Senin pagi.
Begitu membuka mata, Bulan diherankan dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Dia masih ingat, semalam hanya ketiduran di sofa ini karna menunggu Andra pulang. Bulan beranjak bangun, meraih ponsel yang ada di atas meja untuk memeriksa chat terakhir dengan Shanaz. Tersenyum saat ternyata mulai hari ini dia sudah akan memiliki kesibukan.
Segera ke kamar mandi, membersihkan diri lebih dulu sebelum memulai aktifitas lain. Sebenarnya juga nggak terlalu terburu-buru, karna butik milik Shanaz buka siang. Jadi masih banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.
Kurang lebih pukul tujuh, Andra keluar dari kamar. Wajah khas bangun tidur dengan rambut yang acak acakan dan satu tangan menutup mulut yang menguap. Pertama yang dilihat adalah Bulan yang masih memegang spatula di depan kompor sana. Andra tak menyapa, dia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setiap hari senin selalu ada briefing pagi untuk bawahannya.
Di bawah shower, Andra tersenyum menatap bekas kissmark yang di tinggalkan oleh kekasihnya. Apa yang mereka lakukan kemarin malam dan beberapa jam sebelum mengantarkan Nanda ke bandara, masih sangat jelas diingatan.
Nanda memang bukan wanita pertama yang ia tiduri, dan Nanda juga bukan wanita pertama yang ia cintai. Tetapi pertemuannya dengan Nanda saat wanita itu sedang patah hati, lalu melakukan one night stand dengannya di sebuah club malam, meninggalkan kenangan yang cukup membekas. Setelah kejadian itu, mereka tak pernah bertemu.
Tuhan kembali mempertemukan ketika Andra menemani Sherina datang ke kantor adiknya. Nanda saat itu menjauh, walau berulang kali Andra mendekatinya. Suatu kejadian membuat Nanda mau menerima Andra, lalu mereka menjalin hubungan. Namun, entah apa yang terjadi. Nanda menghilang, wanita itu menjauh tanpa sebab. Hanya mengatakan jika ingin sendiri. Dalam pantauan Andra, dia memang melihat Nanda yang tak menggandeng siapa pun. Wanita itu memang menyendiri.
Hingga sebuah pesan wa yang di kirim Nanda saat datang di pernikahannya, membuatnya harus pergi menemui. Lalu hatinya kembali terikat dengan Nanda, sampai detik ini. Nanda, wanita mandiri sejak kecil, bukan wanita manja. Dan ia menyukai kepribadian yang seperti itu.
Akan seperti biasa, Andra selalu keluar kamar mandi hanya dengan sehelai handuk yang melilit di bagian pinggang ke bawah. Dan Bulan akan pura-pura tak melihat, lalu menunduk dan melangkah mencari kesibukan yang lain. Ya, Bulan mungkin malu melihat tubuh telanjangnya. Atau … sakit hati dengan beberapa tanda merah itu? Entahlah … Andra juga nggak tau.
Masuk ke kamar, dia langsung memakai baju yang sudah di siapkan oleh istrinya. Setelah penampilannya rapi, ia meraih tas kerja dan melangkah keluar. Meletakkan tas itu di sofa depan teve, lalu duduk di meja makan, menunggu Bulan yang akan melayaninya.
Tak mengatakan apa-apa, gadis berstatus istri itu melangkah mendekat. Membawa piring dari dapur, lalu mengambilkannya nasi dan tumis sawi untuknya. Seperti biasa, selalu ada ikan atau ayam yang akan menemaninya makan sebagai lauk. Setelah menaruh piring di depan Andra, Bulan kembali pergi ke dapur, tentu untuk membuatkannya kopi sebelum berangkat kerja.
“Lan, kamu nggak sarapan?” menatap istrinya yang kembali sibuk menuangkan gula.
“Nanti.”
Mendengar jawaban singkat yang bahkan tak sedikit pun menoleh padanya, Andra hanya menanggapinya dengan anggukan. Dia meneguk air putih lebih dulu, lalu melanjutkan dengan sarapan pagi.
Usai sarapan, ia duduk santai di teras depan dengan segelas kopi. Tangannya mengusap layar ponsel, masuk ke aplikasi hijau. Membuka chat roomnya dengan Nanda.
[udah sampai di rumah, kan?] send Nada.
Alisnya terangkat saat melihat pesan yang ia kirim hanya centang satu. ‘Tumben banget nomornya nggak aktif? Nggak ada kuota?’
Meletakkan ponselnya di meja, meraih cangkir kopi dan menyesapnya. Pikirannya menerawang jauh, memikirkan hubungan yang rumit. Ah, kenapa semua ini mirip banget sama kisahnya papa dan mama?
Andra mengacak rambut, membuat rambut itu jadi sedikit berantakan. ‘Aku beneran nggak bisa kalau harus lepasin Nanda. Dia udah melekat di hati, dan aku nggak bisa untuk nggak ada dia. Tapi Bulan?’
Huufft ….
Andra membuang nafas panjang. Kembali ia menyesap kopi yang sisa sedikit. Andra juga sudah mengenal Bulan lama. Bahkan sebelum mengenal Nanda, ia lebih dulu mengenal Bulan. Rasa sayang itu memang ada, tetapi rasa cinta itu … dirasa sulit untuk tumbuh. Nyatanya … selama hitungan tahun mengenal Bulan, dia sama sekali belum bisa mencintainya.
“Lan, aku berangkat.” Teriaknya setelah menyesap kopi yang terakhir.
**
Hari berlalu dengan sangat lambat. Terlebih bagi Andra yang kini merasa sangat kesepian. Kepergian Nanda yang katanya hanya ingin menengok orang tua di kampung, membawa separuh hati. Wanita itu seperti tenggelam dalam lautan, tak ada kabar sama sekali. Semua pesan yang Andra kirim tetap centang satu. Nomornya juga tak lagi aktif, tak bisa di telpon.
Sebulan, ia lalui dengan hati dan pikiran yang uring-uringan. Rasa kesepian dan rindu yang tertahan membuatnya hanya ingin marah-marah. Sekarang Bulan juga lebih banyak diam dan mulai sibuk dengan pekerjaannya. Bulan lebih sering tidur di sofa depan teve karna dia selalu lembur mengerjakan pekerjaan butik. Entah apa itu, Andra tak begitu paham. Yang dia tau, Bulan sibuk menggambar di layar laptop.
Seperti malam ini, ia menyandarkan tubuh di mulut pintu kamar. Diam menatap istrinya yang sejak pulang tadi sudah ada di sana. Pergi sebentar, menyiapkan makan untuknya. Setelahnya, Bulan ada di sana lagi. Baru ia sadari, ternyata selama hampir sebulan ini, Bulan tak pernah lagi merengek, bahkan ia tak lagi mendapati istrinya yang diam-diam menangis. Apa dia sudah menemukan ‘pacar’?
“Lan,” panggilnya, menegakkan tubuh.
“Ya,” jawab Bulan tanpa menoleh. Baru menoleh ketika Andra tak mengatakan apa-apa lagi setelah cukup lama. “Kenapa, kak? uumm, mau kopi?” tawarnya, menatap suami yang juga menatapnya.
Andra diam, bingung juga mau ngomong apa. “uumm, ya.”
Bulan mengulas senyum tipis. Tak mengatakan apa-apa lagi. Gadis itu sudah beranjak, melangkah ke dapur. Cukup penasaran dengan apa yang di kerjakan istrinya, Andra melangkah mendekati laptop. Menatap gambar baju yang cukup sederhana, benar-benar sederhana. Tetapi motif baju dan warna yang Bulan tuangkan di dalam gambar itu memang menarik.
“Mau ngopi di mana?” tanya Bulan, berdiri dengan cangkir kopi di tangan.
“Di sini aja.”
Kedua mata Bulan mengerjab mendengar jawaban singkat itu. Ini bukan Andra. Bulan udah hafal, udah tau, udah biasa juga sama Andra yang selalu cuek dengan apa pun yang ia lakukan.
“Uumm ….”
Andra menggaruk kepala bagian belakang. “Pengen liat kamu gambar.” Menggeser duduk, bersikap seolah tak mengatakan apa-apa.
Bulan tak akan menolak, dia meletakkan cangkir kopi itu di meja. Lalu kembali di tempat duduknya semula. Tangannya sudah memegang mouse lagi, mulai lagi dengan pekerjaan. Tetapi tak bisa fokus seperti sebelumnya. Karna dia sadar, Andra beberapa kali memperhatikannya. Di perhatikan oleh oerang yang begitu ia cintai, siapa yang nggak salting?
Andra menjatuhkan punggung ke sandaran sofa. Pandangannya kembali ke Bulan. Punggung kecil yang tertutup dress tanpa lengan dengan motif kotak-kotak, rambut panjang Bulan di cepol asal, hingga helaian yang lain masih jatuh di kain berwarna putih itu. Cckk, sejak kapan Bulan jadi menarik? Wangi parfum dari tubuh istrinya juga beda. Sepertinya semenjak Bulan bekerja di butik, dia memperbaiki diri. Tak hanya itu saja, bentuk alis yang semula biasa alami itu pun sudah berubah. Dan selama hampir sebulan ini, Andra baru menyadarinya sekarang.
Ddrrtt … ddrrtt ….
Ponsel milik Bulan yang berada di atas meja bergetar, lengkap dengan nada dering yang terdengar cukup nyaring. Bulan melirik ponselnya, begitu juga dengan Andra yang ternyata juga menatap layar berkedip disana. Nama Kak Noel yang muncul di layar membuat kedua mata Andra sedikit melebar.
Buru-buru Bulan meraih ponsel, lalu mendial panggilan. Beranjak dari sana tanpa menatap wajah suami. “Hallo, kak,” sapanya seraya menempelkan ponsel ke telinga.
“Ada nggak, model kebaya yang tadi aku kirim?” suara Noel di sebrang sana.
Bulan mendudukkan p****t di kursi teras belakang rumah. “Uumm, nanti aku tanya ke kak Shanaz dulu. Tapi sepertinya sih ada, kak. Aku pernah liat di gudang.”
“Oh, yaudah. Aku besok ke butik.”
“Iya, kak.”
“Kamu besok masuk, kan?”
“Iya, aku masuk.”
“Oke, sampai ketemu besok.”
“Iya, kak.”
Benar-benar nggak ada obrolan yang lain, dan ini murni hanya tentang pekerjaan saja. Beberapa hari lalu Noel datang dengan ibunya. Ingin membuat seragam keluarga di butik milik Shanaz. Dan dengan sangat kebetulan, Bulan yang hari itu berjaga di sana yang melayani mereka.
Bulan beranjak, kaki yang akan kembali masuk ke dalam itu terhenti. Dia nggak tau sejak kapan Andra berada di ambang pintu. Dan kini, lelaki berstatus suami itu menatapnya dengan … ah, entah.
Bulan menunduk, mengalihkan tatapan. Sangat enggan kembali bertatapan dengan Andra. Kelemahannya ada di kedua manik indah itu. Di mana hatinya benar-benar jatuh pada sosok Andra. Menggenggam ponsel semakin erat, lalu melanjutkan langkah. Masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan apa-apa. Namun cekalan tangan Andra di lengan membuat kakinya diam di tempat.
“Lan, kamu sering ketemuan sama Noel?” pertanyaan yang terdengar sangat biasa.
Ada sudut hati yang merasa sangat bahagia karna sebuah pertanyaan sederhana itu. Bukankah ini artinya Andra peduli?
“Uumm ….”
Terdengar sentaan nafas kasar dari Andra, lalu cekalan di tangan Bulan terlepas. “Kamu baik, nggak cocok sama Noel. Dia benar-benar bukan lelaki baik.”
Bulan menoleh, menatap wajah Andra yang keliatan tak suka dengan Noel. Ah, atau … mungkin hanya tak suka jika Bulan mulai bisa berteman dengan lelaki lain. “Kak—”
“Ya, aku pernah bilang. Aku pernah bilang untuk bebasin kamu. Tapi … tapi pliis, jangan Noel. Aku nggak rela kalo kamu rusak sama dia.”
Bulan makin mengeratkan genggaman di ponsel. Tersenyum tipis dengan tetap memperhatikan wajah tampan Andra. “Aku nggak akan rusak. Karna aku dan kak Noel nggak akan melakukan sesuatu yang di luar batas.”
“Lan—”
“Makasih udah ngingetin, kak. Dan aku akan selalu ingat, kalau aku ini udah berstatus istri kakak. Jadi, aku akan menjaga semuanya. Aku nggak akan pernah bermain di luar sana. Jika kakak berfikir aku akan sama seperti kakak dan … dan kekasih kakak,” Bulan menggeleng, kedua matanya mulai terlihat berkaca. “Aku nggak akan seperti itu. Seperti yang kakak bilang. Aku berbeda.”
Tak peduli lagi dengan apa yang akan Andra katakan. Bulan memilih melanjutkan langkah, masuk ke dalam dan kembali berkutat dengan pekerjaan.
**