Lelaki itu memandangi sebuah kantor yang berbentuk rumah toko atau ruko dari seberang jalan di dalam mobilnya. Siang itu cukup terik dan perutnya terasa lapar. Meski begitu, ia enggan meninggalkan tempat tersebut walau hanya satu menit saja.
Layaknya seotang detektif yang sedang menyelidiki seseorang, ia harus tahan berjam-jam dalam pengawasan, menunggu mangsanya keluar dan mengikutinya.
Berbagai cara telah dipikirkan oleh Attaya, termasuk menemui langsung gadis itu, tapi ia sangat khawatir kalau-kalau Tiara kembali menghilang dan menyusahkan dirinya untuk mencari-cari lagi. Tidak, kali ini, Attaya tidak ingin kehilangan Tiara untuk kesekian kalinya.
Dengan kebulatan tekad, Attaya menunggu sampai benar-benar melihat Tiara dan berencana mengikutinya sampai ke tempat di mana Tiara tinggal.
Waktu pun berlalu dengan sangat lambat. Satu jam bagaikan satu hari jika menunggu dalam ketidak pastian. Benarkah Tiara ada di kantor itu? Meski kedua anak buahnya telah mengkonfirmasi positif pada pukul sepuluh tadi. Tapi, apakah benar Tiara yang dimaksud?
Kedua anak buahnya sampai harus membuka tabungan di kantor tersebut demi meyakinkan bahwa benar Tiara bekerja di sana. Attaya kembali membuka telepon genggamnya dan melihat tayangan rekaman video pendek yang dikirim oleh salah seorang anak buahnya.
Empat bilik teller tampak pada layar tersebut dan ia terkesiap saat kamera menangkap sosok-sosok wanita di balik kaca dan sedang duduk menghadapi komputernya masing-masing.
Tatapan Attaya terpaku pada kursi ketiga dari kiri. Wanita yang dirindukannya, yang berhasil memporak porandakan perasaannya, sedang bekerja dengan wajah serius. Jemarinya menekan-nekan keyboard dengan lincah. Lelaki itu memejamkan matanya dengan jantung yang berdebar-debar.
"Tiara ...," gumannya dengan lirih.
Waktupun berlalu, Tepat pukul empat lewat sepuluh menit, Attaya melihatnya! Ya, gadis itu berjalan sendirian menuju jalan raya, ia menenteng sebuah helm di tangannya dan berdiri sebentar tepat di seberang mobil yang ditumpangi pengintainya. Ia celingukan sebentar, sejurus kemudian, ojek online berhenti tepat di depan Tiara.
Gadis itu tersenyum tipis dan tampak berbicara sebentar dengan pengendara motornya. Kemudian, ia memakai helm yang dibawanya sendiri dan mulai bersiap untuk membonceng. Tidak mau kalah, Attaya segera menyakakan mesin mobil dan bersiap mengikuti Tiara, begitupun anak buahnya yang mengendari sepeda motor, telah siap meluncur mengikuti ojek online yang membawa Tiara.
Kondisi jalanan pada sore hari, pada jam-jam pulang kantor memang padat. Attaya sadar bahwa dirinya yang mengikuti motor dengan mobil, memiliki resiko tinggi kehilangan buruannya. Untuk itulah ia menugaskan anak buahnya mengikuti mereka dengan motor juga.
Benar saja, lelaki itu kehilangan jejak Tiara saat ia harus mengantri panjang pada titik trafic light kedua dari lokasi ruko. Attaya memukul setir mobilnya dengan gusar. "Ah! Menyebalkan sekali kemacetan ini!" teriak Attaya di dalam mobilnya. Ia pun pasrah selain tidak sabar menunggu kabar dari kedua anak buahnya yang juga mengikuti Tiara.
Butuh satu jam bagi Attaya sampai ke titik lokasi yang dikirimkan oleh anak buahnya. Kemacetan yang cukup melelahkan bagi lelaki itu. Ia segera menepikan mobilnya tepat di mana kedua orangnya sedang menunggu. Salah satu dari mereka menghampiri mobil Attaya dan masuk ke kursi penumpang di sampingnya.
"Bos, sudah dikonfirmasi bahwa rumah tersebut milik seorang wanita berstatus janda yang merupakan ibunda dari nona Tiara, yaitu ibu Rubyah. Beliau seorang guru di sekolah dasar negeri tidak jauh dari sini. Rumahnya di belokan depan, Bos. Belok kiri, rumah ketiga, warna pagar hitam. Tidak bisa parkir di depan rumah karena jalannya hanya muat untuk satu mobil. Bos bisa parkir dilapangan sebelah rumah keempat," lapor Andre dengan tangkas.
Attaya mendengarkan laporan tersebut dengan serius. "Baiklah, Andre. Laporan diterima. Sekarang kamu bisa istirahat. Tapi, jangan dulu keluar dari kota ini. Cari penginapan dan laporan segera," tukas Attaya sambil mengangguk.
"Baik, Bos. Permisi," pamit Andre seraya membuka pintu mobil dan keluar menghampiri temannya yang sedang menunggu di atas motor sewaan mereka.
Attaya menunggu sampai kedua anak buahnya pergi dari sana, kemudian, ia menekan pedal gas dan mobil pun melaju perlahan. Pada tikungan pertama, ia berbelok ke kiri memasuki jalan yang hanya bisa dilalui oleh satu mobil saja. Jalan tersebut memang satu arah. Tidak ingin harus memutar kembali, dengan hati-hati ia menghitung rumah yang kecil-kecil. Rumah ketiga berpagar hitam tampak seperti rumah-rumah mainan. Kecil tapi bersih.
Melewati rumah ketiga ia sudah melihat lapangan di sebelah kiri dan ada beberapa mobil terparkir di sana. Tanpa ragu, Attaya berbelok dan memarkirkan mobilnya di sana. Ia pun segera turun dari mobilnya. Tidak sabar ingin mengetuk pintu rumah Tiara meski tahu resikonya sangat berat.
Sejenak ia berpikir, kalau kecil kemungkinan Tiara menghilang tanpa jejak dari ibunya sendiri. Karenanya, ia nekat untuk bertandang ke rumah tersebut. Mengambil langkah perlahan, Attaya kini telah berada di didepan pagar hitam. Ia terpaku sejenak sebelum tangannya meraih kunci selot pagar dan membukanya.
Seorang wanita setengah baya yang sangat cantik diusianya, keluar dari pintu rumah tersebut dan menghampiri Attaya dengan sorot mata heran dan penuh keingintahuan.
"Cari siapa ya?" tanya Ruby sambil menatap dalam-dalam pada sosok Attaya.
"Selamat sore, Bu. Saya mencari Tiara." Attaya mengangguk dengan sopan sambil tersenyum kepada wanita itu.
Rubyah tertegun, tatapan matanya penuh ketidak percayaan. Seorang lelaki tampan dan bersih mengenakan pakaian mahal hingga terlihat sangat mewah yang kontras dengan keadaan sekitarnya, mencari Tiara yang biasa-biasa saja serta miskin, rasanya sulit dipercaya.
"Tapi ... kamu siapa? Tidak mungkin temannya Ara, kan?" Rubyah hanya ingin memastikan dirinya kalau pemuda tampan itu salah orang.
"Dulu saya atasan Tiara," sahut Attaya sambil tersenyum.
Rubyah merasa lega. Pantas saja begitu keren, rupanya majikan Tiara di tempat kerja lamanya. "Oh, silakan masuk, Nak," ucap Rubyah sambil membantu Attaya membuka pagar lalu membawanya ke dalam rumah segera. "Ara baru pulang kerja, sekarang masih mandi." Rubyah mengatakannya dengan suara gugup.
"Siapa namamu?" tanya Rubiah kemudian. Mereka telah saling berjabat tangan, tapi lupa menanyakan atau menyebutkan nama masing-masing.
"Saya Attaya, Bu. Boleh dipanggil Atta saja," jawab lelaki itu malu-malu. Ia segera menundukkan kepalanya.
"Saya, Rubyah. orang-orang sering memanggil dengan julukan Ruby atau
'Ibu tiri. Ha ha ha, entah dari mana mereka tahu kalau saya dipanggil dengan 'Ruby' dan Ara," Rubyah tersenyum manis kepada Attaya.
"Well, ibu ke belakang dulu ya," pamit Rubyah. Ia merasa perlu memberitahu kalau gadisnya mendapat kunjungan seorang lelaki tampan dan necis. Betapa beruntungnya anak muda jaman sekarang.
Tiara keluar dari kamar mandi, berlilit handuk dan merasa heran mendapati roman wajah ibunya yang berseri-seri. Rubyah matanya berbinar indah dan senyum tipis terus membayangi wajahnya yang cantik.
◇◇◇◇◇