"Tari?! Kamu sudah masuk?!" sapa Amara terkejut yang melihat Mentari baru memasuki kantor.
"Hai, Am!"
"Kamu kan baru keluar dari rumah sakit kemarin! Bukankah kamu seharusnya istirahat?"
"Tidak apa-apa. Aku rasa, aku memang sudah bisa bekerja hari ini."
"Syukurlah kalau kamu sudah sembuh. Kenapa kamu tidak mengabariku?"
"Maaf. Aku tadi buru-buru."
"Apa kamu naik taksi?"
"Kak Arka yang mengantarku."
"Wah, kamu sudah semakin baik saja dengan kak Arka. Bagaimana? Kak Arka suami yang baik, kan?"
"Dari dulu, dia memang seorang kakak yang baik. Aku tahu, dia sangat baik pada Edo. Sekarang, dia juga baik padaku," jawab Mentari.
"Syukurlah. Aku turut senang mendengarnya," tanggap Amara sembari tersenyum.
Mentari lalu berjalan ke arah meja kerjanya. Ia duduk di kursi tempat kerja dan menyalakan komputer kantornya. Selagi menunggu, Mentari mencari dokumen yang harus ia kerjakan pagi ini.
"Am, kamu tahu doku—"
"Ini!" potong Amara menunjukkan dokumen yang baru saja dicari Mentari di mejanya. Mentari menautkan kedua alisnya heran melihat dokumen miliknya ada pada Amara.
"Kenapa ada di mejamu?" tanya Mentari lagi.
"Tadi, karena aku pikir kamu tidak masuk, aku membantumu mengerjakan laporan dokumennya. Aku sudah mengerjakannya setengah. Biar kamu tidak kewalahan."
"Wah! Terima kasih banyak, Am! Kamu benar-benar teman yang paling baik dan paling bisa diandalkan. Aku tidak tahu, bagaimana aku kalau tidak ada kamu," kata Mentari tersenyum terharu. Amara hanya tersenyum menanggapinya.
"Tapi, Tari! Bukankah kemarin kamu seharusnya masih harus istirahat tiga sampai empat hari lagi?"
"Tidak apa-apa. Kemarin, aku hanya mengalami syok dan stres sedikit. Sekarang, aku sudah bisa kembali bekerja normal."
"Bagaimana kandunganmu? Apa baik-baik saja?"
Mentari tercekat mendengar pertanyaan Amara. Hampir saja ia lupa kalau dirinya ini sedang hamil. Mentari memang sudah tidak sama dengan dulu lagi. Sekarang ia berbadan dua.
Jujur saja, Mentari masih merasa kalau dirinya masih gadis. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Mengingat bahwa dirinya sedang hamil, membuat Mentari murung karena sebenarnya ia masih tidak rela.
"Tari?" panggil Amara memperhatikan Mentari murung. Mentari mengangkat kepala melihat Amara. "Kamu kenapa jadi kelihatan sedih begitu?"
"Entahlah? Aku, masih tidak percaya kalau aku sedang hamil sekarang," jawab Mentari sembari menundukkan kepalanya.
"Sudahlah, Tari. Sekarang, kamu sudah berjalan sampai di titik ini. Kamu pasti akan menemukan hikmahnya. Aku tahu, kamu dari dulu kuat," tutur Amara menenangkan Mentari. Mentari jadi mengangkat kepalanya lagi.
"Terima kasih, Am. Sekarang, hanya kamu teman paling baik yang aku percaya," ujar Mentari tersenyum. Amara tersenyum membalasnya.
"Sekarang, supaya kamu lebih baik, bagaimana kalau aku membelikan sarapan untukmu dulu?" tawar Amara.
"Ah, tidak! Aku tidak lapar, kok!" tolak Mentari.
"Ini masih pagi! Kamu harus sarapan! Aku akan membelikan roti di kantin kantor dulu!" kata Amara sembari berjalan keluar kantor.
"Eeh! Am ...!"
Mentari ingin mencegah Amara, tapi Amara sudah pergi keluar dan mengabaikannya. Mentari hanya menggelengkan kepalanya beberapa kali sembari tersenyum. Amara adalah teman lamanya yang paling mengerti dirinya.
Komputer Mentari sudah menyala. Ia kemudian berusaha fokus menatap layar untuk memulai pekerjaannya hari ini. Ia memilah-milah dokumen yang harus dikerjakan dari Amara tadi.
Tiba-tiba, ponsel Amara di meja kerjanya berdering. Membuat Mentari mengalihkan fokusnya. Mentari berdiri dan melihat meja Amara, memang ponselnya ada di atas meja.
"Dia lupa tidak membawa ponselnya," kata Mentari berbicara sendiri.
Mentari pun berjalan ke arah meja Amara. Ia mengambil ponsel Amara dan melihat layarnya. Di sana, ia melihat ada panggilan dari 'Bear Boy'. Membuat Mentari melebarkan kedua matanya.
"Bear Boy? Bukankah ini pacar Amara?" gumam Mentari berbicara sendiri sembari menahan senyumnya.
Mentari ingin mengangkat panggilan itu, tapi saat ia menempelkan ponsel di telinga, panggilannya terputus. Mentari kembali menjauhkan ponsel dari telinganya. Setelah itu, ia melihat lagi layar ponsel Amara.
"Kenapa sudah mati?" ungkapnya.
Mentari masih melihat layar ponselnya. Di layarnya terpampang pesan Amara dengan 'Bear Boy' tadi. Mentari pun juga tidak sengaja membaca pesannya. Banyak pesan antara Amara dan orang dengan julukan Bear Boy ini. Mentari membaca semua pesannya mesra, sampai di bagian akhir pesan yang berbunyi ...
[Sayang, sore ini aku akan ke rumahmu]
Mentari kembali tersenyum melihat kemesraan Amara dengan pacarnya. Tiba-tiba, ponsel kembali berdering. Panggilan dari pacar Amara muncul. Karena penasaran, Mentari jadi ingin mengangkatnya.
Namun, tiba-tiba Amara langsung menyambar ponsel dari tangan Mentari begitu saja. Membuat Mentari terhenyak kaget. Amara, sudah berdiri di sampingnya saat ini. Mentari tidak sempat mengangkat panggilan dari Bear Boy tadi.
"Amara?! Kamu sejak kapan kembali ke sini? Kenapa aku tidak melihatmu masuk?" tanya Mentari.
"Aaah ... maaf. Aku ke sini untuk mengambil ponselku," jawab Amara terlihat gugup. Amara lalu segera mematikan ponselnya cepat-cepat.
"Eh! Tadi, ada panggilan dari Bear Boy. Aku mau mengangkatnya, tapi kamu sudah mengambilnya. Cieee ... senangnya yang sedang jatuh cinta?" goda Mentari. Amara, hanya membalas godaan Mentari dengan senyum salah tingkah.
"Am! Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku soal pacarmu itu? Bukankah kalian sudah lama berpacaran? Kamu bahkan tidak pernah memberitahuku nama aslinya. Dari dulu, aku selalu tahu dia dengan nama Bear Boy."
"Oh, dia sendiri yang ingin dipanggil seperti itu. Dia juga bilang, namanya terlalu jelek. Jadi, dia menyimpan julukan Bear Boy itu di ponselku," jelas Amara.
"Kalau begitu, kenalkanlah padaku! Aku juga ingin tahu seperti apa dia. Bukankah katamu dia baik?"
"Dia masih sangat sibuk. Kalau ada waktu, aku pasti akan mengenalkannya padamu!" jawab Amara sekali lagi dengan senyum canggung. "Maaf ya, Tari! Aku sampai lupa membawakanmu roti dari kantin. Aku akan ke kantin lagi untuk mengambilkannya buat kamu sarapan, ya!"
"Eh tidak usah! Aku ...."
Belum sempat Mentari meneruskan kalimatnya, Amara sudah pergi keluar. Mentari pun kembali menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Ia pun hanya menaikkan kedua bahunya dan kembali bekerja.
***
Mentari menaikkan kedua tangannya ke atas meregangkan otot-ototnya yang kaku. Ia melihat jam yang terpampang di komputer sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Sudah melebihi jam pulang kantor. Amara saja sudah pulang dari jam empat sore tadi.
Mentari mematikan komputernya. Ia berdiri dan membereskan dokumen-dokumen di atas meja. Mentari mencari flashdisk dari manajernya di atas meja. Namun, sayangnya ia tidak menemukannya.
"Di mana ya, flashdisk-ku? Tadi aku masih mengerjakan dokumen di dalamnya," kata Mentari berbicara sendiri. Sekian detik kemudian, ia baru ingat kalau flashdisk-nya dibawa Amara.
"Astaga! Kalau begitu, aku harus ke tempat Amara sekarang juga! Aku harus mengerjakan dokumennya!" ungkap Mentari kembali.
Setelah selesai menata meja, Mentari lalu berjalan keluar kantor. Tentu saja, sebelum ia pulang ia harus ke tempat Amara dulu. Mengambil flashdisk berisi pekerjaannya.
***
Mentari turun dari taksi. Ia sudah ada di depan rumah Amara sore ini. Mentari lalu membungkukkan badan dan berbicara pada sopir taksi.
"Pak, tolong tunggu, ya. Saya hanya mengambil barang saya sebentar saja."
"Baik, Nona."
Mentari lalu berjalan mendekat ke arah rumah Amara. Namun, saat ia sudah di tepi pagar, ia terhenti. Ia melihat, ada sebuah mobil terparkir di depan rumah Amara.
Mentari lalu berjalan mendekati mobil yang ada di tepi jalan depan rumah Amara. Ia melihat-lihat bagian dalamnya. Di dalam mobil, ada stiker dengan nama Bear Boy. Tentu saja, membuat Mentari langsung melebarkan kedua mata karena antusias sekali.
"Jadi, ini mobil milik kekasih Amara?!" seru Mentari berbisik senang.
Mentari yang penasaran itu, sangat ingin tahu seperti apa wajah kekasih Amara. Mentari pun segera ingin masuk. Namun, tiba-tiba ia terhenti. Mentari melihat sesuatu yang sedikit mengejutkannya.
Mentari melihat, ada Edo di sana! Membuat jantung Mentari berdebar sangat kencang. Edo, baru keluar dari pintu rumah Amara. Mentari segera bersembunyi agar tidak ketahuan. Dia melakukannya juga dengan refleks.
Di samping pagar tempat persembunyiannya, Mentari mengintip lewat samping. Ia melihat, Edo dan Amara saling berbicara berhadapan dengan sangat dekat. Sedangkan jantung Mentari semakin berdetak tidak karuan.
"Apa yang sebenarnya terjadi?!" lirih Mentari sangat pelan berusaha tenang.
Mentari memperhatikan Amara dan Edo semakin dekat saja. Bahkan, mereka saling berpegangan tangan. Mentari masih berusaha berpikir positif melihat mereka. Lagi pula, Amara adalah teman terbaiknya yang juga kenal baik dengan Edo.
Tidak lama, Mentari melihat kedua tangan Amara melingkar di leher Edo. Edo memegang pinggang Amara. Wajah Mereka saling mendekat dan kemudian mereka berciuman.
Jantung Mentari seolah lepas dari tempatnya. Nafasnya seolah terhenti sesaat. Ingin menyangkal, namun ini jelas-jelas ada di depan matanya. Ia, benar-benar dihadirkan dengan kenyataan yang mengejutkan.
"Tidak mungkin," gumam Mentari pelan berbicara sendiri.