"Ya ampunnnn, Dan, Ibu tuh hampir aja jantungan waktu dapat kabar dari Harlan dan Gema tentang anak-anak kamu yang katanya ditangkap polisi! Nggak paham lagi Ibu kenapa mereka bisa begitu!"
Hamdan hanya bisa tersenyum kecut mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya. Jangankan ibunya, Hamdan pun juga terkejut bukan main ketika pertama kali mendengar kabar itu.
Ratna Erlangga mengusap-usap d**a, lalu duduk di sebelah Hamdan di sofa ruang keluarga. Beliau baru saja selesai mengomeli Jala dan Lara di atas. Begitu baru sampai disini tadi, yang pertama kali dilakukannya adalah menemui kedua cucunya itu dan langsung mengomeli mereka perihal masalah yang terjadi semalam.
Kini ibunya sudah selesai mengomeli dua cucunya itu dan mungkin, Ratna juga sudah memberi hukuman tambahan mereka. Jala dan Lara ada di kamar mereka masing-masing sekarang, tidak berani keluar dari kamar lagi untuk menghindari omelan lebih lanjut. Mereka sudah kenyang makan omelan dari semalam hingga hari ini.
Hamdan tahu, dengan duduknya sang ibu di sebelahnya sekarang, bisa dipastikan jika kini tiba giliran Hamdan yang akan diomeli dan mendapat wejangan. Karena itu, harus menyabarkan diri walau sesungguhnya ia lelah bukan main karena sama sekali belum istirahat sejak semalam.
"Bisa-bisanya sih kamu ninggalin mereka sendirian di rumah? Harusnya kalau kamu mau ke luar kota, kamu bisa minta Ibu untuk nemenin mereka kesini atau suruh mereka nginep di tempat Harlan. Kenapa malah kamu biarin mereka sendirian di rumah?" Ratna geleng-geleng kepala. "Mereka itu masih kecil, Dan, masih butuh pengawasan orangtua. Liat tuh, baru kamu coba tinggal sendirian sebentar, udah bikin ulah begini!"
Hamdan menghembuskan napas. "Iya, Bu, harusnya memang Hamdan nggak tinggalin mereka sendiria. Tapi kemarin dua-duanya yang minta untuk tinggal sendiri di rumah karena mau belajar mandiri."
"Halah! Itu alasan mereka aja, sengaja mau sendiri di rumah biar bisa bebas mau ngapain aja! Apalagi si Jala tuh, tiap minggu ada ajaaaa, kelakuannya."
"Gimana ya, Bu, tau sendiri namanya juga remaja...mereka punya rasa penasaran yang tinggi akan banyak hal."
"Harusnya nggak semua rasa penasaran itu boleh dilakukan, kamu tau itu. Apalagi rasa penasaran yang bisa berakibat buruk seperti kelakuan mereka semalam, Dan. Karena itu, mereka harus diawasin dan dibimbing dua puluh empat jam."
"Iya, Bu, Hamdan ngerti. Lain kali kalau Hamdan ke luar kota, mereka nggak akan Hamdan tinggal sendiri lagi di rumah. Nanti biar Hamdan titipin mereka ke Harlan."
Ratna menghela napas. Sejenak ia hanya diam dan memandangi Hamdan. Kalau sudah begini, Hamdan tahu kemana pembicaraan ini akan berujung selanjutnya.
"Hamdan..." Ratna menggeser duduknya lebih dekat pada Hamdan dan merangkul putra sulungnya itu. "Ibu rasa, sekarang sudah waktunya kamu menikah. Cari sosok istri sekaligus ibu buat anak-anakmu. Nggak seharusnya kamu terus bertahan sama status sendiri kamu ini, karena kamu butuh istri yang bisa membantu kamu untuk membimbing dan mendidik Jala, Lara."
Benar tebakan Hamdan, lagi-lagi kembali ke pembahasan mengenai pernikahan. Hamdan mengusap wajah dan memijat kepalanya sendiri usai mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh ibunya. Meski tahu kalau hal ini akan dibahas, tetap saja Hamdan tidak menyukai pembahasan ini.
Napas Hamdan pun terhela dalam. "Kita omongin ini nanti ya, Bu. Sekarang Hamdan mau istirahat dulu karena dari kemarin nggak bisa istirahat secara proper. Hamdan capek banget, butuh tidur."
Ratna berdecak. "Kamu tuh selalu aja ngelak tiap Ibu mau bahas masalah ini, padahal kamu juga sadar kan kalau kamu capek begini? Sendirian bolak-balik ngurusin kerjaan dan anak-anak. Karena itu, Dan, kamu butuh seseorang untuk mendampingi kamu, yang bisa menemani dan mengimbangi kamu untuk ngurusin hidup kamu dan anak-anak."
Hamdan memijat pelipisnya, lagi-lagi merasa pusing. Alasannya untuk mengelak dari pembicaraan ini justru menjadi bumerang untuknya dan membuat sang ibu justru memiliki celah untuk semakin memperpanjang pembicaraan mereka mengenai sosok istri untuk Hamdan. Kalau sudah begini, mana bisa Hamdan mengelak lagi.
"Ibu tau, kamu pasti sebal karena terus-terusan ibu desak untuk menikah," lanjut Ratna. "Tapi Ibu begini juga karena mau kamu dan cucu-cucu ibu punya kehidupan yang lebih baik, Hamdan. Selama ini kamu selalu kelelahan karena ngurusin mereka sendirian. Kalau begini terus, nantinya kesehatan kamu yang akan terpengaruh."
"Iya, Bu, aku tau. Lagipula, anak-anak udah remaja, udah mulai ngerti ngurus diri mereka sendiri dan nggak perlu dua puluh empat jam diawasin lagi. Mereka juga ngerti kalau yang mereka lakukan semalam salah dan janji nggak akan ngelakuinnya lagi."
"Hamdan, kalau memang mereka udah ngerti dan nggak perlu diawasi lagi, kejadian semalam nggak akan terjadi. Mereka memang sudah mulai bisa merawat diri sendiri, tapi bukan berarti mereka nggak perlu pengawasan dua puluh empat jam. Kalau nggak betul-betul diawasi, bisa aja kejadian seperti malam ini atau bahkan lebih parah, terulang lagi. Memangnya kamu mau?"
Hamdan terdiam.
Jawabannya tentu saja sudah jelas, ia tidak mau jika sampai anak-anaknya melakukan sesuatu yang lebih buruk. Hamdan tidak mau anak-anaknya terjerat dalam pergulan tidak benar yang nantinya bisa mencelakakan mereka atau membuat mereka melakukan suatu kesalahan besar yang akan terus membekas seumur hidup.
Selama ini Hamdan selalu berusaha untuk mendidik Jala dan Lara dengan memberitahu mereka untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakukan, tetapi Hamdan harus mengakui jikai yang dikatakan ibunya tadi benar. Jala dan Lara sudah menginjak usia remaja, mereka sedang berada di fase dipenuhi oleh rasa penasaran tinggi akan banyak hal, termasuk hal-hal yang tidak seharusnya mereka lakukan.
Hamdan sendiri tidak bisa dua puluh empat jam mengawasi mereka karena ia sendiri memiliki kesibukan dan pekerjaan. Maka, di saat Hamdan sedang sibuk, siapa yang akan mengawasi Jala dan Lara? Ia jelas tidak bisa terus-terusan meminta bantuan Harlan karena adiknya itu juga memiliki kehidupan sendiri, sementara ia juga tidak mau terus merepoti ibunya.
"Kamu sadar kan kalau yang Ibu omongin ini benar?" tanya Ratna usai membiarkan anak sulungnya itu berpikir sejenak. "Anak-anak butuh sosok ibu dalam hidup mereka, Dan. Yang bisa ada buat mereka di saat kamu lagi nggak bisa."
Hamdan sebetulnya tidak mau mengakui ini, tapi memang ibunya benar. Maka, dengan sedikit tidak rela, kepala Hamdan terangguk.
"Jadi, kamu mau mempertimbangkan untuk mulai cari istri, kan?"
"Iya, Bu."
Ratna tersenyum. Dipeluknya Hamdan karena akhirnya, ia mendapat jawaban yang berbeda ketika meminta Hamdan untuk mencari seorang istri.
"Nanti Ibu kenalkan juga sama anaknya teman Ibu, ya Dan," ujar Ratna. "Sama kayak kamu, dia juga single parent karena baru bercerai. Siapa tau kalian cocok dan bisa menjalin hubungan."
"Bu...nggak secepat itu juga."
Ratna menepuk paha Hamdan dan melotot pada anak laki-lakinya itu. "Lebih cepat kamu dapat istri lebih baik," ujarnya. "Dan ini juga bukan cuma untuk mencarikan sosok ibu untuk anak-anak kamu, Hamdan. Tapi Ibu juga mau kamu bisa jatuh cinta dan membuka hati lagi. Sudah saatnya kamu menghapus perempuan itu dari hati kamu. Setelah membuang Jala dan Lara, dan meninggalkan kamu, dia seharusnya nggak pantas untuk kamu pikirkan lagi."
Kali ini Hamdan kembali memilih diam. Selain karena tidak tahu harus menajwab apa, Hamdan juga masih merasa tidak rela jika harus mengiyakannya.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi Hamdan sudah bangun guna menyiapkan sarapan untuknya dan anak-anak. Berhubung ini adalah hari Minggu, maka hari ini mereka akan sarapan di teras belakang, persisnya di sebuah gazebo yang ada di dekat area kolam renang. Sudah jadi kebiasaan bagi keluarga mereka untuk sarapan disana setiap hari Minggu. It's like a little family's quality time routine for them.
Jala dan Lara sendiri sepertinya masih tidur karena mereka berdua belum ada yang turun. Hamdan pun tidak berniat untuk membangunkan mereka dan memilih untuk menyiapkan sarapan sendirian. Walau kemarin ia kelelahan bukan main, tapi sekarang Hamdan sudah merasa lebih baik setelah beristirahat dengan cukup.
Ibunya sudah tidak berada di rumahnya lagi karena lebih memilih untuk menginap di rumah Harlan. Katanya, beliau rindu dengan Gema dan ingin pergi belanja dengan menantu kesayangannya itu hari ini.
Hamdan sengaja memasak waffle untuk sarapan mereka karena itu merupakan salah satu makanan kesukaan Jala dan Lara untuk sarapan. Biasanya, waffle tersebut akan diberi topping sesuai dengan kesukaan masing-masing anaknya. Kalau Lara lebih suka waffle dengan topping es krim vanila dan potongan buah-buahan, sementara Jala memilih waffle yang diberi topping s**u kental manis yang banyak, serta cokelat dan keju parut.
Ketika Hamdan sedang sibuk memberikan topping untuk waffle-waffle yang baru datang, tiba-tiba Jala muncul dan menghampirinya ke dapur.
"Pagi, Papi." Jala menyapa Hamdan dengan sebuah cengiran lebarnya seperti biasa.
Tidak ada rasa canggung sama sekali di antara mereka sejak masalah kemarin. Hamdan sudah memaafkan anak-anaknya dan memang tidak marah, sementara Jala dan Lara pun telah menjalankan hukuman mereka dengan baik.
"Pagi, Jala," balas Hamdan.
"Widihhh, sarapan waffle hari ini. Tau banget deh, Pi, kalau aku emang lagi kangen waffle buatan Papi."
Hamdan tersenyum saja dan masih melanjutkan kegiatannya memberi topping pada waffle.
"Kita pagi ini mau sarapan di teras belakang kan, Pi? Aku bantu siapin minuman ya."
"Iya, boleh."
Maka Jala pun dengan sigap membantu Hamdan untuk menyiapkan sarapan mereka. Sementara Hamdan sibuk dengan waffle, Jala menyiapkan minuman untuk mereka bertiga. Kopi untuk papinya, jus jeruk untuk Lara, dan s**u stroberi untuk Jala sendiri.
Setelah menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka sarapan, keduanya pun membawa semuanya ke gazebo di teras belakang, lalu menata makanan dan minuman itu di atas meja yang ada disana.
"Papi bangunin Lara dulu ya," ujar Haman setelah semuanya siap. Ia sudah hendak beranjak meninggalkan gazebo dan pergi menuju kamar Lara untuk membangunkan putrinya itu.
Namun, sebelum Hamdan melangkah, Jala terlebih dahulu menahannya.
"Pi...aku mau tanya sesuatu."
Hamdan pun batal melangkah dan menoleh pada Jala.
"Mau tanya apa, Ja?"
Jala cengengesan, lantas menepuk-nepuk sisi gazebo yang kosong di sebelahnya dan menyuruh Hamdan untuk duduk dulu disana. Hamdan pun menuruti permintaan anak laki-lakinya itu.
Setelah mereka berdua duduk bersebelahan, dengan senyum lebar yang mengembang di bibir, Jala bertanya, "Papi mau nikah ya?"
Hamdan menatap kaget Jala. "Kenapa kamu tanya begitu?"
"Kemarin aku dengar Papi ngobrol sama Oma."
"Loh? Kamu kamu kemarin keluar dari kamar? Bukannya disuruh Oma merenung di kamar?"
"Aku tuh kemarin haus, Pi, jadi niatnya mau minum di dapur. Eh, nggak sengaja dengar Papi ngobrol sama Oma, yaudah aku nguping aja."
"Nggak sopan."
Jala cengengesan saja. "Jadi gimana, Papi beneran mau nikah?" tanyanya lagi.
Hamdan tidak segera menjawab, sebab ia sedikit merasa tidak menyangka jika Jala justru terlihat senang atas informasi yang diketahuinya.
"Emangnya kamu nggak keberatan kalau Papi nikah?"
Dengan cepat dan tanpa ragu sama sekali, Jala menggelengkan kepala. "Aku sama sekali nggak keberatan, Pi. Kalau Papi mau nikah, aku malah seneng banget!" ujarnya semangat. "Kalau Papi nikah, itu berarti aku bakal punya mami kan, Pi? Dari dulu, aku selalu kepengen punya mami. Makanya, aku seneng banget kalau Papi mau nikah."
Jawaban Jala sukses membuat Hamdan tertegun.
Dari dulu, aku selalu kepengen punya mami.
Rasanya hati Hamdan sesak mendengar Jala berkata begitu. Selama ini, Jala dan Lara memang tidak pernah berkata secara terang-terangan jika mereka ingin memiliki sosok ibu di hidup mereka, sebab sejak kecil mereka sudah tau dengan kenyataan pahit bahwa mereka tumbuh tanpa sosok ibu sedari mereka lahir.
Namun, jika dibandingkan dengan Lara, Jala memang kerap sesekali bertanya mengenai mami mereka pada Hamdan. Seperti meminta Hamdan bercerita mengenai mami kandungnya dan meminta untuk dilihatkan foto mami mereka dulu. Bahkan, Jala juga menyimpan satu foto mami mereka dari sedikit foto yang Hamdan punya.
Selama ini, Hamdan hanya berpikir kalau Jala hanya sebatas penasaran saja. Karena selama ini pun Jala tidak pernah meminta sosok ibu pada Hamdan. Mengetahui kalau ternyata diam-diam Jala menginginkannya, Hamdan jadi merasa bersalah. Sepertinya, keputusan Hamdan yang menolak untuk menikah merupakan sesuatu yang salah. Karena itu, Jala dan Lara tidak pernah sama sekali memiliki figur seorang ibu dalam hidup mereka.
Hamdan sadar, yang dikatakan ibunya kemarin memang benar. Hamdan harus segera mencari sosok istri sekaligus ibu untuk anak-anaknya.
Tangan Hamdan terulur untuk mengusap puncak kepala Jala, lalu ia tersenyum."Doain aja, semoga Papi bisa cepat ketemu jodoh, biar Papi bisa nikah dan kalian jadi punya Mami."
Jala menganggukkan kepala senang. Hamdan baru saja memberinya sebuah harapan yang selama ini diimpikannya.
Hamdan dan Jala sama sekali tidak sadar bahwa sejak sekian menit lalu, ada Lara yang sudah berdiri di belakang mereka dan mendengar percakapan tadi. Mereka baru sadar ketika pada akhirnya Lara berdeham hingga membuat keduanya menoleh.
Melihat putrinya yang baru bergabung, Hamdan spontan tersenyum. Namun, Lara sama sekali tidak membalas senyuman itu dan justru merengut. Lantas Lara berkata, "Aku nggak mau Papi nikah. Aku nggak mau punya mami."