two : super daddy

2549 Kata
"Good morning, Pak Hamdan." Hamdan menganggukkan kepala dan menyunggingkan senyum atas sapaan yang didapatnya begitu ia memasuki kantor. Sapaan tersebut berasal dari dua perempuan yang bertugas di meja administrasi Rois Group, kantor tempat Hamdan bekerja. Hingga Hamdan menghilang dari pandangan, tatapan dua perempuan itu terus melekat padanya. Bagaimana tidak, sosok Hamdan Septian Erlangga memang sudah seperti magnet yang dapat menarik perhatian banyak orang dimanapun ia berada, terutama para kaum hawa. He's just effortlessly outstanding. Terlebih lagi dengan setelan kantornya, Hamdan memancarkan aura berwibawa yang sangat kuat. Aura berwibawa itu pun kian menunjang penampilan Hamdan yang memang sudah mewarisi gen rupawan dalam darahnya. Sekali lihat, orang-orang pasti akan mengira kalau Hamdan ini pria muda sukses yang masih lajang, idaman banyak perempuan sekaligus ibu mertua di luar sana. Mana mungkin mereka terpikir kalau Hamdan justru sudah punya anak dua dan anak-anaknya pun telah duduk di bangku SMA. Begitu tahu fakta itu, mereka semua akan terkejut bukan main dan bertanya-tanya bagaimana bisa? Di usia berapa Hamdan menikah jika anaknya sudah sebesar itu? Lalu, dimana istrinya? Siapa kah perempuan beruntung yang bisa menjadi ibu dari anak-anak Hamdan? Tidak banyak orang yang tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Hamdan pun merasa tidak perlu membagi ceritanya dengan orang banyak dan membiarkan saja meteka bertanya-tanya. Walau pada akhirnya, pertanyaan yang tak terjawab itu kerap menimbulkan rumor yang tidak baik. "Pagi, Pak. Tumben datangnya agak siang. Udah mulai nganter anak-anak lagi ya?" Sapaan dari Rafael, sekretarisnya, membuat Hamdan menghentikan langkah di depan meja Rafael yang ada di luar ruangannya dan tersenyum pada laki-laki yang beberapa tahun lebih muda darinya itu. Jangan tanya kenapa sekretaris Hamdan laki-laki. Ceritanya panjang, tapi intinya Hamdan kapok punya sekretaris perempuan karena sebelum Rafael, ia memiliki sekretaris perempuan yang berusaha untuk mendekatinya secara terang-terangan sehingga Hamdan jadi risih. Tidak hanya Hamdan sih, tapi anak-anaknya juga ikut risih karena sekretarisnya dulu yang mencoba sok dekat dengan mereka hingga melewati batas. But that was an old story. Ceritanya sudah beberapa tahun lalu dan kini sekretarisnya dulu sudah tidak lagi bekerja di Rois Group karena resign setelah menikah. "Iya, anak-anak udah mulai masuk sekolah," ujar Hamdan menjawab pertanyaan Rafael tadi. "Ah, I see." Rafael manggut-manggut. "Oh iya, Raf, saya boleh minta tolong nggak? Beliin saya bubur ayam di depan, soalnya tadi saya nggak sempat sarapan." Rafael terkekeh. "Nggak perlu, Pak. Di meja Bapak udah ada bubur ayam, beberapa menit sebelum Bapak sampai, ada ojek online yang nganterin." "Hah? Dari siapa?" Tanya Hamdan bingung sekaligus takut juga siapa yang tiba-tiba mengiriminua bubur ayam. Maklum, Hamdan takut jika itu dari salah satu perempua yang naksir dengannya. Bukannya berlebihan atau apa, tapi Hamdan takut dipelet. "Dari si princess, Pak," jawab Rafael. "Lara?" "Emang Bapak punya princess yang lain?" Hamdan tertawa kecil. "Nggak ada, Raf. Princess saya ya cuma satu dan bakal terus begitu." Hamdan pun berlalu masuk menuju ruangan yang di depan pintunya terdapat tulisan 'Chief Executive Officer' yang merupakan ruangannya di kantor Rois Group ini. Sebagai seseorang yang menyandang jabatan Chief Executive Officer, tentu saja Hamdan memiliki ruang kerja yang lebih bagus dari ruang kerja manapun di kantor ini. Ruang kerja Hamdan bernuansa maskulin, tentu saja, dengan warna cokelat dan hitam yang mendominasi. Interiornya simpel dan minimalis, namun tetap ada kesan mewah yang terasa dari ruangan itu mengingat ini adalah ruangan dari seorang dengan jabatan eksekutif tertinggi di perusahaan. Karena itu, sebuah kantung plastik berearna putih yang tergeletak di atas meja kerja Hamdan jadi terlihat sangat kontras dengan meja kerjanya yang berwarna hitam dan terbuat dari pualam yang mengkilat. Ada senyum yang timbul di bibir Hamdan seraya ia berjalan mendekati meja dan mengintip isi dari kantung plastik yang ada disana. Sesuai perkataan Rafael, isinya adalah sebuah styrofoam berisikan bubur ayam, lengkap dengan sate usus dan hati ampela. Favorit Hamdan sejak dahulu kala. Mencium aroma bubur ayam yang masih hangat itu membuat perut Hamdan langsung bergemuruh, menyadarkannya bahwa ia kelaparan. Meski sudah tidak sabar lagi untuk mengisi perut karena di rumah tadi tidak sempat, Hamdan menyempatkan diri untuk memeriksa ponselnya. Ia tahu pasti ada pesan yang masuk dari Lara, dan ternyata memang ada. Membacanya pun membuat senyum Hamdan kian lebar. from : my princess papiiiii, maaf ya tadi aku main pergi aja tanpa pamit lagi, habisnya aku takut telat dan kesel banget sama si aa sebagai permintaan maaf, aku beliin papi bubur ayam buat papi sarapan. soalnya tadi papi gak sempat sarapan karena ngasih toast punya papi ke aa dimakan dan diabisin ya bubur ayamnyaaaa, kalau gak abis aku marah loh aku mau upacara dulu nihhhh, luv you papiiiii sayangnya akuuuuuu sejagat rayaaa❤️ Ketika Hamdan ingin membalas pesan dari Lara itu, tiba-tiba pintu ruangannya diketuk dan sedetik kemudian Rafael muncul. Hamdan menoleh pada sekretarisnya itu dan memberikan tatapan bertanya. "Ada Goput lagi nih, Pak," ujar Rafael sembari menunjukkan plastik di tangannya. "Dari si princess lagi?" "Enggak." Rafael berjalan mendekati meja Hamdan dan menyerahkan plastik berlogo coffee shop ternama yang di dalamnya berisi segelas hot Americano. "Kali ini dari si jagoan. Tadi Bapak ojeknya titip pesan dari si jagoan kalau kopi ini buat bapaknya. Katanya, 'Makasih Papi karena udah setrikain seragam aku tadi, sampai Papi lupa ngopi. Sekarang mari Papi ngopi dulu biar sueger, tapi nanti duitnya jangan lupa diganti ya, Pi, soalnya Americano di setarbak mahal. Hehehe.' Bapak ojeknya beneran bacain pesannya gitu tadi, termasuk bagian hehehe-nya, Pak." Hamdan tidak bisa menahan tawanya dan geleng-geleng kepala. "Ada-ada aja," ujarnya karena kelakuan Jala. Ia pun berterima kasih kepada Rafael yang sudah mengantarkan kopi tersebut untuknya. Rafael nyengir. "Anak-anaknya Bapak so sweet banget sih, saya jadi iri loh." "Nggak perlu iri, Raf. Karena kadang mereka juga suka bikin saya sakit kepala." "Tapi sakit kepalanya juga langsung ilang kan, Pak, kalau mereka manis begini?" Tawa Hamdan terdengar karena ia merasa omongan Rafael memang benar. Sepusing-pusingnya ia karena kelakuan Jala dan Lara, pada akhirnya mereka selalu menjadi anak-anak Hamdan yang manis. They care for him in their own ways and yes, that's so sweet of them. Jadi, mau berapa kali pun Hamdan dibuat repot atau sakit kepala oleh kelakuan anak-anaknya yang ada-ada saja dan sulit ditebak, pada akhirnya mereka tetap lah sumber kebahagiaan terbesarnya. Motivasi utama Hamdan yang membuatnya ingin mencapai berbagai hal dalam hidupnya, demi membahagiakan dan memberikan yang terbaik untuk mereka. Menjawab pertanyaan Rafael tadi, Hamdan mengangguk dan dengan bangga berujar, "They're loves of my life, Raf." "Wah, itu udah jelas, Pak. Saya tau banget," ujar Rafael setuju. "Karena anak saya juga love of my life." Hamdan tersenyum saja. "Bapak tuh panutan saya banget," ujar Rafael lagi. "Sekarang anak saya masih bayi, Pak. Kalau anak saya udah gede nanti, saya mau dia jadi kayak anak-anak Bapak yang super caring. Dan kalau mau anak saya begitu, saya juga harus jadi seorang ayah sempurna macam Pak Hamdan." "Saya nggak sesempurna itu, Raf. Masih banyak salahnya juga. Ini juga kan baru pertama kalinya saya jadi Bapak." "Baru pertama kali, tapi langsung jadi super daddy. Hebat. Pak Hamdan memang panutan." Rafael mengacungkan dua ibu jarinya pada Hamdan dan menatapnya bangga sebelum ia keluar dari ruangan untuk kembali ke mejanya sendiri. Sepeninggalnya Rafael, Hamdan tersenyum dan geleng-geleng kepala saja. Menurutnya, terlalu berlebihan jika ia disebut sebagai seorang super daddy. Tapi, jika ditanya pada Jala dan Lara apakah Hamdan pantas mendapatkan titel tersebut, maka tanpa ragu mereka akan menjawab kalau papi mereka jauh melampaui kata pantas untuk menyandang titel itu. Tidak hanya super daddy, Hamdan itu super super super super duperrrrr daddy. Period. *** "Lagi good mood nih kayaknya. Kenapa? Udah punya cewek baru kah?" Dari sekian banyak cara temannya menyapa Hamdan, ia paling malas jika disapa dengan pertanyaan seperti itu. Selalu saja, pertanyaan semacam itu membuatnya mendengus atau memutar bola mata malas. "You know the answer, so stop talking like that," balas Hamdan sebal pada temannya yang baru saja memasuki ruang kerja Hamdan. Gajendra Luki Paramartha lah orangnya. Laki-laki tinggi itu tertawa kecil, lantas menarik kursi di depan meja kerja Hamdan dan duduk disana. "Sensitif amat dah, padahal tadi juga senyum-senyum." "You ruined the mood, you know?" "Padahal apa salahnya sih cuma nanya? Lagian, gue sering nanya begitu juga karena gue berharap siapa tau jawaban lo berubah. Yang biasanya rese, jadi ngeiyain kalau lo udah punya cewek baru." "Jangan ngaco." "Duhh, Hamdan, kapan lo mau cariin mami buat anak-anak lo?" Hamdan hanya memberikan Jendra tatapan sebal pada Jendra sehingga laki-laki itu pada akhirnya berhenti bicara, walau masih tertawa dengan menyebalkannya. Untung saja mereka sudah lama berteman dan menjadi rekan kerja, jika tidak, Hamdan pasti sudah menyuruh Rafael untuk mem-blacklist Jendra agar tidak diperbolehkan lagi masuk ke ruang kerjanya. Tapi yah, Hamdan juga tidak bisa melakukannya sih. Selain karena mereka teman akrab sejak SMA, Jendra yang merupakan seorang celebrity chef  dan berasal dari keluarga Paramartha yang tersohor karena memiliki rumah sakit dan usaha di bidang kesehatan itu juga memegang jabatan sebagai founder dan owner dari Rois Group, dimana Hamdan menjabat sebagai CEO disana. Rois Group sendiri merupakan perusahaan penyedia layanan beragam jasa makanan dan minumam yang membawahi beberapa franchise restoran di Indonesia. Meski usia perusahaan ini belum genap lima tahun, namun Rois Group sudah memiliki banyak franchise restoran an beberapa di antaranya adalah restoran terkenal yang akhir-akhir ini sedang digandrungi masyarakat.  Meski Rois Group merupakan perusahaan yang mulanya dibangun oleh Hamdan dan Jendra, namun Jendra memegang jabatan yang lebih tinggi daripada Hamdan. Jadi, Hamdan tidak bisa sepenuhnya semena-mena kepada si chef  yang hobinya marah-marah dan roasting people di acara kompetisi memasak tempat ia menjadi salah satu jurinya. "Ngapain lo kesini?" tanya Hamdan pada Jendra setelah pria itu berhenti tertawa meledeknya. Kehadiran Jendra ini memang tiba-tiba, karena tidak biasanya Jendra datang jika tidak memiliki keperluan khusus di kantor. Hari ini pun tidak ada meeting yang perlu Jendra hadiri atau pun hal lain yang berurusan dengan pekerjaan. Jadi, bisa dipastikan kalau Jendra datang karena maksud lain. Terlebih lagi, datangnya tanpa memberi kabar. "Emang nggak boleh kalau gue kesini? Rois Group kan punya gue." "Ya, tau. Tapi nggak biasa aja lo datang tanpa ngasih kabar." "Iseng aja mampir, gue baru kelar shooting." "Oh, kirain mau curhat karena berantem sama bini." "No, thanks. We are beyond fine." "Ya, bagus. Males juga gue kalau harus dengerin masalah rumah tangga lo." "Iri ya karena gak punya rumah tangga?" "f**k you, Jen." Jendra terkekeh, lantas ia mengambil ponsel dari saku blazer hitam yang dipakainya hari itu, mencari sesuatu di dalam benda keluaran brand mahal terbaru tersebut sebelum menunjukkannya kepada apa yang ditampilkan oleh layar ponselnya. Ternyata foto seorang perempuan yang sedang tersenyum. Tidak mau munafik, dalam hati Hamdan mengakui kalau perempuan di foto itu cantik. "Siapa? Selingkuhan lo?" tanya Hamdan setelah melirik foto tersebut. "Sembarangan!" protes Jendra. "Masa lo nggak kenal sih?" Hamdan hanya diam dan memandang Hamdan dengan sebelah alis terangkat. Ia sama sekali tidak tahu siapa yang baru saja ditunjukkan oleh Jendra itu. Mungkin artis, entahlah, Hamdan mana hapal siapa saja artis-artis yang ada di negara ini. "Ini Yuriko Watanabe, rekan sesama juri gue di acara Cooking Master season yang baru ini. Dia keturunan Jepang." "Terus?" "Mau kenalan sama lo." Here we go again...erang Hamdan dalam hati. Entah ini sudah perempuan ke berapa yang mau dikenalkan Jendra padanya. Hamdan bahkan sudah kehilangan hitungannya sendiri karena sudah seringnya hal ini terjadi. Hamdan membuang napas dan memandang Jendra lelah. Padahal, sebelumnya ia sedang dalam mood yang sangat bagus karena bubur ayam dan kopi yang dikirimkan oleh anak-anaknya.  "Jen, we've talked about this before..." Jendra ikut membuang napas. "I know, I know. Gue juga mau menyampaikan keinginan Yuriko doang kok, nggak enak soalnya dia ngomong langsung ke gue." "Yaudah, lo kan tau jawabannya apa." "Still no?" "Always no." Jendra berdecak. Merasa sebal karena lagi-lagi, percobaannya untuk menjodohkan Hamdan dengan seorang perempuan gagal total. Yang mana artinya, lagi-lagi Hamdan masih setia mempertahankan status sendirinya yang sudah berlangsung selama lima belas tahun lamanya. Sejujurnya, Jendra merasa prihatin. Sudah berteman sejak SMA, Jendra tentu tahu bagaimana perjalanan Hamdan sebelum Jala dan Lara ada, hingga sekarang. It's not an easy journey, so far from it. Terutama ketika Hamdan harus membesarkan anak-anaknya sendirian selama ini akibat ditinggal oleh perempuan yang merupakan ibu dari anak-anaknya, sekaligus perempuan satu-satunya yang setahu Jendra pernah dicintai Hamdan dalam hidupnya. Walau tidak pernah mengatakannya secara langsung, namun Jendra tahu apa alasan Hamdan masih setia sendiri hingga sekarang dan sama sekali tidak berniat untuk mencari pasangan atau sosok ibu bagi anak kembarnya.  Harap yang masih tersisa untuk perempuan yang menghilang itulah yang menjadi alasan. "Yah, too bad  belum apa-apa Yuriko udah ditolak. Tapi mau gimana lagi juga." Jendra membuang napas dan mengangkat bahu. "Salah emang kalau naksirnya sama laki macem freezer. Dingin abis." Hamdan memutar bola mata. "Lagian bisa tau gue darimana sih?" "Seriously? Siapa juga yang nggak tau lo? You are a fine bachelor that women like to talk about. Hamdan yang tampan dan mapan lah, Hamdan yang manis, Hamdan yang unreachable, dan yang pasti Hamdan si hot and super daddy." "Freak," gumam Hamdan diiringi decakan. Jendra geleng-geleng kepala saja melihat bagaimana temannya satu ini menganggap bahwa pujaan dari banyak perempuan di luar sana tentang dirinya sebagai beban. Betul-betul tidak bersyukur. "Anak-anak lo udah mulai sekolah?" tanya Jendra, memilih mengubah topik pembicaraan karena sudah menyerah dengan misi mengenalkan Hamdan dengan perempuan. Mendengar anak-anaknya disebut, wajah Hamdan yang semula tegang karena kesal jadi mengendur. Memang cuma anak-anaknya dan ibunya saja yang bisa menghangatkan sikap Hamdan. "Iya, mereka udah mulai sekolah hari ini," jawab Hamdan. "Kalau weekend kalian nggak ada acara, ajak aja mereka main ke rumah gue. Waktu itu kan gue pernah janji mau ngajak mereka BBQ-an di rumah, kebetulan gue juga baru beli banyak daging wagyu A5. Nanti gue undang adik gue si Hara juga, biar Lara bisa tanya-tanya perihal kedokteran." "Oke. Sounds nice." Tepat setelah Hamdan mengatakan itu, ponsel Hamdan yang tergeletak di atas meja berdering. Ia melirik layar ponselnya dan mendapati bahwa yang menelepon adalah sebuah nomor tidak dikenal. Dengan tangannya, Jendra mempersilahkan Hamdan untuk menerima telepon tersebut, dan Hamdan pun melakukannya. "Halo?" Hamdan menyapa sopan. "Halo, apa benar ini dengan Bapak Hamdan Septian Erlangga?" Hamdan mengernit mendengar suara asing itu.  "Iya, dengan saya sendiri. Maaf, apa saya boleh tahu sedang bicara dengan siapa sekarang?" "Saya Semira Padmarini, guru BK di sekolah Harapan Bangsa, Pak." Mendengar itu, otomatis satu tangan Hamdan yang bebas langsung bergerak untuk memijat pelipisnya. "Iya, Bu. Jalandra bikin masalah apa lagi ya?" "Oh enggak, Pak, ini bukan tentang Jalandra tapi tentang Laraina." "Laraina?" "Iya, Pak. Putri Bapak baru saja kedapatan bertengkar dengan teman sekelasnya. Apa Bapak sekarang bisa ke sekolah untuk membantu penyelesaian masalahnya? Sebab orangtua dari teman yang bertengkar dengan Laraina meminta orangtua Laraina untuk datang." Hamdan bengong, benar-benar terkejut atas informasi yang baru saja didapatnya. Ia merasa kalau informasi itu sulit untuk dipercaya. Apa kata guru BK tadi? Lara bertengkar teman sekelasnya? Rasa-rasanya mustahil. Meski sering bertengkar dengan kembarannya, namun selama ini Lara tidak pernah membuat masalah apapun di sekolah. "Halo, Pak?" "Iya, Bu, saya kesana sekarang. Terima kasih." Segera setelah sambungan telepon tersebut terputus, Hamdan meraih kunci mobil dan beranjak dari duduknya. "Mau kemana?" tanya Jendra yang kaget karena Hamdan langsung buru-buru begitu setelah mengakhiri telepon tadi. "Ke sekolah anak-anak. Lara masuk BK, katanya abis berantem." "What?!" Jangankan Jendra, Hamdan juga terkejut bukan main. Tidak pernah sekalipun ia menyangka bahwa anak perempuannya yang selama ini merupakan siswa teladan serta berprestasi di sekolahnya, akan menyebabkan masalah hingga masuk ke ruang BK seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN