EMPAT BELAS

1019 Kata
Happy Reading and Enjoy Aku mengeratkan jaketku, dan sialnya aku hanya mengenakan celana tidur yang panjang berbahan tipis, aku tidak tau akan hujan deras seperti ini, juga udara yang cukup dingin. Seraya menunggu pesawat datang aku lebih memilih memainkan phonselku, menunggu Reynald. Sudah hampir sebulan kami saling mengenal satu sama lain walaupun hanya lewat pesan singkat, atau telfon maupun Video Call itupun bisa dihitung dengan jari. Dan akhirnya dia datang kembali ke Jakarta untuk mengecek rumah katanya, dan malam ini dia meminta agar aku menjemputnya. Dia berkata bahwa pukul 8 sudah sampai di Bandara dan sekarang sudah hampir jam setengah 10 dia belum juga datang, delay katanya. Pengumuman kedatangan pesawat terdengar, aku mengedarkan pandanganku seraya menggenggam erat kunci mobil juga phonselku pada saku jaket, menghalau dingin. “Hey” dia tampak dengan wajah lelahnya, dengan tas ransel dipunggungnya. Dia memelukku dan mencium keningku. Okey, dia hidup di luar negeri pasti hal-hal seperti itu sudah sering dilakukannya, aku tidak masalah dengan itu. “Maaf lama” lanjutnya lalu merangkul bahuku menuju tempat parkir. “Mau langsung ke hotel?” tanyaku padanya ketika kami sudah keluar dari area bandara. “Makan dulu deh” bahasanya sudah mulai terdengar santai, diawal awal aku berkomunikasi dengannya dia selalu menyebut ‘saya’ dan sekarang sudah menyebut ‘aku’, tidak cukup buruk untuk mengawali sebuah hubungan, apalagi kami baru bertemu. Sampai di café 24 jam yang tidak jauh dari rumahku, kami turun dengan sedikit berlari dari mobil karena masih hujan yang cukup deras. “Mau makan apa?” tanyanya ketika melihat buku menu, aku tidak mau makan di jam segini. “Nggak makan lah, mau minum jeruk anget aja” jawabku seraya mengeluarkan phonselku dari saku jaket. “Oke, Nasi goreng sama telur mateng satu, trus jeruk angetnya dua mbak” katanya menyebutkan pesanan kami. “Telur mata sapi, mas?” Tanya weiters tersebut setelah mengulang pesanan kami. “Iya, kalau bisa tepiannya itu sampai kering” ujarnya. “Baik, Mas. Ditunggu sekitar 15 menit ya Mas, Mbak” ujar sang weiters lalu sedikit membungkuk dan berlalu membawa catatan pesanan kami. “Nggak suka sama yang setengah matang?” tanyaku padanya. Dia menggeleng. “Aku suka semua makanan asal mateng sempurna” jawabnya. Aku mengangguk, berarti dia tidak suka masakan Jepang, seperti sushi. “Kamu suka emang yang nggak mateng kaya gitu?” tanyanya dan spontan aku menggeleng. “Aku nggak suka sama segala hal yang nggak mateng” jawabku mantap. “Berarti selera kita sama” gumamnya. “Nanti nginep di hotel mana?” tanyaku padanya. Dia menyebutkan nama hotel yang akan ditinggalinya selama beberapa hari disini, karena memang dia disini khusus untuk memantau pembuatan rumahnya. “Tapi nanti nginep di rumah kamu dulu, boleh?” tanyanya ragu. “Kenapa?” “Hujan, udah malem, masa aku biarin kamu pulang sendirian setelah ngedrop aku di hotel” ujarnya realistis. Aku berfikir setengah ragu sebenarnya, apalagi kami baru saling kenal. “Aku janji nggak ngapa-ngapain kamu, Cuma numpang nginep malam ini, besok pagi atau siang langsung ke hotel” ujarnya seolah mengerti apa yang aku fikirkan. Aku mengangguk mengiayakan. *** Pagi ini rintik hujan masih tersisa, aku membuat sarapan sederhana karena belum belanja bulanan, biasanya aku hanya memasak untuk diriku sendiri, tapi karena ada tamu yang menginap, jadilah aku memasak untuk 2 orang. “Morning” sapa Reynald dengan suara serak seraknya. “Morning” balasku, lalu kembali berkutat dengan masakanku. Aku meliriknya yang tengah mengambil gelas dan menuangkan air putih lalu meneguknya, nampaknya itu sudah menjadi kebiasaan Paginya. “Aku buat nasi goreng, aku lupa padahal kamu udah makan nasi goreng semalam, semoga suka” kataku lalu menuangkan nasi goreng ke dalam piring lalu menceplok telur. “Kamu bisa masak?” pertanyaanya membuatku mendengus. “Nggak usah makan ya nanti, biar buat aku aja” jawabku ketus.   Karena aku tidak memiliki kesibukan apapun hari ini, Reynald memintaku untuk menemaninya mengecek rumah yang katanya sudah tinggal pengecatan. Pukul 11 tadi Reynald ke hotel yang sudah dipesannya untuk cek in dan menaruh barang bawaan yang dibawanya semalam, lalu pergi lagi mengecek rumah. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku, sekitar setengah jam kalau tidak macet, kompleknya juga masih asri banyak pohon pohon disepanjang pinggir jalan, juga pengamanan yang cukup ketat. “Gimana menurut kamu?” tanyanya ketika kami akan nonton, katanya dia mau nonton film, aku tidak terlalu mengerti juga, karena memang sudah cukup lama aku tidak nonton bioskop. Aku heran karena diumurnya yang sudah mengingjak kepala 3 dia masih suka nonton di bioskop.  “Apanya?” tanyaku lalu menoleh sekilas. “Rumahnya” “Bagus kok, arsitekturnya juga bagus, kamu sendiri yang bikin arsitekturnya?” tanyaku padanya. “Nggak, ada temen yang ngerjain, aku lebih ke interiornya nanti” jawabnya lalu kami mulai masuk ke pelataran Mall. Ketika kami sampai di lantai satu, ada beberapa anak muda yang menyapaku dan meminta foto. “Ini pacarnya ya kak” aku hanya tersenyum tak menjawab pertanyaan mereka, lalu pamit untuk segera ke lantai paling atas dimana bioskop berada. “Kenapa nggak dijawab tadi?” tanyanya lalu menghadapku, dia berdiri di escalator di tangga satu tingkat di atasku, memandangku, dan mau tidak mau aku harus mendongak menatapnya. “Males ah, nanti ribut pada komen-komen nggak jelas itu” jawabku. “Kamu terkenal juga yah” katanya bergumam lalu menggandeng tanganku untuk mengantri di loket untuk membeli tiket bioskop. *** Setelah nonton, Reynald menyeretku masuk dalam sebuah toko perlengkapan yang dulu kami pernah belanja untuk melengkapi apartemen Jeremy. “Ngapain beli sekarang?” tanyaku ketika dia mulai melihat lihat ranjang yang berukuran king. “Biar nanti kalau ditinggal udah beres” jawabnya lalu bertanya-tanya dari harga hingga mencoba untuk tidur diranjang tersebut sebelum membelinya. Dia membeli sebuah lemari yang cukup besar juga. “Kan belum selesai Rumahnya, Mas” ujarku. Dia mengangguk. “Ya kan mumpung kesini sekalian, Gi. Jadi aku beli sekalian nanti sekalian dirakitin juga, lagian kan kamar juga udah selesai” jawabnya lalu menyerahkan kartu kreditnya pada kasir yang sudah menghitung total barang yang dibelinya. Setelah melakukan transaksi, kami langsung pulang, atau lebih tepatnya kembali ke rumahnya karena barang yang dibeli akan segera diantar. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN