Yang Ku Pilih

1721 Kata
"Jam berapa jadwal ku berakhir". Damar memecahkan kebekuan dari mobil Van yang biasa membawanya melewati aktivitas padat sebagai musisi pendatang baru. "Pukul 19.00, hanya saja malam ini kamu di minta bang Bay menemuinya, dia tertarik dengan potongan kalimat yang kamu posting di i********:. Sepertinya dia ingin kamu merilis singel baru untuk membuat posisi mu semakin kuat". Kak Pandu, pria Bali 28 tahun manajer yang setia menemani Damar tiap saat. "Apa jadwal itu bisa di geser?". Pinta Damar, melirik handphonenya. Pandu tersenyum. "Apa gadis itu spesial? Aku jadi penasaran". Pandu menangkap keinginan Damar. Damar tidak menjawabnya, se spesial apapun Aruna sangat rumit untuk dijelaskan. "Kamu tak perlu menghilang seperti tadi malam. Cukup bilang saja padaku, aku akan membantumu. Kamu bukan malaikat. Kamu punya hak menikmati masa muda mu. Hanya saja tidak boleh ketahuan, cuma itu yang harus kita jaga". Ungkapan Pandu di balas anggukan oleh Damar. "Kenapa kak Pandu memilih meninggal artis sebelumnya yang jelas-jelas sudah mapan?". Dari awal Damar sedikit aneh dengan pilihan laki laki Bali ini. Dia memilih menjadi manajer Damar di tengah banyaknya tawaran karena keputusannya meninggalkan artis yang sudah mapan di dunia entertainment. "Apa lagi, aku penggemar n****+ mu. Hahaha". Jawab Pandu tidak di respon Damar. Alasan semacam itu hanya formalitas. "Aku capek dan tertekan, ketika mendampingi artis yang tidak memiliki bakat. Untuk mempertahankan popularitasnya mereka akan beralih dari satu skandal ke skandal yang lain. Dan itu menyiksa batin". Pria itu benar-benar berbicara dari hati. "Sangat berbeda ketika aku mendampingi mu, kamu orang yang bahkan tidak berminat untuk terkenal. Awalnya aku sedikit terkejut bagaimana pemuda seperti mu bisa menjadi bagian dari dunia entertainment. Ternyata bakat mu melebihi ekspektasi ku. Bukan sekedar karya mu, kau memiliki aura dan pembawaan yang mudah membuat orang jatuh cinta". Pandu terlihat bersemangat. Berbeda dengan lawan bicaranya. Dan manajer itu mencoba memahami ekspresi Damar. "Akan aku bantu menggeser jadwalnya". _Sepertinya ini yang di inginkan Damar_ "Iya, terimakasih kak". Damar sumringah kemudian merebahkan tubuhnya lebih santai. _Ah' anak ini benar-benar bucin (butuh cinta)_. *** Pria disampingnya memencet klakson mobil. Sengaja supaya gadis itu menoleh. "A.duh!!". Aruna salah orang. _Bagaimana bisa?! dia menyebutkan nama orang lain ketika bersama ku?!. Keterlaluan!!_ Hendra benar-benar kesal. _Andai aku bisa, akan ku melempar dia dari mobil ku_. Mood Hendra menjadi demikian buruk. Tapi hal semacam itu tidak mungkin dia lakukan. Karena Hendra sedang berusaha menutupi kemarahannya sebaik mungkin. Sayang caranya tampak sia-sia. Ekspresi wajah bisa dimodifikasi tenang, namun kelakuannya tidak terkendali. Aruna berpegangan serius pada sabuk pengaman di d**a. Laju mobil yang dikendalikan Hendra tidak beraturan. Kasar dan semakin cepat. CEO Djoyo Makmur Grup, terbiasa dominan dan tiba-tiba mendapati dirinya kalah dengan mahasiswa cuti kuliah. Jika disejajarkan secara normal terlihat jelas bukan lawan yang seimbang. Kecuali kata-kata Surya benar. "Saingan mu aku rasa dia punya strategi diluar ekspektasi kita. Anak itu, ah.. karya-karyanya cukup menarik disimak". Tiba-tiba ungkapan Surya memenuhi otak Hendra. _Strategi diluar ekspektasi? Seperti apa itu?_. Entah bagaimana Hendra semakin tidak tenang memikirkannya. Padahal secara pribadi dia belum mau menyadari hatinya telah di isi Aruna. *** Gerbang rumah mewah itu terbuka otomatis. Seolah lorong jalan pribadi keluarga Djoyodiningrat yang baru saja di lalui mobil Hendra, mendeteksi kedatangannya. Hendra sama sekali tidak mengurangi kecepatan. Karena yang di depan terbuka begitu saja seiring kedatangannya. Sampai didalam, hamparan taman bunga cantik menyambut mereka. Dibagian tengah terdapat sebuah air mancur yang terkesan klasik, meliuk-liuk bagaikan gadis sedang menari. Hendra meluncur, melingkari air mancur. Kemudian terhenti di pintu besar ukiran khas Jawa. Pria itu keluar disusul pria yang berpakaian serba hitam sigap membuka pintu untuk Aruna. _Apa ini yang disebut rumah induk Djoyodiningrat?_ Aruna sedikit ternganga. Dia tidak pernah berfikir akan semegah ini. Didalam benaknya yang sederhana. Sebuah rumah mewah bahkan tidak ada 1/4 dari imajinasinya. Sama seperti gerbang yang tadi di lewati. Pintu ukiran itu terbuka sendiri. "Hai ayo". Hendra membangunkan Aruna yang sedang terbengong. Gadis ini makin terbelalak melihat bagian dalam rumah megah Djoyodiningrat. _Pantas Hendra sedikit berbeda_. Aruna berjalan melewati ruang terima tamu menyusuri langkah kaki Hendra. Dan berakhir di sebuah ruangan yang terasa hangat. Sepertinya ini ruang keluarga. Sebuah tv menjadi fokus utama ruang tersebut. Sedangkan di sekelilingnya di hiasi lampu temaran berwarna kuning hangat. Beberapa foto Hendra kecil hingga remaja termasuk ketika dia mengenakan toga ada disana. Buku-buku berjejer tersusun klasik dan menawan. Yang lebih indah adalah disela-selanya terdapat jendela yang menjulang tinggi mengarah kesebuah taman. Pepohonan di luar tertangkap sempurna dari jendela tersebut. Aruna tertarik dengan kursi mini yang dipasang menempel pada jendela, bisa dibayangkan jika hujan turun pemilik rumah ini bisa menikmati rintik air membasahi dahan-dahan dan ranting pohon. Pasti menyenangkan. Hendra mempersilahkannya duduk. Sudah dapat ditebak, Aruna mencoba duduk didekat jendela yang menarik perhatiannya. "Mas Hendra, kakek meminta anda menemuinya terlebih dahulu". Hendra menyentuh pundak Aruna sebagai tanda pamit. Pria itu berjalan melambat ketika mendekati ruang kerja kakeknya. "Andos apa kau tahu keputusan akhir kakek ku?". Hendra mencoba mencari cara menghadapi kakeknya. "Andai saya tahu, saya tidak akan pernah memberitahu anda". Sekertaris kakeknya melempar jawaban datar. "Kenapa kalian begitu setia padanya?!". Hendra terganggu dengan jawaban Andos. "Karena kami dibayar untuk itu". Andos mendekati pintu dan membukanya secara perlahan. Lelaki tua itu duduk santai di sana sedang mengamati foto, kemudian meletakkannya di meja. "Mendekatlah, beritahu aku siapa yang kamu inginkan". Permintaan tetua Djoyodiningrat di sambut cucunya. _Apa??_. Hendra tersentak mendapatkan pertanyaan blak-blakan dari kakek Wiryo. Dua foto perempuan sedang berjejer di sana. Aruna dan Tania. "Apa maksud kakek? Kenapa aku harus memilihnya?!". Hendra mencoba mencari makna dibalik permintaan itu. "Apa lagi?! Aku akan mendukung mu sesuai dengan pilihan mu. Sekarang semua terserah keinginan mu". Wiryo menambahkan. "Aku tidak bisa memutuskan ini dengan cepat". Hendra menyadari setiap pilihan di hadapan kakeknya memiliki konsekuensi yang panjang. "Ayah gadis ini akan segera datang. Dan waktu mu hanya sampai dia datang". Demikian mudahnya Wiryo mendesak cucunya sendiri. Hendra sedikit bergetar, dia tidak tahu apa yang harus di lakukan. Dia bahkan belum bisa memahami makna yang melatarbelakangi permintaan kakeknya, ini di luar kebiasaan. Lelaki tua itu biasanya menyuruh bukan memberikan pilihan. "Boleh aku tahu jika aku memilih salah satu dari mereka, Seperti apa konsekuensi yang aku terima??". Hendra tidak ingin melakukan kesalahan. "Mudah saja, aku menikahkan cucuku untuk mendapatkan penerus keluarga Djoyodiningrat. Untuk itu siapapun yang kamu pilih. Kamu harus menjalani pernikahan ini dengan normal layaknya sepasang suami istri". Wiryo mulai mengetuk-ngetukan jarinya. "Kakek tidak peduli dengan trauma mu atau apapun itu, kau harus mencoba sampai batas kemampuan yang kau miliki". Tatapan Wiryo membuat lelaki bermata biru mulai serius mengamati dua foto didepannya. _Aruna akan kembali mendapatkan masa mudanya, dia pasti semakin bersinar tanpa perjanjian pernikahan ini_ _Tania? Perempuan itu sangat mudah dikendalikan. Dia bakal menerima semua permintaan ku tanpa penolakan sedikit pun_ _Jika memilih yang paling mudah, Tania sangat tepat_ Tangan Hendra mulai bergerak mendekati foto Tania. Dan terhenti sejenak. Mengapa ada rasa yang begitu berat di hati, ada sesuatu yang mengganjal. _Mengapa aku takut kehilangan Aruna?_ Hendra berbisik kepada dirinya sendiri. "Kau tahu, waktu opa menikahi oma mu. Dia tidak menaruh minat sedikit pun pada opa. Lebih tepatnya opa memaksanya". Wiryo seolah turut serta memberi arahan. Hendra terhenti, matanya mengarah kepada foto Aruna. Namun gerakan tangannya secara logis menuju kepada foto Tania. Tania kenyataan yang paling tepat. "Waktu itu bahkan seluruh keluarga menolak keputusan kakek. Karena Oma mu gadis dari keluarga biasa. Tapi, hati kakek bicara lain. Memberi kakek keyakinan bahwa kami bisa bertahan menjalani kehidupan bersama. Sekarang pilihlah dengan sungguh-sungguh". Wiryo mengamati dengan seksama gerak gerik cucunya. _Aruna? Seandainya aku memilihnya. Kehidupan pernikahan ku hanya akan berlangsung dua tahun_ Perasaan dan pikiran Hendra menjadi kacau. "Tok.. tok.. tok...". Ketukan pintu. Memecahkan sedikit ketegangan. Andos menyusup kedalam memberitahukan bahwa Lesmana, ayah Aruna telah datang. Wiryo memundurkan dua foto tersebut. Meminta sekertarisnya membawa masuk anak dan ayah yang sudah menunggu diluar. "Ingat ini kesempatan terakhir mu". Ucapan kakeknya menguras hati dan pikiran Hendra. Gadis itu berjalan di iringi ayahnya. Mungil dan sedikit ketakutan. Dia pasti sudah banyak mendengar cerita tentang keluarga Djoyodiningrat. Wiryo berdiri dan tersenyum pada Lesmana, meminta mantan sekretarisnya duduk disebuah kursi dekat Wiryo. Sedangkan Aruna dan Hendra berdiri terpaku beriringan. "Bagaimana kabar Aruna?". Aruna mendongakkan wajahnya mendengar pertanyaan opa Wiryo. "Baik kakek". Jawab Aruna singkat. Disisi lain Hendra tampak jelas sedang mengamatinya. _Siapa yang harus aku pilih?_ batin Hendra berkecamuk. "Putri mu semakin manis Lesmana". Lelaki tua itu menoleh pada ayah Lesmana. Dan sang ayah melemparkan senyum hati-hati. Sejujurnya dia bingung, Aruna tidak mungkin memiliki inisiatif berpenampilan seperti ini. Siapa yang mempersiapkan itu semua?. "Bagaimana kuliah mu? Aku dengar putri cantik Lesmana sangat sibuk. Bahkan cucuku kesulitan menemuinya". Wiryo mencoba mengulur waktu sampai dititik tertentu, sebelum dia benar-benar akan menanyakan kesediaan sepasang pemuda pemudi didepannya. Untuk menikah atau dicukupkan disini. Aruna hanya tersenyum, bingung mau menjawab apa. Dia menoleh pada Hendra, gadis itu minta tolong. Wajah Aruna tertangkap demikian menggemaskan di mata Hendra. Seluruh aliran darahnya terasa hangat. "Sepertinya saya yang kesulitan mencocokkan waktu dengan Aruna. Sehingga kami beberapa kali mengalami kendala. Sejujurnya di luar jadwal, saya dan Aruna membuat kesepakatan bertemu". Hendra mencoba menenangkan Aruna. Gadis itu tampak lega dan menunjukkan raut muka terimakasih. "Baiklah sekarang aku ingin mendengarkan langsung dari Aruna". Pernyataan Wiryo membuat Hendra tegang. "Karena cucu kakek kesulitan membuat pilihan. Sekarang aku berikan hak itu pada mu". Keringat dingin mengalir di pelipis Hendra. Dia tidak menduga kakeknya sejauh ini. Setiap ucapan Opa Wiryo membaur menjadi malapetaka buat Hendra. "Bagaimana menurutmu tentang pernikahan kalian?". Aruna tampak bingung memahami pertanyaan Opa Wiryo, dia melirik ayahnya. Ayah Lesmana menggerakkan mulutnya, ungkapan kata 'jujur' tanpa suara tertangkap jelas. "Sebenarnya saya berharap, pernikahan ini... ". Belum usai Aruna menjawab. "Dilangsungkan!!". Hendra menangkap tangan Aruna dan memeganginya erat-erat. Menyerobot penjelasan Aruna. _Yang telah ku genggam, tidak akan terlepas_ tiba-tiba Hendra mengingat kuat pernyataan yang dia lemparkan kepada kakeknya dan kepada dirinya sendiri. Awalnya Hendra tidak cukup berani mengambil resiko memilih Aruna. Ternyata ada ketakutan yang lebih besar dari itu. Dia sangat takut kehilangan Aruna. _Apa?!_. Diam-diam Aruna berusaha melepaskan genggaman Hendra, gadis kecil itu bahkan memencet kuat salah satu jari Hendra dengan kukunya. Hendra tidak bergeming. "Saya akan berusaha menjaganya semampu saya". Ucapan Hendra berikutnya adalah permintaan ijin kepada ayah Lesmana. "Saya akan mencoba sampai batas akhir kemampuan yang saya miliki, kakek". Pernyataan kali ini menjawab permintaan kakeknya. Tetang sindrom yang dia hadapi. "Kau tahu resikonya sebesar apa?". Tiba-tiba lelaki tua itu melempar pertanyaan yang hanya dipahami antara kakek dan cucu. "Aku tahu, sangat tahu, dan aku akan berusaha". Hendra memantapkan hatinya. "Bagaimana dengan Aruna?". Aruna yang masih sibuk mencari cara lepas dari genggaman tangan Hendra. Sedikit terkejut dengan pertanyaan Opa Wiryo. Gadis itu sekali lagi melirik ayahnya. Lesmana mengangguk, mengiyakan ijin yang baru saja dilontarkan Hendra. "Saya akan menerima keputusan ayah saya". Jawaban Aruna begitu menenangkan bagi siapapun yang mendengar. Hendra menangkap jelas interaksi ayah dan anak itu. Dia tertegun, bagaimana Aruna dengan mudah menuruti setiap permintaan ayahnya. Apa anak ini tidak memiliki keinginan kuat lain?. Sehingga dia perlu memperjuangkannya, atau minimal peduli dengan dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN