Pencuri Pertama

1901 Kata
Sepasang calon pengantin keluar dari ruang kerja sang tetua dengan aura yang bertolak belakang. Si pria, merasa demikian lega telah mengambil keputusan. Sedangkan si perempuan menatap penuh ancaman. "Lepaskan tanganku!!". Aruna melempar tangan Hendra. Gadis itu menghembuskan nafas panjang berkali-kali. Dia seolah sedang meredakan sesak nafas. Marah, karena lelaki bermata biru menyerobot penjelasannya. "Hai.. harusnya aku yang marah. Lihat! kelakuan mu membuat jariku terluka". Hendra menunjukkan sudut jarinya memerah akibat kuku Aruna. "Jika kau berani marah padaku, aku akan... ". Aruna mengintimidasi, mengacungkan jari telunjuknya di d**a Hendra, meledakkan kekesalan. Aneh??, Tiba-tiba ucapannya terhenti, secepat kilat menyembunyikan jari beraninya kebelakang punggung. "Ehh.." _Ada apa dengannya?_ Hendra menangkap senyuman manis Aruna. Ekspresi gadis unik ini berubah 180 derajat. Ternyata dari balik lorong dibelakang punggung Hendra. Perempuan tua berjalan anggun di ikuti seorang perempuan muda berseragam. _Anak ini?! Pandai sekali berubah ekspresi. Bahkan lebih pandai dari Tania_ (Tania berprofesi sebagai artis drama series) gumam Hendra. "Aku mendengar kabar, nak Aruna datang. Senangnya Oma bisa menemui mu". Perempuan bernama Sukma tersenyum memegangi kedua tangan Aruna. Saling berbalas. "Bagaimana kabar oma?, saya juga sangat senang bisa berjumpa Oma kembali". Sapa Aruna, ramah. "Uuh.. manisnya.. Oma baik, walau terlihat tua, Oma tidak kalah sehatnya dari yang muda. Apalagi ada yang menyapa seperti ini. Lihat cucu Oma, dia bahkan tidak tahu cara menyapa Omanya". Sukma tersenyum anggun pada Aruna dan masam pada Hendra. "Haaah". Hendra membuang nafas, merasa panas kena sindir. "Oma berharap kamu segera menjadi bagian dari keluarga ini. Agar oma kembali muda, ayo sekarang ikut aku. Kita makan dulu". Oma Sukma menarik Aruna, membawanya menyusuri rumah Djoyodiningrat. Spontan Aruna menoleh pada Hendra. Pria itu tampak pasrah. *** "Lesmana tunggu sebentar!". Lesmana yang mulai bangkit dan berniat keluar dari ruangan dihentikan Wiryo. "Aku tidak mengerti dengan mu. Kali ini kamu dan putrimu bisa terlepas dari kami. Mengapa kamu serahkan putrimu kembali". Wiryo menegakkan tongkatnya berdiri. Mantan sekertarisnya berbalik, seraya memberi hormat. Kepala Lesmana menunduk lirih. "Karena cucu anda membutuhkannya". Lesmana seolah mengerti sesuatu yang disembunyikan keluarga Djoyodiningrat. "Sejauh mana kamu memahami kondisi Hendra?! Siapa yang memberi tahu mu??". Wiryo terkejut. "Itu tidak penting tuan, yang terpenting ialah aku telah memenuhi janjiku. Aku ijinkan putri ku menjadi bagian dari keluarga ini dengan satu syarat". Lesmana mengajukan permintaan. "Sebutkan!". "Kelak jika Aruna sudah tidak sanggup menghadapi pernikahan ini. Aku minta anda mengijinkan dia pergi kapan saja". "Baiklah aku terima". Wiryo memulai kesepakatan berikutnya. "Tolong berhentilah berperilaku seperti sekertaris, kita akan menjadi besan". Pinta Wiryo keberatan. "Bukankah ini kesepakatan kita, Lesmana adalah sekertaris Wiryo sampai dia menyerahkan putrinya. Ketika putriku telah menjadi menantu keluarga ini, saya akan memutuskan ikatan dengan anda dan saya akan berperilaku sebagai ayah yang sesungguhnya". Lesmana sedang menahan rasa remuk mendalam pada tiap kata yang dia ucapkan. "Aku berterimakasih, sampai akhir kamu tetap sekertaris setiaku". _Bahkan putri yang kau serahkan memiliki karakter yang sama denganmu_ Lelaki tua itu terduduk kembali menatap punggung Lesmana. *** "Aruna". Lesmana memanggil putrinya, tampak tersenyum memberi rasa hormat kepada mantan keluarga atasannya. "Ayah... ". Suara Aruna begitu riang menjawab panggilan ayahnya. Dia sedang tertekan menghadapi cara makan yang begitu sopan dari 3 anggota keluarga Djoyodiningrat. Oma Sukma, Ibu Gayatri dan Hendra. "Ayah harus kembali kekantor, ayah meninggalkan rapat untuk datang kesini. Mari kita pamit sekarang". Aruna sigap bersiap-siap, dia ingin secepatnya menghilang dari tempat ini. "Biarkan saya mengantar Aruna ayah, eh' maksud saya om Lesmana". Hendra meletakan makanannya. Berdiri, memberi hormat dan meminta ijin kepada ayah Aruna. "Baiklah.. saya mohon maaf, pamit terlebih dahulu". Wajah Aruna mendadak lesu melihat punggung ayahnya menghilang. "Apa cucu ku membuat mu kesulitan". Makanan penutup membuat keluarga ini mulai bersuara. _Sangat!!_ "Hehe sedikit". Ucapan dan hati Aruna bertolak belakang. "Aku tidak tahu seperti apa kehidupan yang mereka jalani di luar sana. Hingga para lelaki di keluarga ini memiliki cara bicara kurang lembut". Oma seolah memberi penjelasan. Ditelinga Aruna, penjelasan nenek keluarga Djoyodiningrat hampir sama dengan tugas kuliah damar (selalu berserakan dilantai 2 outlet Surat Ajaib) yang pernah dia baca, majas Eufemisme. (Eufemisme: Gaya bahasa yang mengganti kata-kata yang dianggap kurang baik dengan padanan yang lebih halus) Tiap kata-kata yang terucap begitu halus dan menari-nari di pikiran Aruna. Sedikit memusingkan. Hendra hampir tidak bisa menahan tawa ketika gadis mungil itu menggaruk-garuk sudut lehernya. Menunjukkan raut muka bingung dan bosan. "Aruna, kamu mau lihat kamar yang oma siapkan". Tidak tahu sampai mana arah pembicaraan yang didominasi Oma Sukma. Tapi kata-kata terakhir ini, membuat Aruna tercengang. "Apa??". Aruna mengerjapkan matanya. _Kamar?? Kamar ku dan lelaki mulut tajam_ _Ya tuhan.. tolong aku.. aku bisa terserang sesak nafas dadakan_ Aruna panik, membayangkan pernikahan saja begitu mengerikan. Bagaimana dengan kamar? Ah' mentalnya tidak cukup kuat untuk membaut gambaran berbagi kamar dengan cucu Djoyodiningrat. Gadis itu menendang kaki Hendra yang duduk disampingnya. "Mohon maaf, oma". Suara pria itu sedikit berbeda. Seiring rasa terkejut, menerima ulah Aruna. "Aku harus mengantar Aruna secepatnya. Ada jadwal yang tak bisa ku lewatkan". Hendra berusaha mencari cara terbebas dari permintaan Oma Sukma. "Jadwal! jadwal!, telingaku lelah mendengarnya. Sekarang aku hanya minta 10 menit kalian". Oma tidak peduli. Menarik tangan Aruna agar ikut bersamanya. "Tidak bisa oma.. kita harus pamit sekarang". Hendra tidak mau kalah, cucu itu turut serta berebut Aruna. Tangan Aruna dibagian kiri diraih Hendra dan sisi kanan di genggam Oma. Aruna berusaha melepas tangannya dengan sopan dari genggaman oma. "Huh.. kalian..". Oma Sukma mengeluh. "Susi! buat nona Aruna berada di pihak ku". Nenek itu memanggil seorang pelayan perempuan dengan perawakan tegap dan terlihat atletis, kontras dengan balut wajah anggun dan sopan. Dia bahkan minta maaf sebelum mendekati Hendra. "Oma, apa-apaan ini!". Hendra mencoba mendekap Aruna. Aruna sempat mendorong tubuh pria itu. "Sesekali aku juga ingin berperilaku egois seperti kalian". Sukma tersenyum menyeringai, berjalan lebih dahulu. Perempuan bernama Susi berusaha meraih Aruna. Keadaan menjadi kacau. Aruna baru menyadari mengapa Hendra perlu mendekapnya. Yang di maksud 'berpihak pada Oma' adalah nenek itu berusaha mengambil Aruna dari Hendra. "Tuan muda, jika anda terus seperti ini. Mohon maaf, saya harus mengunci anda". Sesaat kemudian dengan gerakan kilat. "Argh..". Salah satu tangan Hendra terkunci di punggungnya. Namun pria itu tidak mau kalah. Dia masih kuat memegangi pergelangan tangan Aruna dengan sisa tangannya. "Oma". Ibu Gayatri. Perempuan yang terlihat sangat tenang nan cantik. Mulai bangkit. Perempuan dengan tatapan kosong itu menghentikan langkah Oma yang hampir menghilang. "Setahu saya kamar yang Oma persiapan masih dalam proses renovasi. Akan lebih terkesan jika anda menunjukkannya, ketika kamar itu benar-benar siap". Ucapannya lirih dan hampir tidak terdengar. Gayatri mencoba membujuk Sukma. "Mendapati kamar baru setelah menikah. Pasti meninggalkan kesan luar biasa dari pada melihatnya sekarang". Ucapan Gayatri membuat nenek tua itu berubah pikiran. Dia meminta pelayanannya melepaskan Hendra. "Maaf nak Aruna, kamu harus melihat ini. Kadang kita terpaksa saling bersinggungan supaya ada yang peduli pada nenek tua ini". Aruna hanya tersenyum mendengarnya. _'Terpaksa saling bersinggungan supaya ada yang peduli pada nenek tua ini' oh maksudnya, saling memaksa dengan cara kasar satu sama lain supaya dipedulikan_ Aruna mulai pandai mengartikan majas Eufemisme oma Sukma. "Ayo Aruna kita pergi!". Hendra melangkah tanpa melihat. "Lihatlah dia bahkan tidak mau pamit pada omanya, terluka hatiku". _Ah' keluarga ini sedikit unik_ Aruna menangkap wajah malas Hendra, berbalik dan menundukkan kepalanya. "Aku pergi dulu". Dan dia benar-benar melangkah pergi. "Oma terimakasih atas jamuan nya.. ibu Gayatri terimakasih atas bantuannya.. ". Aruna menyalami mereka satu persatu kemudian berlari kecil membuntuti langkah Hendra. *** "Gayatri apa menurutmu aku tadi berlebihan". Perempuan tua mengintip sepasang laki-laki dan perempuan memasuki mobil. "Ya". Gayatri mommy Hendra. Tidak begitu banyak bicara dan cenderung tenang. "Tapi prediksi ku benar kan, Dia anak yang polos dan manis". Senyuman mengembang dari nenek Djoyodiningrat. "Menurut saya cara anda mencari tahu, sedikit keterlaluan". Gayatri menatap laju mobil putranya lebih dalam dari yang orang lain pikirkan. "Yah.. hari ini begitu menyenangkan.. gadis itu bisa membuat Hendra bereaksi diluar dugaan, bahkan kau pun terpengaruh". _Aku merindukan suasana hangat rumah ini, yang telah padam bertahun-tahun_ Oma Sukma mengakhiri pengamatannya. Gorden menjulang dari jendela ruang terima tamu bergerak sekilas. *** "Apa setiap anggota keluarga mu memiliki pelayan pribadi? Semacam sekertaris? Seperti kak Surya?". Aruna mengawali percakapan sederhana. Wujud terimakasihnya kepada laki-laki yang telah melindungi dirinya dari salah satu pelayan pribadi keluarga Djoyodiningrat. "Iya". Hendra tampak sedikit menerawang. "Kecuali perempuan pendiam itu, dia suka berkeliaran sendiri. Bagi para bodyguard itu menyulitkan, karena mereka harus membuntutinya diam-diam". Jawaban Hendra menimbulkan tanda tanya. _Perempuan pendiam??_ Aruna mencoba menebak, siapa yang dimaksud Hendra. _Ah' ibu Gayatri_ "Bagaimana bisa kau memanggilnya seperti itu, Dia bunda mu kan?". Gadis ini terlalu naif untuk memahami situasi rumit keluarga Djoyodiningrat. "Aku tidak suka membicarakan keluarga ku!. Kau mau aku belikan tas lagi supaya diam?!". Hendra melirik Aruna dengan sebuah penawaran. "Aku cuma bertanya?! Mengapa tanggapan mu kasar". "Padahal aku ingin berterima kasih, Hah' lupakan saja!!. Rasa terimakasih ku telah impas". Aruna menggerutu sendiri. Dan keduanya terdiam kembali. Aruna membuka handphone menghilangkan rasa jenuh. Dia mendapatkan pesan WA dari Damar. Pria itu bisa menemuinya lebih awal. Wajah Aruna tertangkap sumringah. Mengamati chatting anak sastra, sangat menggelitik. *Jika kamu telat, aku sabda diriku sendiri menjadi patung. Dan tombol penggerak hanya berasal dari jarimu. (Damar) *Kalau aku tidak datang. Apa yang akan terjadi pada patung Damar? (Aruna) *Tentu saja dia akan mendapatkan banyak uang receh, orang-orang pasti mengira ada yang sedang mengamen dengan 3D art (seni mengamen dengan mematung) Mata Aruna menyipit tertimpa oleh senyuman diwajahnya. Gadis itu mulai merapikan rambut dan poni, menjadikan kamera di handphonenya sebagai kaca. "Bisa kau turunkan aku di halte depan sana!". "Nggak". Kasar Kening Aruna mengerut, mendengar perkataan Hendra. "Kenapa?". "Karena ayahmu memberikan tanggungjawabnya pada ku". (Mengantar pulang sampai rumah) "Baiklah.. aku akan minta ijin pada ayah". Gadis itu beberapa kali menghubungi nomor ayahnya dan gagal. Tidak diangkat. Wajahnya menjadi kusut. "Bagaimana kamu bisa begitu mudah menuruti setiap permintaan ayahmu?". Hendra masih penasaran. "Tentu saja, karena dia ayah ku". Jawaban Aruna menimbulkan ketidakpahaman pria yang tumbuh tanpa sosok Deddy. "Apa setiap anak yang memiliki ayah, punya pemikiran seperti mu?". Pertanyaan Hendra sungguh mewakili dirinya yang tidak paham. "Ada juga yang memilih menghindar, menolak bahkan berontak". "Selama aku masih bisa, mengapa tidak. Toh menuruti permintaan orang tua sama sulitnya dengan menolaknya. Ketika pada akhirnya akan banyak hati yang terluka. Mengapa kita tidak memilih membuat mereka bahagia". Entah mengapa ungkapan Aruna kali ini tidak seteguh dulu. _Dia sungguh naif dan sederhana_ Hendra merasa senang, sepertinya Aruna lebih mudah dikendalikan dari pada dugaannya. "Ketika sudah menikah, bukankah tanggungjawab seorang ayah berpindah kepada suami. Itu artinya kau akan menuruti ku seperti kau menuruti ayah mu?". Hendra berharap. "Tentu saja tidak!. Aku akan mematuhi isi kontrak yang telah kita buat". Aruna bicara sembari mengetik pesan untuk ayahnya. "Benarkah?! Semau isinya?". Hendra merasa perlu membalas senyum sumringah yang ditujukan kepada pria lain. "Kau tahu salah satu pasalnya menyebutkan 'kita akan berciuman jika di perlukan', kau yakin berani melakukannya?". Hendra tahu Aruna belum sepenuhnya membaca tiap pasal pada MOU yang telah mereka tanda tangani. _Oh, ayah membalas pesanku 'boleh'_ gadis itu terlalu fokus pada handphonenya. "Kau bilang apa tadi??". Dia benar-benar tidak mendengar ucapan Hendra. "Kau yakin berani melakukannya?". Hendra mengulangi penggalan kalimat. "Ya ya.. tentu saja". "Em.. berhenti disini". _Itu haltenya_ Aruna bersyukur tepat didekat halte. Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, Platinum Card. Perlu cara berbeda untuk menyerahkan benda segi empat ini pada pemiliknya, agar Hendra tidak menolak. _Apa?? mengapa dia mendekat_ Hendra tertegun melihat Gadis mungil yang dia rias cantik mendekati dirinya. Pria itu mengerjapkan mata, bergetar sesaat dan mulai melepaskan tangannya dari setir mobil. _Apa dia benar-benar akan menunjukan keberaniannya??_ Isi kepala Hendra tidak terkendali ketika tangan Aruna seolah akan menarik dadanya. Pria itu mendekat. Fokus pada sesuatu yang merona kemerahan. Dia hanya tidak tahu bahwa Aruna mendekatinya untuk menyisipkan Platinum Card pada kantong baju di dadanya. Tangan Aruna baru saja menyentuh kantong baju Hendra, belum sempat selesai menyisipkan kartu. "Ah' Apa ini?". Sentuhan lembut di bibir. Persekian detik Aruna kehilangan dirinya, syok. Seseorang memejamkan mata menyentuhkan bibirnya pada permukaan bibir Aruna. _Apa?? Apa yang dia lakukan padaku?!_ "AAaaaagrh....". Gadis itu berteriak sejadi-jadinya. Ciuman pertama Aruna dicuri dengan receh. Oleh pria bermulut tajam. "DASAR PENCURI...!!. Aruna menarik tasnya. Tas Selempang cantik pemberian Hendra, di genggam kuat pada ujung talinya. Dan mulai memukuli Hendra. Semua jadi kacau. Kecuali hati seorang laki-laki yang perlahan meleleh menyadari dirinya jatuh cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN