiba. Kedua teman yang sering menghampirinya datang, “Emily, kamu tidak ikut makan siang denganku?” Tanya Carla. “Kamu duluan saja, sepertinya aku tidak ikut, oh ya tolong pesankan makanan saja untukku, nanti aku akan menganti biayanya.” Sahut Emily. Carla mengangguk, perempuan itu kemudian meninggalkan Emily sendirian di kantor termenung. Termenung bukan tanpa alasan tapi Emily termenung memikirkan sebuah n****+ yang sekarang ini sementara ia kerjakan. “Aku kehabisan ide untuk melanjutkan ceritanya.” Batin nya sembari menatap layar ponsel di mana baru saja ia mendapatkan email dari salah satu editor penerbit. “Atau aku selesaikan malam ini tapi kan di rumah ada Max? Tapi apa hubungannya Max dengan kegiatan menulis?” Emily menggeleng, ia bingung karena deadline nya sebentar lagi padahal saat ini idenya masih buntu. Di lain itu ia dan Hans juga sudah break jadi tidak ada hal lagi ia pikirkan, terlebih cerita yang sedang ia buat bergenre Romace. Romance macam apa jika penulisnya saja tidak merasakan feel dari tulisannya sendiri? “Kenapa aku jadi tiba-tiba blank seperti ini sih, biasanya juga ide mengalir seperti aliran sungai nil.” Gumam nya. Ponsel berlayar hitam menyala saat sebuah panggilan masuk di sana. “Halo Ra, Maaf sekali sepertinya dalam waktu dekat ini aku belum bisa mengirimkan naskah.” “Kamu ini bagaimana Emily. Minggu lalu kamu juga mengatakan hal seperti ini dan kau tau permintaan ceritamu sudah sangat di nanti di pasaran tapi kau penulisnya malah malas untuk menulis lagi. Kenapa kau berniat jadi penulis jika malas untuk menulis!” Maki Naura. Emily memejamkan mata dengan mengigit bibir bawahnya sendiri, “Tapi kan penulis juga berhak memutuskan untuk kapan dia melanjutkan tulisannya.” Jawab Emily. “Tentu saja kau berhak dan kami juga berhak memberikanmu penalti jika terlambat memberikan naskahnya padaku.” Setelah itu panggilan terputus secara sepihak. “Aish sialan, otakku benar-benar kosong. Tapi jika tidak segera ku selesaikan aku akan kena denda. Ah! Menyebalkan sekali.” “Amy ikut aku sebentar.” Tiba-tiba Hnas sudah ada di samping Emily menarik pergelangan tangannya dan menariknya ke suatu tempat. Emily menyentak tangannya dari Hans. “Hans, kita sudah selesai jadi tolong jangan ganggu kehidupanku lagi!” Seru Emily kesal. Hans berbalik mencium paksa bibir Emily. Emily melotot dan mendorong Hans sekuat tenaganya sebelum sebuah tamparan keras ia layangkan di wajah Hans. “Brengsekk!” Maki Emily di ikuti tendangan di tulang kering Hans. Hans mengaduh tapi segera menormalkan rasa sakitnya. Emily mengusap bekas cuman Hans di bibirnya dengan kasar. “Kau pikir aku ini jalangmu hah! Yang seenaknya bisa kau permainkan!” “Amy aku bisa jelaskan aku dan Zoya itu—“ Plakk.. sebuah tamparan melayang di wajah Hans untuk kedua kalinya, “Ini balasan untukmu, sebenarnya beberapa tamparan saja tidak cukup setelah aku menghabiskan waktu lima tahun dengan sia-sia untuk berpacaran denganmu. Setidaknya aku tidak terlalu bodoh untuk menyerahkan hal paling berhargaku untukmu.” “Amy, aku terpaksa dengan Zoya. Kumohon percayalah, aku tidak mau menghianati hubungan yang selama ini kita jalani hanya karena wanita itu.” Sekali lagi Emily menendang tulang kering Hans sebelahnya, lelaki itu kembali mengaduh. Emily memandang Hans dengan tatapan sengit. “Awas saja jika kau menggangguku. Pergilah dengan Zoya, aku tidak akan mengganggu hubungan kalian mau kalian lompat dari ketinggian jutaan mil pun aku tidak peduli.” Maki Emily, dia sudah cukup bersabar tapi jika Hans mengusik kesabarannya lagi Emily takut akan menghajar Hans hingga ia masuk penjara. Di dalam penjara adalah hal yang paling Emily benci meskipun ia belum pernah merasakan berada di dalam jeruji besi. “Berurusan dengan pria sepertinya membuatku lelah.” Emily duduk kembali di kursinya berusaha fokus untuk melanjutkan naskahnya atau Naura akan terus merecokinya ini itu dengan ancaman penalti. Pukul 05:00pm Emily baru tiba di apartemen, tasnya di lemparkan ke atas meja di susul tubuh lelahnya di atas sofa. Tapi Emily segera melihat ke arah dapur, biasanya jam segini Max sudah sibuk memasak di dapur namun saat Emily tiba di dapur Max tidak ada di sana bahkan barang barang pun terasa dingin seperti tak tersentuh. “Astaga aku lupa jika hari ini Diana membawa Max.” Emily menepuk keningnya sendiri, “Sudahlah lebih baik aku nanti cari makan di luar sekalian membeli bahan makanan untuk cadangan selama satu minggu ke depan.” Setelah itu dia bergegas menuju kamarnya membersihkan diri lalu beristirahat sebentar karena nanti malam ia harus begadang menyelesaikan naskahnya. Tapi rasanya waktu berputar begitu cepat Emily kira ia baru saja tidur mungkin sekitar satu jam namun saat melihat jam waktu menunjukan pukul setengah delapan. Spontan Emily merasa akan segera mendapat palu godam. “Aku ketiduran terlalu lama. Astaga jangan bilang Diana dan Max sudah kembali atau mereka akan menunggu di luar!” Emily melompat dari atas tempat tidur menuju ke arah pintu tapi untunglah ternyata Diana dan Max belum kembali. “Lebih baik aku segera belanja sebelum mereka kembali.” Tiga puluh menit kemudian Emily sudah tiba di salah satu tempat makan, sebelum berbelanja kebutuhan sehari-hari lebih baik ia mengisi perutnya terlebih dahulu baru membeli bahan makanan. Kali ini ia akan belanja dobel karena Max akan memasak sesuatu yang enak setiap hari. Membayangkan masakan Max membuat Emily tersenyum sendiri, ia merasa senang seseorang mau memasak untuknya padahal dari kecil mamanya saja hanya akan memasak sesekali hingga perempuan itu akhirnya meninggal saat Emily berusia sembilan tahun. Di susul ayahnya di tahun kedua. Mereka kompak sekali untuk meninggalkannya seorang diri di dunia ini. Tak terasa saat Emily sibuk dengan pikirannya ternyata makanannya pun juga ikut habis tanpa ia sadari. Menyudahi acara makan malamnya dia langsung menuju ke pusat perbelanjaan kebutuhan sehari hari seperti sayuran dan buah buahan. Terlalu asik memilih bahan masakan Emily tidak sadar jika kegiatannya itu sedang di awasi oleh seseorang sebelum orang itu menarik Emily. “Hans!” Pekik Emily dengan menyentak tangannya dari cengkeraman tangan Hans. “Emily kapan kamu mau mendengarkanku menjelaskan semuanya!” Emily menghembuskan nafas kasar menatap mantan kekasihnya itu dengan jengkel, “Mau sampai berapa kalipun kau menjelaskannya hal itu tidak akan membuatku mau denganmu lagi. Kau dengar ini, aku sudah tidak mencintaimu lagi. Paham!” “Amy, aku tau kau mengatakan hal itu karena kau sakit hati kan karena aku kemarin memilih Zoya? Tapi itu aku lakukan karena terpaksa.” Ucap Hans keras kepala. Emily tertawa mengejek. “Mungkin kamu benar tapi saat itu juga aku memutuskan sampai mati pun tidak akan kembali lagi padamu.” “Apa kau cemburu karenanya? Amy aku hanya mencintaimu sungguh.” “Cemburu? Padamu? Coba saja kau pikir sendiri selama lima tahun kita bersama dan tak ada masalah apa pun di antara kita lalu kau tiba-tiba datang membawa Zoya lalu memutuskan hubungan kita secara sepihak. Oke, mungkin saat itu aku cemburu tapi sekarang sudah tidak lagi.” “Amy, harus berapa kali aku katakan aku dan Zoya itu terpaksa. Aku terpaksa memilih zoya karena—“ “Uang. Iya kan?” Sela Emily dengan senyum palsu. “Aku tau hal itu dan aku tidak menyalahkanmu. Keputusanmu untuk meninggalkanku sudah benar, Zoya wanita yang bergelimangan harta, dia kaya sedangkan aku hanya seorang staf biasa yang hanya mampu menghidupi keseharian dalam satu bulan.” “Jadi Hans, aku mohon dengan sangat padamu kita sudah selesai dan tidak ada hubungan apapun lagi di antara kita. Mau kamu bersujud di kakiku sekalipun aku tidak akan goyah pada pendirianku untuk tak lagi kembali padamu.” “Kamu ingin aku melupakanmu? Tidak bisa Amy aku tidak bisa!” Hans menyentuh tangan Emily namun Emily segera melepaskannya sedangkan matanya melihat ke sekeliling di mana beberapa orang yang belanja menyempatkan menoleh ke arahnya. “Orang akan salah paham jika melihatmu seperti ini Hans. Kau laki-laki, jadi perlihatkan harga dirimu jangan kau menjatuhkannya sendiri.” Emily berbalik meninggalkan Hans untuk segera menyelesaikan acara belanjanya kemungkinan Diana dan Max sudah menunggunya di depan pintu Apartemen. Namun Hans tidak mendengarkan apa yang Emily katakan, Lelaki itu menarik Emily keluar dari tempat belanja sehingga Emily dengan terpaksa harus meletakkan keranjang belanjanya yang belum terisi apapun untuk mengikuti langkah Hans. Saat tiba di luar, sekali lagi Emily menyentak tangannya dari tangan Hans lalu sebuah tamparan akan ia layangkan di wajah Hans namun di tahan oleh Hans. “Cukup Emily sudah cukup! Aku selama ini sangat bersabar dengan tingkahmu yang sok jual mahal padahal aku tau kau ini tak ada bedanya dengan jal*ng di luar sana!” “What? Kau bilang apa barusan?” Tiba-tiba dadanya terasa sesak, orang yang ia percaya sekaligus ia sayangi selama lima tahun berkata hal seperti ini? Kemana Hans yang lemah lembut itu, kemana Hans yang penuh kasih sayang itu? Mata Emily terasa panas dan buram seiring air mata yang memaksa untuk keluar dari pelupuk matanya. “Ya, kau itu jal*ng murahan. Kau bersikap seperti ini hanya untuk menutupi kebusukanmu.” Ucap Hans lagi. Hati Emily seperti di remas, pertahanannya runtuh, air matanya menetes melewati wajahnya. Hans berdecih mengejek. “Dasar lemah.” desis Hans. Namun dari arah belakang sesuatu menarik baju Hans dan sebuah tinjuan melayang di wajah Hans. Wajahnya langsung mengeluarkan darah hingga membuat Hans tidak mampu berdiri dengan tinjuan yang baru saja ia terima. Emily memekik kaget dengan apa yang baru saja ia lihat lalu matanya menatap pria yang meninju Hans barusan. “Max?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN